Just My Opinion,  my world,  Resensi,  Self reminder

Berdongeng Tentang Literasi (Sebuah Resensi)

Akhirnya Rabu ini bisa menyelesaikan buku yang sama sekali nggak tebal, buku Yona Primadesi, isinya sehimpun esai yang sudah dipublikasikan di berbagai media.

Nah, sampai di sini, rasanya kecewa banget pada kemampuan memotretku yang aduhai jeleknya minta ampun! Hahaha…tapi kita kan sedang tidak membahas hal itu. Paling penting konten…konten (ngeles).

Buku ini seperti yang kukatakan tempo hari, merupakan jodoh yang baru bertemu. Asyiknya berjodoh dengan buku, ia boleh datang berkali-kali, bertemu kapan saja. Banyak hal yang sebenarnya ingin kuluahkan tapi karena kurangnya referensi, fakir diksi, fakir kuota (eh, apa ini masuk kategori?), maksudku karena sedikitnya jam terbang yang kumiliki, seringkali hal itu tidak tersampaikan dengan baik.

Buku Dongeng Panjang Literasi Indonesia merupakan penjabaran jawaban yang kucari selama ini. Literasi… literasi, apa sebenarnya maknanya? Terasa ada yang kurang walau kerap kugunakan. Beberapa yang sempat kugarisbawahi dan ternyata dijadikan blurb juga dari buku ini salah satunya: “Literasi bukan hanya perkara baca-tulis-hitung, itu hal pertama yang harus diluruskan pada persepsi banyak penggiat literasi maupun masyarakat. Meskipun literasi tingkat dasar menurut deklarasi Praha memang menyangkut kemampuan mengenal dan membaca sumber pengetahuan. Akan tetapi praktiknya, literasi tidak bisa dipilah-pilah bertingkat secara gamblang seperti demikian. Literasi menyangkut banyak aspek, salah satunya baca-tulis, yang kemudian mesti dikembangkan menjadi baca, kaji, hitung, nalar, kritis, tulis, dan komunikatif.”

Karena Yona juga concern pada literasi anak, di buku tersebut juga banyak dibahas tentang bagaimana seharusnya membangun kebiasaan baik dan kekariban anak akan buku dan bahan bacaan bermutu.

“Literasi berhubungan dengan proses belajar sepanjang usia, menyangkut aktivitas dalam keseharian manusia yang memang diawali dengan pemahaman terhadap teks. Peristiwa literasi terjadi di mana saja dan kapan saja.

Misal, literasi terjadi ketika Anda berada di sebuah gerai makanan cepat saji dan memutuskan menu yang akan Anda pilih untuk makan siang, ketika Anda menggunakan pesawat telepon untuk menghubungi rekan bisnis atau kolega, ketika sedang berbelanja di sebuah pasar tradisional, ketika Anda menimbang apakah Anda akan memutuskan kekasih Anda atau tidak. Setiap aspek dalam kehidupan bersinggungan dengan kegiatan literasi.”

Banyak, sih, yang aku highlight dari buku ini. Apalagi yang berjudul Anak, Media Sosial, dan Kehidupan Sosialnya. Di Bab ini seolah teriakan hatiku selama ini digaungkan. Sebenarnya bisa dikatakan aku pun telah salah langkah, walau dengan pengawasan ketat dan sudah ada kesepakatan di awal, memberikan izin sulungku yang 13 tahun memiliki gawai sendiri adalah kesalahan dan efek dari ketidaksabaranku dalam berproses. Ini akan menjadi pelajaran untuk adik-adiknya selanjutnya.

Di bab ini juga dengan referensi evidence based, Yona menjelaskan kaitan hormonal dan kecanduan gawai beserta kegelisahan yang persis sama seperti yang kurasakan.

“Menurut beberapa jurnal psikologi dan kesehatan mental yang saya baca, ada beberapa alasan penyebab individu merasa perlu untuk melakukan aktivitas di media sosial, terutama mengunggah status, foto, atau sejenisnya. Dimulai dari keinginan mengidentifikasi diri (self presentation); tetap menjaga koneksi diri; self positioning untuk menunjukkan kedudukan dan siapa individu tersebut sesungguhnya; dan yang paling utama kecenderungan manusia untuk berbicara mengenai dirinya hingga 80% dari total keseluruhan yang dibicarakan sehari-hari. Ya, semacam self fullfilment sebagai sebuah digital marketing enthusiast.”

“Respons-respons yang saya peroleh bisa membuat saya bahagia. Itu lumrah, karena memang manusia merasa bahagia ketika mendapatkan respons atas pesan yang sedang ia sampaikan. Lantas saya mulai menghitung dan menunggu sudah berapa jempol atau tanda hati yang diperoleh, sudah berapa komentar yang masuk, atau bagaimana tanggapan lain dari status tersebut.

Sebaliknya, ketika status di Facebook, Instagram, atau media sosial lainnya kurang mendapat respons atau tidak mendapat respons sama sekali (WhatsApp saya cuma dibaca, tidak dibalas, oh dia sedang online tapi tidak menggubris pesan saya!), sering merasa ada yang salah dari diri saya atau status saya. Bahkan seringkali muncul semacam trauma karena merasa tidak diinginkan lagi atau tidak diacuhkan. Celakanya hormon dopamine yang dihasilkan otak, yang membuat saya merasa bahagia ketika status saya diakui, merupakan cairan yang sama yang muncul ketika orang-orang merokok, minum alkohol, atau berjudi. Hormon yang menyebabkan rasa puas, senang, dan sangat membuat kecanduan.

Saya sedikit terkejut dengan fakta ini. Apakah artinya, ketika kecanduan memperbaharui status, lantas penuh deg-degan menunggu setiap komentar dan like yang masuk, sama kondisinya dengan orang yang kecanduan rokok, kecanduan alkohol, kecanduan narkoba, kecanduan judi? Lalu perkara candu, apa bedanya saya dengan pemadat dan penjudi? Lalu mengapa saya selalu mencoba untuk mengasingkan diri dari hal-hal demikian, tetapi tidak pada kecanduan yang saya idap? Lalu, jika saya memberi izin dan kebebasan pada anak saya menggunakan telepon pintar, apakah bisa dikatakan sama akibatnya ketika saya membelikan anak saya sebotol minuman beralkohol atau sepaket narkoba? Pertanyaan tersebut menghantui saya beberapa hari terakhir.

Hal yang paling mengerikan dari efek hormon dopamine melalui media sosial dan telepon pintar adalah, anak-anak tidak tahu bagaimana membangun sebuah hubungan dengan sesama. Bukan hanya hubungan di permukaan, sekadar sapaan ketika berpapasan. Tetapi hubungan lebih dalam dan intens. Anak-anak beranjak memiliki hubungan persahabatan yang dangkal.”

Lah, bagaimana bisa kaitannya dengan literasi tadi. Sangat dekat! Apalagi gejala-gejala tersebut telah melentingkan anak-anak kita dari kenikmatan berkelindan dengan ilmu yang disajikan dari buku.

Masih banyak yang ku-highlight dari buku 132 halaman ini. Aku

“Respons-respons yang saya peroleh bisa membuat saya bahagia. Itu lumrah, karena memang manusia merasa bahagia ketika mendapatkan respons atas pesan yang sedang ia sampaikan. Lantas saya mulai menghitung dan menunggu sudah berapa jempol atau tanda hati yang diperoleh, sudah berapa komentar yang masuk, atau bagaimana tanggapan lain dari status tersebut.

Masih banyak yang ku-highlight dari buku 132 halaman ini. Aku membacanya sambil bergantian dengan membuka-buka halaman buku lainnya yang ingin kutuntaskan isinya di bulan Juni. Tentu saja di sela-sela mengedit, mengelola blog yang tak seberapa mana ini. Lalu yang paling prioritas itu tugas-tugas domestik karena memang aku sedang berada di ‘musim’ tersebut. Waw, seolah-olah sibuk betul, ya? Hahaha…Bukan, kok, itu supaya kelihatan sibuk saja! Barangkali sekadar itu.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *