Kapan terakhir aku membicarakan buku? Aku pun lupa. Namun, aku percaya kalau diri kita hari ini adalah, apa yang kita baca dahulu. Pola pikir kita hari ini adalah buku-buku yang kita baca dulu hingga sekarang. Mindset yang tertanam dalam benak kita adalah, alur yang dibuat oleh genre-genre bacaan kita hingga hari ini.
Di Hari Buku ini, ada air di pelupuk mata seolah akan menggenang, ada yang ingin tumpah. Buku dan seseorang telah sangat memengaruhiku hari ini. Kelas satu SD usiaku masih 5 tahun. Aku belum bisa membaca. Dua orang kakakku cukup senewen mengajariku membaca, tapi karena memang belum usiaku atau karena aku disleksia, maka proses itu tak terlalu mulus. Kelas dua SD aku mulai lancar membaca, lalu kelas tiga, aku bertemu Bu Elvia Dewita. Orang Minang yang suaminya ditugaskan menjadi dokter di daerahku. Karena alasan kekeluargaan dan sesama orang rantau, Bu Evi yang kemudian akrab kami panggil Bu Dokter, sering bersilaturahmi ke rumah kami. Beliau memiliki anak laki-laki yang usianya sepantaran denganku. Selain Bu Dokter, Kakak pertama dan ayahku juga suka sekali berinteraksi dengan buku. Ditambah dengan Pak Tuo, abang kandung ayahku yang punya buku satu kamar. Pak Tuo punya toko yang saat itu paling besar dan lengkap di daerahku. Di sana beliau juga menjual majalah Bobo, Tempo, Sabili, Annida, Ananda, Gadis, dll. Abak berlangganan majalah dari Pak Tuo. Termasuk Suara Muhamadiyah atau Berita Resmi Muhammadiyah. Mungkin sebelum itu Abak, sapaanku untuk ayahku, juga berlangganan majalah Panji.
Bagaimana hati ini tak sesak, terkenang rasanya wajah Bu Dokter dan Pak Tuo yang sudah mendahului kami. Semoga doa-doaku sampai, Allah mengabulkan doaku untuk keduanya, apa pun yang telah beliau berikan untukku menjadi amal jariyah. Pengalaman bersama buku-buku yang luar biasa dan tak terlupakan.
Aku pernah menulis tentang 5 Buku yang Mamikat Hati, terasa sangat dikekang kalau harus lima buku. Aku kan, sebenarnya sangat terpikat dengan buku-buku Lucy Montgomery, hampir seluruh serial Anne of The Green Gables aku sukai. Saat SD aku lebih banyak membaca komik seperti Johan and Pirloit, Pak Janggut, Smurf, Kenji, Candy-candy, Dragon Ball, dan hampir semua komik-komik yang ditulis Takeshi Maekawa aku suka.
“Di mano Aini?” tanya Kak Emi yang paling sering ditugasi menjemputku dari rumah Bu Dokter.
“Carilah di bawah kolong meja tu, kalau ndak ado, cubo liek di ateh batang ceri itu…”
Kalau sudah tak tampak di rumah, aku dipastikan berada di rumah Bu Dokter. Kalau tidak ditemukan di bawah kolong sambil tergolek menekuri buku-buku, aku pasti di atas batang karsen sedang menikmati aroma kertas.
Begitulah saban hari sepulang sekolah. Kerjaku melalak ke rumah Bu Dokter, walau tak diizinkan Umak sekalipun. Aku bisa melompati pagar belakang kalau tidak diberi izin, apalagi kalau mendapatkan kabar bahwa Bu Dokter baru balik belanja obat dari Medan. Akhirnya Ibu sering membelikanku buku komik Serial Cantik. Tidak menutup kemungkinan karena ini juga aku bisa menggambar manga. Rasa hatiku saat dibelikan buku-buku itu, tak bisa kulupa hingga hari ini. Di buku diariku aku sering membuat lis buku-buku yang ingin kubaca. Tentu saja aku tak berani meminta pada Umak atau Abak, tingkahku yang suka bandel dan tak penurut saja sudah cukup membuat Umak dan Abak pusing. Aku juga sering nebeng membaca di rumah sepupuku. Di sana aku kenal serial Alfred Hitchcock, Lima Sekawan-nya Enid Blyton, dan buku-buku thriller yang ditulis R.L. Stine.
Setelah itu, nama seperti Agatha Christie, Sir Arthur Conan Doyle menjadi incaranku. Kak Emi sendiri juga mewarnai genre bacaanku dengan karya-karya Poejangga Baroe seperti Hamka. Kakak pertamaku itu juga yang membelikan aku sirah-sirah nabawiyah yang dulu tidak sebagus dan semudah sekarang medapatkannya. Kisah-kisah istri Rasulullah seperti Siti Khadijah, Siti Aisyah, dan Mariah Al-Qibtiyyah. Kadang beliau juga membacakan buku untukku.
Bu Dokter, hingga aku tsanawiyah dan aliyah, ia masih sering ngobrolin buku denganku. Bahkan kalau aku pulang kampung saat liburan kuliah. Saat itu fiksi Islami sedang on fire. Buku-buku Kang Abik, Maimon Herawati, HTR, Asma Nadia, Izzatul Jannah, dan Novia Syahidah. Kami sama-sama suka membelinya. Oh, iya, sahabat sejak kecil, Kak Nisa, juga kerap jadi sahabat diskusi buku. Ada juga Kak Ida, tetangga sebelah rumahku yang guru Bahasa Indonesia, aku ingat dari dialah aku membaca buku The Adventure of Tom Sawyer, sebuah karya fenomenal Mark Twain yang kala itu kubaca masih dalam ejaan Soewandi.
Memang seperti falsafah Charlotte Mason, buku-buku bergizi atau yang disebut Living Books dapat mengubah mindset kita. Living Books adalah buku-buku yang mengandung ide-ide hidup. Ide atau gagasan, menurut Charlotte, seperti kuman yang memiliki daya hidup. Sekali bersarang, kuman itu bisa berkembang biak dengan sendirinya, melipatgandakan diri dalam bentuk kembangan ide-ide baru. Itulah tanda ide-ide dalam buku itu hidup dalam pikiran kita (cmindonesia.com).
Memang, buku terbaik yang paling tinggi tata bahasa dan keindahannya adalah kitab suci Al-Qur’an. Keindahan bahasanya tak mungkin bisa ditandingi. Hamka salah seorang penulis yang tak pernah luput membaca Al-Qur’an dan terjemahannya setiap hari.
Aku sering terenyuh sendiri, seperti Ramadan kali ini. Di perjalanan pulang ke kampung, aku merasa ada satu hal yang kosong. Biasanya ada Bu Dokter dan buku-buku favoritku menunggu, hari kedua di kampung pasti sudah mulai inspeksi buku-buku apa yang baru dibeli Bu Dokter. Kadang kalau sedang tak sempat, Bu Dokter memesannya padaku sebelum aku pulang. Jadi, aku bisa memilih buku yang sudah lama aku idamkan, tanpa merogoh kocekku sendiri, aku bisa membaca buku-buku baru incaranku.
Terakhir yang kuingat, aku sedang suka-sukanya membahas buku-buku Iliana Tan dan Ika Natassa waktu tahun terakhir Ibu bersama kami. Ibu mentransfer sekitar 500ribu untuk belanja bukunya sebelum aku kembali ke kampung. Aku memang paling jago merekomendasikan buku kan, Bu? Tak terasa bulir hangat meluruh dari kedua pelupuk mataku. Selamat Hari Buku, wahai guru-guru hidupku…