cerita ceriti,  disleksia,  my little angels,  my world,  Parenting,  Self reminder

Akib Baru Gede (ABG)

Dulu, sebelum gawai semudah sekarang membeli dan menggunakannya, Akib karib sekali dengan buku. Barangkali itu yang menyebabkan tidak satu pun kami menduga Akib seorang disleksik. Bisa membaca di usia enam tahun tanpa kesulitan yang berarti, tidak mengalami speech delay di usia balitanya, hanya sedikit suka bergerak, sulit diam, sampai disangka hiperaktif. Ternyata bukan, kan? Hehe…

Yang sedang sakit cacar

Oiya, sebenarnya hambatan penyandang disleksia mudah sekali diatasi kalau ada intervensi dini. Contohnya Akib yang terlihat sama sekali tak berbeda dengan anak lainnya. Aku juga penyandang disleksia, lo. Sekali dapat ‘coping stategy‘ tepat, segalanya bisa diatasi. Sayang sekali kalau kamu tidak ingin tahu lebih lanjut bagaimana kinerja otak sang disleksik dan mengabaikan potensi-potensi besar yang ada dalam dirinya. Kalau sudah ada terpantik sedikit rasa ingin tahu, ikuti gerakannya, insyaallah dipandu sampai ke akar-akarnya. Untuk Banda Aceh dan sekitarnya, kita sering belajar di Putik Meulu Building, Lambhuk. Boleh DM untuk info lebih lanjut atau langsung ke akun FB dr. Munadia, Sp.KFR (Muna Munadia).

Baiklah kembali ke awal cerita tadi. Kami tidak memasang channel televisi di rumah, hanya ada tabung teve dan pemutar CD, lalu proyektor murah meriah kalau ingin menonton film seru bersama-sama di waktu libur. Aku suka menabung recehan per hari dan mengajak Akib dan Biyya untuk menabung membeli buku-buku paket, seperti terbitan Mandira Dian Semesta yang harganya lebih dari dua jutaan. Dengan menabung, buku paket tersebut terasa lebih ringan di kantong. Akhirnya kami punya sekitar tiga peket bertema sains, dunia binatang, dan ensiklopedia muslim.

Saat aku masih keranjingan mengajak anak-anak menabung untuk beli buku, mereka sudah pula pintar mendominasi dalam jajak pendapat. Sampai pernah suatu ketika, kami akhirnya memutuskan memasang teve kabel selama sebulan. Ternyata sama sekali tidak efektif dan pertimbangan kami saat itu tidak repot lagi mengunduh film-film terbaru atau mencari dan membeli CD untuk ditonton bersama, sama sekali tidak berdasar. Memasang teve kabel bukan solusi. Bulan berakhir dan kami memutuskan anggaran membayar teve  kabel kami alihkan untuk membeli majalah Bobo, Donal Bebek, dan National Geografi Kids. Lalu karena kala itu teman-teman Akib juga heboh mengobrol mengenai komik Naruto, Akib juga ingin sekali membacanya.

Ada sepupu Akib yang suka membaca komik tersebut, usianya dewasa muda, komik tadi akhirnya tertinggal di rumah. Kita baca sama-sama dan setelah dikaji ulang, komik tersebut batal tembus proposal. Bukan langsung di-cut tapi kita bicarakan tentunya. Aku yang paling ngotot pun tak boleh ‘sadis’. Tak ingin kesepakatan kita terpental begitu saja. Usia 9 tahun tentu masih bisa banyak tarikan, 10 tahun…. sepertinya sulit, kemudian preakil balig semakin banyak bentrok dengan anak, kan? Hebat kalau tidak banyak bentrok, atau jangan-jangan interaksinya kurang makanya tidak pernah bentrok. Manut terus anaknya? Mungkin memang tipenya, bersyukurlah kalau begitu, tapi tipikal anak penurut, jangan lupa periksa hatinya. Kadang terluka tapi kita abai. Itu yang sering kami diskusikan dulu mengenai Biyya yang sempat jadi anak manut.

Gawai Akib minus tripod murah yang sepertinya lupa dia taruh di mana.

Akhirnya Akib mengenal gawai dan semakin mahir. Kelas lima SD ia diizinkan memiliki gawai sendiri. Spesifikasi rendah asalkan android atas nama dirinya sendiri, sudah lebih dari cukup membubungkan rasa hatinya walau dipakai hanya di hari Sabtu dan Minggu. Kita tidak mungkin menyalahkan teman sepermainannya, sudah cukup jadi emak galau yang suka menyalah-nyalahkan orang lain atas sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita, kan? Akib semakin mahir bergawai tentunya. Apa gim yang sedang ‘on fire’ nanti akan dia ajukan ke ayahnya untuk di-acc dipasang ke Android-nya. Game Minecraft saat itu yang dibolehkan dimainkan Sabtu dan Minggu. Tidak ada gim daring yang memang saat itu belum seheboh sekarang. Beranjak kelas enam, jadwal Sabtu Minggu dievaluasi. Masing-masing dimainkan 4 jam di akhir pekan. Tidak boleh lebih. Akib membuat akun YouTube dan IG untuk mengunggah karya-karyanya seperti intro dan video. Semakin tampak minatnya pada desain grafis setelah di class meeting tempo hari mendapat juara dua untuk kategori desain grafis kelas tinggi. Akib sering dipinjamkan laptop ayahnya untuk menerima order kecil-kecilan. Ia membeli Al-Qur’an yang diimpikannya dari hasil mendesain pamflet dan stempel sebuah lembaga.

Merambah ke baju-baju, desain logo, laptop lama ayah jadi hak milik Akib, tapi masuk angin. Tentu saja karena ada gangguan keinginan bermain gim. Cukup lama laptop setiap dibuka selalu disupervisi, Akib juga bosan mengeluhkan layarnya yang mulai cacat seperti luberan tinta di beberapa titik. Kalau di-update Corel Draw terbaru malah ngadat. Sempat sebulanan tidak memegang aplikasi desain. Hanya Sabtu Minggu tetap rutin minta izin bermain gim, memotret, atau membuat video. Sabtu Minggu itu jangan dikira ia punya paket internet, bahkan ketika Akib SMP dan aku sudah mulai bekerja paruh waktu menulis dan mengedit, kami memasang Wifi di rumah, akses internet Akib tetap sangat terbatas.

Ia keberatan? Kebetulan tipikal anaknya tempramental jadi cukup blak-blakan dan terbuka. Ia tipikal gemar bercerita kepada kami berdua, sampai dicap sebagai cuak alias tukang mengadu oleh teman-temannya. Karena apa saja rencana dan yang terlaksana, ia suka lapor. Malah cerita ia mimpi basah pun secara detail diceritakan. Ada anak perempuan yang ia taksir? Ia bicara padaku. Bagi teman-teman seusianya tentu itu tidak asyik. Bagi kami sebagai orang tua, ini harus dijaga seterusnya.

Akib bagiku sangat mengasyikkan. Kalau sekarang kuajak memilih buku, pilihannya suka aneh-aneh. Pasti bergenre horor, memang sedang ‘on fire’ di kalangan teman-teman, katanya. Lalu gawainya, kamera pocket jadul, android spesifikasi rendah, satu unit laptop, dan tetikus yang mulai rusak sering membuat ia abai menanyakan buku baru, tapi tentu saja ia tetap suka membaca. Hal ini cukup melegakan di luar minat besarnya pada dunia IT yang masih kami timbang-timbang manfaat dan mudharatnya. Kata seorang temanku yang ahli IT, belajar teknologi itu yg cukup tiga bulan sudah mahir, Kak. Yah, makanya tetap saja diajak belajar agama dan Al-Qur’an didahulukan, walau sampai hari ini minatnya pada Al-Qur’an tidak seulet saat dia meminta ponselnya di Sabtu dan Minggu.

“Duh, main Ro-Blox lagi. Mana sama kawan online gitu…” kataku tak sanggup menahan kecewa ia terikut trend game.

“Kan seminggu sekali, Bunda!”

“Iya, seminggu sekali tapi apa yang udah kita jaga selama beberapa hari belakangan malah nggak berguna semua. Lihat itu, you can rob the banks…duh belajar ngerampok pula anak Bunda diajaknya!” tambahku lagi semakin frustasi.

“Bunda, Akib kan nggak mungkin kayak gitu, ini cuma gim, lo! Akib udah besar, udah tahu mana yang baik sama yang nggak baik. Kan, nggak mungkin ajalah.”

“Tapi di sana kan ada nilai-nilai yang diajarkan! Kalau nilai yang kayak gitu diajarkan ke Akib, menurut Akib Bunda harus bilang apa?” aku berusaha mengatur nada bicara supaya ini terlihat seperti diskusi wajar, bukan debat kusir.

“Yah, Bunda bilanglah, jangan ditiru ya, yang seperti itu…” Akib menanggapi lebih tenang.

“Ya, sudah, jangan ditiru ya, Nak! Jangan juga sampai membuat lalai beribadah,” pungkasku.

“Iya, Bunda…”

Dari kebersamaan dan dialog-dialog yang terus terbangun, aku berikhtiar semampunya untuk membersamai anak-anak, bukan sekadar ada dalam satu atap yang sama. Sering ada di sebelahnya tapi nihil hadir mengisi relung hatinya. Semoga Allah senantiasa membimbing.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *