cerita ceriti,  disleksia,  I'm A Vet,  Kelas Bunsay#2,  Kuliah Bundsay IIP,  my little angels,  my world,  Parenting,  Self reminder

Aliran Rasa Game Level 2

Andrea Hirata menuliskan dalam sebuh bukunya, mengenai filosofi orang-orang berdasarkan kesukaannya pada kopi. Penyuka kopi pahit memiliki pengalaman hidup keras dan pahit selayak kopi yang disukainya. Narasi akhir ia tuliskan mengenai orang yang tidak suka kopi adalah orang penyia-nyia hidup ini. Haha. Jangan pada protes, it’s not that serious if you had enough sense of humor.

Iyap, mungkin aku golongan yang terakhir itu. Kali ini aku akui, selain lebih mengenal weakness/ kelemahanku yang sudah dua kali tumbang di game level 2 Melatih Kemandirian, aku kembali menakar-nakar diri dan memotivasi diri untuk bangkit. Dalam artian membuat rencana akan remedial lagi atau mendesain ulang taktik untuk menyelesaikan tantangan itu walau tanpa harus menyetor kembali ke Fasilolitator Kelas Bunsay Batch #3 kali ini. Sebab kita sama-sama didoktrin bahwa badge itu untuk memotivasi saja, intinya hal yang baik dan terstruktur yang sudah kita coba buat dan kerjakan, bukan sekedar untuk setoran kepada Koordinator atau Fasilitator kelas, tapi intinya bagaimana sepanjang hidup, kita sebagai Ibu, sebagai pribadi tangguh tetap mampu melaksanakannya secara konsisten.

Namun tidak mendapatkan badge di game kedua adalah indikasi ketidakkonsistenan diri ini. Kali kedua aku telah menyiaka kesempatan yang ada. Menyesal? Tentu dan harus. Agar terpatri di hati untuk tidak mengulang lagi di game berikutnya. Juga akan menyimpan banyak PR agar tetap diselesaikan sebgaimana mestinya walau tidak mungkin akan disetor lagi.

Padahal sebagai seorang disleksik, latihan kemandirian dan kedisiplinan sangat penting dan merupakan tantangan berat. Seberapa struggling orang lain mengerjakan dan bagi disleksik (sebutan bagi penyandang disleksia) butuh kerja keras pangkat dua alias kuadrat untuk melaksanakan hal-hal seperti ini. Setelah kesempatan datang, dimana aku diberikan mentor dan segala fasilitas serta arahan yang sudah tersaji, tinggal sedikit lagi usaha untuk berjuang menyelesaikan game ini. Minimal 10 hari untuk rutin dilaporkan, dan 17 hari jika bisa. Tapi ternyata aku tidak sekonsisten kemarin membuat report,  planning yang ada tidak berjalan dengan baik. Aku memang akhirnya berbelanja sendiri mengendarai motor kami, sambil membonceng Faza di depan. Aku kemudian berusaha memgangkat galon sendiri ketika suami belum pulang ke rumah. Lalu apa? Aku bingung karena esoknya kesempatan untuk mengendarai motor dan berbelanja sendiri tidak serta merta datang setiap hari. Lebih mendukung dan efektif ketika aku menulis shopping list dan meminta suamiku berbelanja sekalian ia pulang dari kerja yang notabene full sekitar tiga hari dalam seminggu. Akhirnya misi untuk konsisten mandiri dalam hal berbelanja ini tidak bisa diteruskan karena ternyata bukan memudahkan, aku justru membuat manajemen waktu dan rumah kami berfluktuasi dan unpredictable.

Aku balik lagi memerhatikan kemandirian anak, terutama sulung kami Akib. Ia menjadi partner di game pertama dan game melatih kemandirian ini juga dibutuhka olehnya.

Setelah aliran rasa ini, aku bertekad akan melaksanakan tantangan itu kembali dengannya walau harus dimulai dari nol dengan tetap berusaha menerapkan komunikasi produktif. Agar tidak lagi dikatakan menyiakan kesempatan, aku bertekad mengunyah kembali materi komunikasi produktif dengan perlahan. Semoga bisa bertahan dan mengalir ke anak ketiga kami, Faza. Sebab ia sudah lulus toilet training (sekarang usianya 3 tahun) tapi ia mulai meniru teriakan-teriakan ala teman-teman pada saat tantrum. Ia juga melihat Akib suka marah-marah (disleksik dalam masa terapi berketerusan ini masih memilih tantrum daripada mendinginkan kepala kalau ada sesuatu yang membuatnya tidak suka, walau 5 menit dalam dua atau tiga hari, tantrum masih terus terjadi pada Akib).

Bagaimanapun, kemandirian erat kaitannya dengan self esteem. Kepercayaan diri yang dimiliki anak-anak kami, kuharapkan lebih stabil kedudukannya daripada yang kami miliki, terutama aku.

Balik ke filosofi bukan penikmat kopi tadi, aku merasa keterlambatan kemandirian yang sepertinya ada padaku terus menggoyahkan konsep diri dan penilaian terhadap diri sendiri.

Look at my self. Bukannya seharusnya sudah layak aku berbagi dan melejit. Seharusnya aku tak lagi galau antara sombong dan rendah hati. Aku selalu berdoa dengan sepenuh pinta, jauhkan hamba dari sifat dan sikap ujub. Namun yang terjadi adalah aku masih bersikap tak rendah hati. Aku kira itu rendah hati tapi ternyata menenggelamkan potensi. Meyelundupkan semangat progresif dan selalu lupa mengeluarkannya di saat yang tepat. Rupanya hal itu menguburkan segala potensi untuk bisa lebih bermanfaat untuk umat. Ketidakmandirian ini mengecilkan hati. Ah, masih banyak orang yang jauh lebih bagus dalam hal menulis, kenapa lah aku harus tampil hanya karena ada beberapa teman yang menulis tapi belum bagus. Biar saja dia mencari mentor menulis yang lain.
Ah, gambarku seperti ini, semua orang bisa bahkan lebih. Buang saja semua sketsa ini dan tidak seorang pun butuh yang semacam ini. Padahal Biyya yang tekun dan rajin sedang membutuhkan coach.
“Bunda suka hewan sejak dulu, sekarang sudah jadi dokternya malah, kita buka pet shop? Mungkin Bunda bisa lebih senang.” suamiku berkali-kali menanyakan dan kujawab dengan hambar. “Nilai-nilai di transkip itu sekedar teori. Praktek Bunda sudah blast. Nol. Biar aja semuanya jadi angan lama. Nanti juga terlupakan.”

“I wonder that you can improve your English faster than I think. Let’s force your self a bit to get a shcolarship, Aini!”

“No, no. I don’t think so. I’m not that smart. This is more than enough, Dear.”

Ketakutan karena seringnya di bawah ketiak orang lain menjelma menjadi poor self esteem salam keseharianku. Aku jadi banyak menyesali diri tanpa mau mengubah apapun. Any way. Just the way I’m.

Relasi, koneksi dan silaturrahmi yang kudapatkan setelah menjadi ketua umum tingkat l pun tak ingin kumanfaatkan.

Aku tidak mandiri, bahkan untuk masalah remeh temeh di rumah. Jadi yang paling baik buatku adalah kembali meringkuk dalam tempurungku sendiri.

Demikian flash back, kini aku berharap bisa keluar dari tempurung. From my comfort zona and start to destroy it. Aku harus bangkit menjadi pribadi mandiri dan lebih mengenali potensi diri.

Kali ini benar-benar lecutan untuk diri sendiri.

Semangat berdikari!

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *