Dyslexic identik dengan ketergantungan—walau banyak juga individu disleksia yang mandiri dan ternyata aku tidak termasuk di antaranya. Mungkin karena itu, banyak pula dari mereka yang memiliki empati tinggi, perasa, dan jauh lebih peka dibandingkan orang sekitarnya. Anggaplah itu sebagai keunggulan yang dengannya kita bisa mulai menyiasati kelemahan.
Aku sendiri juga sangat bergantung pada suami, bahkan pada hal-hal yang kalau diketahui orang lain akan membuat mereka melongo. Misalnya aku tidak bisa belanja, berkendara, dan mengatur keuangan keluarga. Parahnya lagi, aku juga disorientasi kronis. Bagiku semua jalan itu sama, semua simpang itu tidak ada beda. Sulit sekali mengingat jalan.
Karena itu aku mencoba terus belajar, terutama belajar tidak menyusahkan orang lain. Tidak perlu diceritakan bagaimana perjuangan terlihat wajar ketika aku sedang menanggungkan kecanggungan yang luar biasa mengganggu. Ternyata aku jadi ahli tampil luwes di balik segala keruwetan yang terjadi dalam diriku.

Aku pernah nyasar di pasar Peunayong saat belanja di bulan-bulan awal pernikahan kami. Nyasarnya bukan nyasar biasa, muter sampai beberapa jam lamanya. Mencari di mana parkiran tempat suami menunggu dan memarkirkan kendaraan kami. Aku sampai panik dan dengan sungkan akhirnya menelepon dan berterus terang bahwa aku kesasar. Mungkin seharusnya aku berlatih lebih keras mengingat jalan dan membiasakan diri berbelanja lagi. Namun, untuk insiden itu, aku perlu pemulihan yang membuatku lupa untuk mencoba lagi. Hingga usia pernikahan kami jelang 17 tahun, aku belum lagi pernah berbelanja sendiri; kalau tidak ditemani, maka suamilah yang selalu berbelanja kebutuhan rumah hingga stok untuk mengisi kulkas kami.
“Aini, Ibu lihat Yudhi tadi di pasar sedang memilih bawang…” Kata Bu Mar, tetangga kami di Blang Krueng dulu, “pintar dia belanja, ya?”
Aku hanya tersenyum tak tahu harus menjawab apa.
Karena aku juga tidak bisa (lagi) membawa kendaraan, hingga hampir 17 tahun usia pernikahan kami, bisa dihitung dengan jari berapa kali aku mengantar dan menjemput anak ke sekolah. Dan dalam hitungan jari itu, pernah juga aku tiba di rumah setelah berjam-jam lamanya berputar di jalanan yang sama, setelah hampir menemukan simpang menuju rumah yang sudah kami tempati sekitar setahun itu, aku mengambil jalur yang salah. Aku bingung, kenapa ke tempat ini lagi, ya? Saat itu, kedua anakku sudah tertidur di atas kendaraan roda dua yang kami naiki dan aku berusaha agar Akib, yang saat itu berada di boncengan belakang, tetap terjaga supaya tidak terjadi hal yang bahaya.
Sejak hari itu, aku diberhentikan sebagai ibu pengantar jemput anak-anak ke sekolah.
Aku berusaha tidak lagi membebani suami dengan urusan rumah, tetapi sejak minggu pertama kami menikah, dia sangat ringan tangan membantu pekerjaan rumah kami. Salah seorang teman suami berkomentar saat aku mencoba mencegahnya membantuku menjemur pakaian.
“Aini, biar dia bantu, kujamin hari ini saja dia mau. Mumpung mau, kamu harus biarkan dia membantu. Besok dia belum tentu mau.”
Namun, hingga 17 tahun pernikahan kami, dia selalu mengambil alih tugas itu; menjemur dan mengangkat semua pakaian kami. Bahkan kadang-kadang juga mencucinya. Saat ini usia Akib sudah 16 tahun, sudah sejak usia 13 dia juga membantu aku mengurus pakaian kotor, minimal milik dia sendiri.
Bagaimana mencuci piring dan memasak? Menyapu? Semua pernah dikerjakannya kalau aku tidak lebih dulu melakukan. Apa semua itu perlu aku ingatkan? Diminta-minta untuk melakukannya? Belum pernah seingatku. Justru kalau dia alpa mengerjakannya, buru-buru aku yang ambil alih menyelesaikan. Dan kami suami istri yang bangga dengan prestasi siapa yang paling banyak mengerjakan pekerjaan rumah tersebut. Apalagi mengurus anak-anak. Kami buat berdua, tentunya mengurusnya tidak mungkin sendiri.
Sebagai perasa dan paling peka, aku harus tahu bagaimana berlaku. Sikapku di depan suami bisa saja bukan seperti istri pada umumnya (walau sebenarnya aku juga tak tahu umumnya istri bagaimana di depan suaminya, tapi aku sering melihat ada beberapa yang ringan sekali menyuruh di depan umum, bahkan dengan suara yang agak keras, hingga orang lain turut mendengar apa hal yang diminta kerjakan, bisa jadi hal ini tidak salah kalau nyaman bagi keduanya). Sementara aku harus paling bisa menjaga perasaan suami, sebagaimana mungkin seorang perempuan menjaga pacar yang diidamkannya untuk menjadi suaminya kelak. Aku harus paling bisa membaca hal-hal yang dia inginkan tanpa harus dia katakan. Supaya tidak salah sangka, aku akan bertanya: “Apakah ini yang kamu suka? Apakah kamu sedang menginginkan hal ini? Apakah hal begini membuatmu tak nyaman? Apa aku menambahkan gula yang tepat ke dalam kopimu? Hari ini kamu senang, kan? Hari ini pasti kamu sedang banyak pikiran dan sedang tidak mau diganggu, kan?” Dan sebagainya.
Hidup sebagai dyslexic sebenarnya juga tidaklah seromantis itu, tetapi bisa jadi jauh lebih manis dari itu.
Dialog-dialog subteks di antara kami juga sering jadi hiburan tersendiri. Konkretnya seperti ini: “Hari ini cerah sekali, anak-anak sudah lama tidak bermain pasir pantai. Apa yang kira-kira dilakukan ayah yang baik saat matahari semringah seperti ini di bulan Oktober?”
Bukan seformal itu, tentu saja hidup kami tidak seribet itu. Bisa gila! Aku hanya menunjukkan dialog di antara kami jauh lebih sehat dilakukan dengan cara subteks seperti itu, bahkan saat marah. Selain saling mendiamkan, kami juga terkadang berbalas dialog subteks. Ini sangat manjur untuk terlihat tetap manis dalam setiap keadaan, apalagi kami hampir 24 jam bersama anak-anak.
Menjadi pribadi yang sangat tergantung pada orang lain tentu saja tidak baik. Aku tidak pernah menganjurkan siapa pun untuk menjadi orang yang bisa jadi terperosok pada seburuk-buruk manusia; dia justru menjadi beban bagi orang di sekitarnya. Namun, ada kalanya keadaan membuat sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi. Bahkan yang kita kira paling paling baik, ternyata bukan. Sebab Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 216: “Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”[]
2 Comments
Annisakih
Hai mbak, salam kenal..
Saya sama suami malah lebih cepat saya membaca peta atau menghafal jalan tapi saya ga mau bawa kendaraan. Bukan tidak bisa, roda dua bisa yg matic, roda empat malah manual pun bisa tetapi saya orangnya lemah di persepsi 3 dimensi ditambah ada mata silender, jadilah saya sadar diri daripada membahayakan orang lain.
Alhamdulillah suami pengertian dan mau handle urusan antar jemput termasuk urusan domestik lain.
Ohya, mau tanya soal disleksianya mbak, apakah dulu mengikuti tes atau bagaimana untuk menegakkan diagnosa?
aini
Salam kenal, Mbak. Kalau diagnosis disleksia dari observasi ke dokter yang concern mengenai disleksia ini, Mbak. Awalnya nemanin anak yang usianya 10 tahun waktu itu, sambil dia ikut terapi dan konsultasi, dokternya bilang disleksia ini diturunkan secara genetik dari salah satu orang tuanya, ternyata ibunya yang disleksia. Saya. Tapi sebenarnya nggak terlalu mengganggu kok kalau sudah tahu, jadi terbiasa dan bisa berlatih sendiri.