my little angels,  my world,  Parenting

Berbagi Peran Pengasuhan

“Eh, Bunda, enggak boleh minum berdiri, kan?”

“Kalau minum boleh, eeeh. Apalagi untuk fleksibilitas dan Bunda juga senderan.”

Ealaaah, mulut! Spontan aku ngedumel dalam hati. Bukan tak mungkin bakat debat dan ngeyel Akib berasal dari ibunya sendiri. Idealnya aku harus bilang, “Ups, minta maaf. Oke, Bunda salah dan mulai besok, enggak minum berdiri lagi.”

Walau sebenarnya aku juga pernah mendengar dalil tentang adab makan dan minum, kalau sebenarnya dibolehkan berdiri dalam keadaan tertentu. Kalau dicek ala Ustaz Adi Hidayat itu hadis riwayat Bukhari nomor 1637 dan Muslim nomor 2027. Dari Abbas ra., berkata, “aku memberi kepada Rasulullah Saw. air zamzam,  lalu beliau minum sambil berdiri.” Ini akan jadi cerita panjang dan aku sedang tidak ingin kultum, tapi jawabanku sebagai ibu tadi tidaklah bijak.

Ada asyiknya punya anak akil balig, walau tantangannya juga besar. Apalagi kami memilih memutuskan anak-anak tetap berkumpul bersama hingga masa-masa lembap dilewati. Ya, masa pubertas seringkali dikatakan masa lembap, tempat berbagai rasa dan perasaan tumbuh pertama sekali.

Dulu kukira bagaimana gamangnya membersamai anak akil balig, kini akhirnya aku dan suami menikmati masa-masa yang hanya sekali. Bertumbuh dan belajar bersama. Dulu juga, kukira akan selamanya galau sendiri, tapi sekarang dengan durasi mengobrol yang banyak, tarik ulur, diberikan Allah kesempatan berkumpul yang panjang, pada akhirnya peta pengasuhan bisa kami bentangkan bersama.

Jangan pernah mengira suamiku mau serta merta terlibat pengasuhan anak-anak secara sim salabim. Dulunya sulit memutus mata rantai ‘kecuekan’ ayah mengenai hal-hal detail pengasuhan. Namun sekarang, ia yang duluan bertanya, “Kurikulum buat Akib sudah cocok kayak begini atau perlu dievaluasi lagi, enggak?”

Kurikulum? Yah, itulah bahasa kami kalau duduk ngopi berdua atau pillow talk. Obrolan kami tentang anak-anak dan rencana masa depan.

Gimana menurut Bunda yang tadi itu? Udah tepat belum penyampaian Ayah? Khawatir juga ada yang salah…”

“Ah, udah mantap itu. Bunda enggak bisa kayak begitu. Bunda perhatikan tadi mata Akib enggak lepas sesenti pun dari Ayah, ke mana badan Ayah bergerak dia ikuti terus. Jarang kan, dia mau fokus mendengarkan kayak gitu.”

Saling dukung dan apresiasi juga menjadi senjata bertahan yang mumpuni, dari serangan rasa bosan, depresi, hingga kebingungan kalau pun ada. Sebab bermula dari keresahan, kita bisa memperbaiki keadaan. Kalau kita merasa sudah sangat sempurna mengasuh anak, paling benar dan paling siap, lalu kenapa Allah tak menitipkan barang selusin untuk kita? Jangan…jangan pernah sombong diberikan kemudahan.

Aku masih ingat dalam bukunya, Bunda Elly Risman pernah menyebutkan, ketika berhasil dan anak kemudian meraih prestasi atau semacamnya, itu sebab Allah memudahkanmu sebagai orang tua. Bukan karena kehebatanmu mengasuh. Allah memang menitipkan anak-anak kepada orang tua yang tepat, tidak pernah salah. Dalam kontemplasi, berkali-kali aku sugesti diri bahwa keberhasilan anak kelak adalah untuk memotivasi diri ini, bukan untuk dibangga-banggakan. Kita sudah selesai dengan bab ini, kan?

Kembali ke peran pengasuhan berdua. Sebelumnya ada baiknya mengulang bagi yang menjadi orang tua tunggal, jangan pernah berkecil hati. Sosok ibu atau ayah bisa didapatkan dari bibi, paman, kakek, atau nenek, ya. Tetaplah berikhtiar dengan sekuat tenaga. Dulu aku juga merasakan hal yang sama, khawatir berjuang sendiri mendidik dan mengasuh anak-anak. Bukan berarti secara zahir (lahir), tapi secara batin.

Pada akhirnya aku tak hanya bermonolog-ria, diskusi-diskusiku disambut dengan antusias oleh suami. Kalau ingin tahu bagaimana mengajak pasangan berbagi peran pengasuhan, mari belajar sama-sama. Belajar dari nol kecil walau seperti anak TK juga tak mengapa. Aku sering kembali duduk di TK ketika ingin bermain bersama anak-anak. Menggambar, mewarnai, bernyanyi, apa pun itu yang ia inginkan. Sebab keinginan anak kecil itu sebenarnya amat sederhana, kita mau terlibat bersamanya.

Tidak ada sekolah menjadi orang tua, tapi saat ini informasi dengan sangat mudah diakses. Seminar-seminar nonformal dan praktik-praktik pengasuhan yang mungkin bisa kita terapkan pada keluarga kita, lalu referensi dalil dan hadis Rasulullah dalam mengasuh anak-anaknya juga mudah sekali didapat. Berusahalah untuk mencari dan hadir dalam majelis-majelis ilmu semacam ini. Kita akan menjadi teko yang sesampainya di rumah akan berbagi isi dengan suami.

Jangan pernah terburu-buru. Menyampaikan dengan penuh gelora perubahan tampaknya tak akan berpengaruh pada suami jika kata yang kita luahkan lebih dari 15 kata pada suami. Tipikal otak yang diajak berproses beda dnegan perempuan. Aktifnya otak kiri lelaki membuat kita aku harus mengubah strategi berbicara dengannya.

Bunda Elly mengatakan sebaiknya kita mulakan dengan pertanyaan. Ini akan lebih memancing minat dan rasa ingin tahunya. Kedua, jangan pernah mengguruinya. Ketiga, kalimat yang digunakan jangan lebih dari 15 kata. Terakhir, cari waktu yang tepat untuk menyampaikan maksud dan tujuan kita.

Semoga pasangan kita  tetap intens terlibat dalam pengasuhan. Selamat mencoba!

 

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *