Kelas Bunsay#3,  Kuliah Bundsay IIP,  Melatih Kecerdasan Emosi,  my little angels,  my world,  Parenting,  Self reminder

Game level 3 Melatih Kecerdasan Emosi hari#2

Game level 3 Melatih Kecerdasan Emosi hari#

The show must go on.
Walau semalam tidak jadi membahas film Coco, keterkaitannya akan emosi dan pengelolaannya, setelah salat subuh, aku coba membahasnya dengan Akib. Dengan mukenah yang masih kukenakan dan Akib juga baru selesai salat. Biyya dan Ayahnya sudah berangkat ke masjid sejak azan tadi.

Awalnya sangat baik dan aku meminta izin untuk dokumentasi video kepada Akib.

“Untuk apa divideokan?”

“Bunda mau belajar dan melihat gimana komunikasi Bunda selama ini dengan Akib. Juga ingin mengingat bagaimana Akib menyimpulkan film Coco semalam. Gimana menurut Akib filmnya dan apa kira-kira pelajaran yang bisa kita terapkan dalam keluarga kita?”

“Keluarga itu yang paling penting. Lebih penting daripada musik.”

Akib mulai mengulas. Aku meluruskan dan memberi pemahaman lanjutan.

“Lebih penting daripada hal apapun yang sangat kita sukai di dunia, ya, Kib? Kebetulan Migeul sukanya musik, ya. Terus apalagi?”

Percakapan ini divideokan dan sepertinya aku salah mengucapkan sesuatu, salah mengarahkan lisan dan akhirnya Akib tidak mau video itu diunggah untuk umum.

Aku lalu menemui suami. Menceritakan sejak awal dan memperlihatkan video tersebut. Meminta sarannya dan memohon agar ia juga ikut terlibat dengan game untuk kesekian kalinya.

Komunikasi yang kurang baik mudah sekali menyulut emosi. Walau game tantangan pertama mengenai komunikasi produktif sudah selesai, namum progress tetap berlanjut hingga detik ini. Aku mencoba mengingatkan diri sendiri agar menjaga intonasi dan mimik selama game berlangsung dan kalau bisa seterusnya.

Hari masih terang tanah dan keluarga kecil kami sudah beraktivitas mengayuh sepeda dan Ayahnya memperbaiki sepeda listrik kami. Pukul 7 aku ingatkan untuk sarapan semuanya. Akib suit dengan adiknya untuk beroleh kesempatan siapa yang lebih dulu mandi. Akib kalah di tiga kali putaran, namum ia tidak rela, tak siap mengalah. Dengan sigap, diambilnya handuk dan berlari ke kamar mandi. Hal ini sontak membuat Biyya berang bukan kepalang. Aku hanya mampu berempati kepada Biyya sambil mengatakan ke Akib sebaiknya ia tidak berlaku seperti itu. Tapi kuamati Akib memang kebelet ingin buang air hingga ia ujug-ujug ke kamar mandi. Sulit untuk menenangkan Biyya yang sedang tersulut kesal dan amarah, tapi karena aku dan suami tidak terlalu meladeni, akhirnya dia lelah sendiri. Pukul 07.45 ia baru mandi dan memakai pakaian. Pukul 08.00 Biyya baru diantarkan ayahnya ke sekolah setelah penuh rengekan dan kekhawatiran ia akan terlambat dan disuruh mengutip sampah. Bahkan sampai ke sekolah Biyya masih bersungut tak mau masuk pintu gerbang. Ayahnya meyakinkan untuk terus maju, tujuan kami agar ia siap menanggung risiko akan sikap rewelnya pagi tadi. Kebetulan ada juga anak yang terlambat masuk, Biyya jadi berani menuju gerbang dan masuk sekolah. Walau saat pulang ia bercerita bahwa harus mengutip sampah karena telat.

Kakak adik yang sedang berlatih bersama Ayah dan Bundanya mengelola emosi.

 

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *