Buku memang membuat kita senantiasa muda dan bisa kembali ke masa lalu dengan begitu mudah. Itulah yang aku rasakan setelah menamatkan Weathering With You yang ditulis Shinkai Makoto, penulis sekaligus sutradara film animasi dengan judul yang sama atau dalam versi Jepang: Tenki no Ko. Kalau kalian merasa ada yang lucu dengan selera bacaku kali ini, kalian tidak salah. Aku memang sedang sedikit gila, aku pun bertanya-tanya kenapa bisa tertarik membaca buku anak muda—kalau tidak ingin dikatakan anak kecil—seperti novel yang bercerita tentang anak pulau berusia 16 tahun yang minggat dari rumah, menyeberang feri menuju kota Tokyo yang seram. “Tokyo itu serem!” itu selalu digumamkan Hadako ketika tiba di Tokyo dengan anggaran minggatnya yang hanya 50.000 Yen. Kota yang katanya sungguh besar, rumit, sukar, dan tak punya perasaan. Buku yang masih berkelindan dengan mitos-mitos familier di Jepang, tentang dewa-dewa, alam baka yang ada di langit, naga-naga, ikan langit, air yang membuat tubuh mengambang, kekuatan dan keyakinan diri yang dapat membuat dewa bersedia mengubah sebuah takdir.
Alih-alih mencari buku-buku Haruki Murakami atau Yasunari Kawabata, aku malah keasyikan dengan buku yang diangkat dari film animasi berjudul sama ini. Imajinasi memang sangat mengayakan khazanah berpikir dan hiburan semacam ini benar-benar ada. Aslinya, buku ini bukan aku yang membelinya, tapi remaja 16 tahun-ku yang saat ini tinggi badannya menjulang melebihi aku, dia sangat tertarik dengan buku yang diterbitkan oleh Penerbit Haru ini pasti karena sudah menonton animasinya. Weathering With You diterjemahkan langsung dari bahasa Jepang oleh Asri Pratiwi Wulandari, di Jepang buku ini sudah rilis tahun 2019 oleh Kadokawa Corporation, Tokyo. Kemudian diterbitkan Penerbit Haru melalui Agen naskah Japan Uni Agency,Inc., Tokyo pada Januari 2021. Edisi yang kubeli ini cetakan kedua di bulan Juni.
Bisa dikatakan buku ini lumayan laku dan aku punya kepentingan untuk terus terhubung dengan remaja kami yang ternyata kesukaannya tidak jauh berbeda dengan ibu dan ayahnya ketika usia kami sepantaran dengannya. Saat itu, aku tidak lagi bisa menghitung berapa serial manga yang kuhabiskan. Aku punya teman yang memiliki koleksi manga dalam rak yang memenuhi dinding kamar hingga berceceran di lantai (terdengar lebai but damn it’s true, awalnya iri dan pada akhirnya akulah yang paling gembira bisa turut menikmati).
Hanya saja, zaman sekarang manga seperti bertransformasi dalam wujud anime yang tittle-nya sudah jutaan, untuk itu kami perlu berdiskusi mengenai beberapa genre dan seberapa jauh itu akan memengaruhi misi-misi perjalanan pendidikan keluarga kami.
Kembali ke novel Weathering With You yang dibuka dengan adegan Hodaka menyeberangi pulau dengan feri untuk kedua kalinya, sebuah adegan flash back yang akan membawa pembaca berpetualang dengan segala polemik pencarian jati diri sekaligus gelegak darah muda. Novel ini disajikan dengan sudut pandang yang berpindah-pindah, penerbit membedakannya dengan memberikan font atau huruf yang berbeda ketika sudut pandang penokohan bertukar. Tentu saja narasi didominasi oleh pemeran utama, Hodaka Morishima, anak lelaki yang latar belakang keluarganya tidak banyak dideskripsikan dalam cerita. Hanya lewat pertengahan novel, pembaca baru dihubungkan dengan penyebab minggatnya si tokoh dari rumah. Terdengar sangat umum dan terkesan hanya untuk memuluskan jalan cerita yang sebenarnya lebih mengeksplorasi suasana Tokyo dalam versi fantasi penulis/sutradara.
Sebagaimana cerita-cerita Jepang lainnya yang penuh dengan perasaan dan empati, renjana yang kuat telah punya andil untuk mengubah takdir hidup seseorang, bahkan takdir dunia, begitulah kisah Hodaka yang bertemu Hina-san yang ditakdirkan sebagai ‘Gadis Cerah’. Gadis yang memiliki kekuatan gaib dan terhubung langsung dengan langit. Kapan saja dia menautkan jarinya, memanjatkan doa untuk meminta cuaca jadi cerah, maka permintaan itu langsung dikabulkan oleh dewa, walau cuaca cerah hanya akan terjadi hanya beberapa saat. Setelah itu, cuaca selalu bahkan terlalu kacau dan abnormal. Seorang pendeta mengatakan Gadis Cerah semestinya adalah tumbal. Namun, Hodaka tidak tahu apa yang akan terjadi pada Hina-san setiap kali dia meminta cuaca menjadi cerah. Hodaka hanya tahu, mereka terlalu gembira karena dengan membuka jasa pawang hujan, mereka bisa mencari kerja sambilan yang bisa dilakukan anak seusia mereka, bisa terus bersama-sama, dan tentu saja melihat senyum terulas di wajah Hina-san.
Sebuah insiden kecil tapi membahayakan di kapal feri membuat Hadako bertemu dengan Suga-san, dari kesan awalnya, Suga-san adalah orang dewasa yang payah, tetapi saat terdesak di Tokyo, sebuah kartu nama dari Suga-san yang ternyata seorang CEO di sebuah redaksi majalah telah memberi petunjuk bagi Hodaka untuk melanjutkan hari-harinya di Tokyo. Dia mulai bekerja di kantor yang dijadikan rumah tinggal juga oleh Suga-san. Awalnya semua adalah keterpaksaan karena tak ada tempat lain yang bisa dijadikan Hodaka sebagai tempat tinggal setelah terlunta-lunta di kota sebesar dan seseram Tokyo. Namun lama kelamaan, dua orang dewasa di kantor K&A Planning itu menjadi favorit Hodaka, apalagi Natsumi-san yang sangat bersemangat dan selalu mendukung Hodaka.
Kita bisa menemukan semacam motivasi untuk terus berbuat, berusaha dan meyakini bahwa setiap orang memiliki kekuatan besar dalam dirinya yang bisa membuat perubahan. Apakah untuk dirinya sendiri atau bahkan dunia. Memang ada yang harus dilepaskan, tetapi tidak perlu merasa terlalu bersalah untuk risiko-risiko yang harus dihadapi karena sebuah pilihan. “Edo sendiri dulunya katanya teluk kecil di laut. Daratan itu pun berubah sedikit demi sedikit karena manusia dan cuaca. Karena itulah—pada akhirnya semua kembali ke semula.”
“Yah, jangan terlalu dipikirkan, Anak Muda. Sedari awal—dunia ini memang sudah gila.”
Di atas adalah petilan dialog dari Fumi-san dan Suga-san untuk Hodaka yang memutuskan untuk mengubah nasib Gadis Cuaca, seharusnya dia adalah tumbal untuk membuat cuaca kembali normal, tetapi Hodaka ingin Hina-san tetap ada dan tak perlu membayar dengan mengorbankan dirinya sendiri.
Novel ini juga menggugah kesadaran tentang cuaca dan pemanasan global yang menjadi isu senter dunia dalam beberapa tahun ini. Tentang cuaca ekstrim dan kesadaran merawat bumi, bahwa sesungguhnya perubahan iklim itu pastinya akan membuat segala aktivitas dunia terasa abnormal. Walau dalam Weathering With You ini digambarkan tentang hujan yang tak biasa sepanjang bulan, bahkan sepanjang tahun, padahal cuaca juga berhubungan dengan suasana hati manusia.
Agak lama untuk sampai ke bagian klimaks, tapi membaca novel ini persis seperti menonton anime (tentu saja, tadi aku sudah bilang, ya, kalau ini diadaptasi dari sebuah film anime. Bisa-bisa aku dapat satu payung cantik kalau mengulangnya lagi setelah ini), tapi tetap saja narasinya cukup detail dan enak dibaca. Pembaca tetap diberikan diksi dan metafora yang apik sepanjang cerita, walau dialognya seperti tak beraturan, melompat-lompat seolah dibiarkan seperti obrolan yang disesuaikan dengan versi animenya, dan tidak runtut. Yah, khas seperti dialog menonton anime, aku sendiri sudah terbiasa dan jadi mudah bagiku memahami jalan cerita, bahkan saat tetiba sudut pandang berubah dari satu tokoh ke tokoh yang lain. Entah kalau pembaca yang kurang suka membaca komik atau menonton anime bisa jadi terganggu dengan penyajian dialog seperti ini.
Konfliknya cukup jelas dan memancing rasa haru dan empati. Shinkai Makoto bisa mendeskripsikan dengan baik konflik-konflik yang dialami masing-masing tokoh di dalamnya dengan kehidupan kota besar. Untuk hiburan dan belajar cara bertutur yang agak antimainstream, novel ini cukup menyenangkan untuk dibaca. Aku belum menonton animenya dan sepertinya belum tertarik untuk menonton setelah membaca novel ketiga yang kuselesaikan di Februari ini karena biasanya ada dorongan untuk membandingkan versi anime dan novelnya ketika kita sudah melihat keduanya dan aku agak kurang suka mengulas perbandingan-perbandingan semacam itu.[]