*dimuat di aceHTrend 20 Maret 2020
Kalau biasanya anak-anak tidak berangkat ke sekolah berarti libur, kali ini akan berbeda. Sesuai dengan tagar yang populer minggu ini, #dirumahsaja, anak-anak usia sekolah pun diharuskan belajar di rumah. Bagiku pribadi yang memiliki empat orang anak dan salah satunya masih usia tujuh bulan, mengatur waktu untuk mendampingi anak belajar adalah tantangan berat. Namun bukan berarti semua tidak mungkin dilakukan, mengingat usia anak yang sulung juga sudah 13 tahun dan ia yang paling terbiasa belajar mandiri, jadi setelah imbauan karantina mandiri dan penjarakan sosial dari pemerintah selama 14 hari, aku juga mencoba mencari cara agar tak mati gaya.
Awalnya di hari pertama anak-anak masih kooperatif dan ikut mengaji dengan tiga orang temannya ke rumah guru mengajinya yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumah kami. Masalahnya, memindahkan sekolah ke rumah, tidaklah semudah itu. Hari kedua, anak-anak mulai bosan dan tidak ingin di rumah saja, apalagi anakku yang berusia lima tahun masih agak pilek, rasanya sangat tidak baik kalau masih kuberi izin berlama-lama bertandang ke tetangga. Mulailah aku bertanya kegiatan apa yang mereka inginkan selain belajar mematut-matut buku teks sekolah dan murajaah hafalan Alquran.
Karena kebetulan di rumah kami tidak memiliki televisi, anak-anak juga diberi izin terbatas untuk mengakses internet, bisa dibayangkan bagaimana bosannya di rumah. Buku-buku bacaan yang disediakan juga mulai terlihat membosankan. Akhirnya anak sulung yang memang hobi makan, mengusulkan agar kami membuat piza. Beberapa jam kemudian aku sudah siap dengan peralatan dan anak pertamaku kembali dari toko dekat rumah membawa bahan-bahan untuk membuat piza rumahan. Sambil mengemong bayi, aku mengawasi mereka mengadon piza, lalu menunggu beberapa saat agar adonan mengembang dan membaginya sesuai dengan jumlah anak-anak di rumah. Saking bergembira, anak-anak mengajak tetangga dan sepupunya untuk membantu membuat dan ikut menikmati piza, walau aku harus lebih cerewet mengingatkan mereka cuci tangan yang bersih tertib mengantre saat piza akan dipanggang.
Tepuk dada tanya selera, begitu kata pepatah, ada pula anak yang lebih enjoy membuat kue kering. Karena kegiatan membuat cookies atau kue kering sudah sering kukerjakan bersama anak lima tahunku, ia sampai hafal takaran tepung, mentega, dan berapa butir kuning telur untuk membuat dua loyang cookies. Sembari menyelesaikan panggangan piza, mulai pula ia mengadon dan mencetak kue keringnya. Semua kebagian pekerjaan, karena mengadon dan mencetak bisa dilakukan berama-sama. Apalagi saat membuat toping piza, mereka bisa berkreasi dengan piza buatan sendiri. Ada yang membuat kalzona, ada yang suka menambahkan saos pedas di pizanya, ada yang ingin menaburi dengan banyak keju atau bubuk oregano. Rasa piza buatan sendiri mugkin tidak senikmat piza yang merknya sudah mendunia itu, tapi ada rasa gembira, puas, dan seru. Tak ada piza yang tersisa, semua memakannya dengan lahap.
Untuk hari berikutnya aku sudah memikirkan sebuah resep camilan yang mudah dan enak. Kalau hari sebelumnya kami membuat sesuatu yang gurih, kupikir hari ini saatnya membuat yang rasanya kebih manis. Corn Flakes Sprinkles jadi pilihan berikutnya. Ini tentu saja lebih cepat dan mudah. Namun yang namanya memasak tetap butuh ketelatenan. Aku membantu mengetim cokelat batang di kompor, lalu anak keduaku mengaduk cokelat yang sudah meleleh dengan sereal jagung Corn Flakes. Asyiknya lagi, di kegiatan semacam ini mereka bekerja sama tanpa paksaan, karena mereka merasa senang melakukannya. Anak yang berusia lima tahun mengerjakan hal yang paling mudah, menaburkan gula warna-warni ke atas Corn Flakes yang sudah dilumuri cokelat.
Kegiatan memasak memang tampak sepele, tapi melalui kegitan tersebut sebenarnya banyak yang bisa diajarkan kepada anak-anak. Saat menakar bahan dengan timbangan kue, atau menyiapkan jumlah telur yang dibutuhkan dalam satu adonan, saat mencetak bentuk cookies dengan bentuk-bentuk geometri, anak-anak bisa belajar matematika. Begitu juga mengenalkan bahan-bahan yang dipakai untuk membuat kue, kita bisa mengajarkan sains melalui sifat-sifat bahan dan fungsinya. Beda sifat minyak dan air, kandungan karbohidrat dalam tepung, lemak dalam mentega, protein dari keju dan susu, dan lain sebagainya.
Seperti yang terjadi di hari berikutnya, cake yang kami buat tidak berhasil karena beberapa sebab. Pelajaran moral dan karakter pun bisa kita sisipkan di sana. Bahwa memasak juga memiliki aturan dan langkah-langkah yang harus diikuti dengan benar, takaran yang sesuai, dan kolaborasi yang baik antartim. Memasak juga membutuhkan kreativitas tinggi dan skil yang selalu akan dibutuhkan oleh setiap orang.
Lalu yang paling penting, anak-anak menikmati cara belajar ini dengan senang hati, apalagi setelah selesai, mereka bisa langsung menikmati hasilnya. Masih ada seminggu lagi waktu di rumah saja, belajar di rumah, bermain bersama keluarga inti. Di balik kerepotan yang orang tua hadapi, ada hadiah yang berharga seperti waktu berkualitas, meningkatkan bonding atau ikatan dalam keluarga inti, mengukir kenangan indah masa kanak-kanak yang akan jadi ingatan sepanjang usia. Momen seperti ini sebenarnya akan jarang kita dapatkan dan jangan disia-siakan. Waktu-waktu lainnya mungkin bisa memanfaatkan aplikasi-aplikasi belajar daring yang saat ini tersedia di ponsel pintar orang tua. Di hari keempat kami juga sempat membuat prakarya dari bahan-bahan yang tersedia di rumah. Di internet juga tersedia banyak worksheet yang bisa diunduh secara gratis dan bisa digunakan sebagai sarana menemani anak-anak belajar. Semoga tak mati gaya dan tetap bersemangat menemani anak belajar di rumah untuk satu minggu ke depan.[]