Angin kencang menampar dedaunan dan ranting, hujan seminggu ini kerap menemaniku pulang. Aku berlari kecil ke teras setelah mengucapkan terima kasih pada Andy. Belum lagi kuketuk, Karin sudah membukakan pintu untukku.
“Masuk, Bah. Umah kira nunggu reda baru pulang.” Sambutnya dengan gurat lega di wajah.
“Iya, rencana awal begitu. Tapi Andy menawari Abah naik ke mobilnya.”
“Ooh…” balas Karin sambil turut menoleh ke arah mobil merah yang baru saja membunyikan klakson dan berlalu.
“Ayo, Umah sudah buat bubur kanji rumbi untuk Abah.”
“Abah baru saja makan tadi karena diajak Andy, bentar lagi boleh ya, Say.” Bujukku supaya Karin merasa dihargai. Ia hanya mengangguk dan membantu memindahkan baju luarku yang agak dingin ke jemuran dalam rumah.
Aku berberes diri dan duduk di ruang tengah menunggu Magrib tiba. Adam anak kami sedang disuapi makan bubur oleh umahnya.
“Jadi, motor Abah ditinggal di kantor?”
“Iya, besok naik angkot atau ojek online saja.”
“Ooh.”
“Sebenarnya Andy menawarkan jemputan juga, tapi mana enaklah merepotkan sampai segitu.” Karin masih menyimak sambil menyuapi Adam. Aku memangku anak semata wayang kami itu dan menciumi wajahnya yang wangi bedak bayi bercampur bumbu bubur. Adam terlihat sangat menikmati momen semacam itu, begitu juga aku dan Karin.
“Andy itu… istrinya kerja, Bah?” Tanya Karin mulai membahas Andy. Aku tak berprasangka apa pun untuk Karin. Ia jarang menggunjing orang.
Aku suka kepribadiannya sejak awal kami dipertemukan. Walaupun agak canggung karena aku baru bertemu perempuan seperti Karin. Padahal ia manis sekali, tapi tak pernah pacaran, akunya. Memang awal bertemu aku tidak terlalu tertarik karena penampilannya terlalu biasa, tapi itu tadi, aku merasa nyaman sekali di dekatnya.
Canggung, begitulah awalnya suasana rumah kami. Karin istri yang kaku dan tidak neko-neko kalau tidak mau kukatakan lugu. Sejauh ini aku mencoba menyingkirkan jilbab dan bajunya yang menurutku tak sesuai. Ia mau saja mengubah sedikit penampilan dan belajar banyak hal bersamaku. Apa ya, kata yang lebih cocok, mungkin alim, begitulah Karin.
Kukira dulu ia perempuan yang tak seru, tapi ternyata menyenangkan juga. Padahal dari keluarga yang biasa saja, mertuaku perokok berat dan ibu mertua sepertinya tidak terlalu alimlah. Karin anak pertama dan ia punya tiga adik lagi yang cukup segan padanya. Karin berhasil memberikan teladan buat keluarga walau sifat humble-nya tidak sepenuhnya ditiru.
Satu lagi, Karin itu intuisinya sangat tajam.
“Kurang tahu juga ya, Mah. Memangnya kenapa?”
“Nggak kenapa-napa, cuma kita belum sempat kenalan ya sama keluarganya. Andy-nya udah sebaik itu sama kita. Sering ngerepotin dia kan, ya?”
“Iya. Kalau nongkrong lagi, Andy suka banget traktirin Abah.”
“Nah, kan!” gelak Karin. “Abah balas traktir, dong!”
“Haha…iya, selalu kalah cepat dengan dia.”
Lalu masuk pesan di ponselku. Karin mengangsurkan ponsel yang berada di jangkauannya itu kepadaku.
“Makasih, Umah.” Kataku mencontohkan di depan Adam. Ini permintaan Karin, walau terlihat sepele katanya ini besar pengaruhnya buat Adam kelak. Aku menurut saja.
“Ada pesan dari Andy, Mah. Lusa hari minggu ada syukuran rumah baru di tempatnya.”
“Oh ya? Alhamdulillaah. Ayo kita datang, kesempatan bersilaturahmi, Bah.” Kata Karin yang kujawab dengan anggukan setuju.
***
Rumah baru Andy itu cukup luas bergaya kontemporer-modern. Warna netral abu-abu dan hitam menunjukkan selera tuan rumah yang tinggi. Belum dipenuhi perabot, tapi beberapa seperti sofa dan bufet teve masih baru sekali. Karpet-karpet ukuran 250×330 cm terhampar di lantai granitnya.
Bukan saja wanita, aku sebagai pria pun ter-wahwah tidak menyangka. Tentu pekerjaan sampingan Andy berpenghasilan besar atau istrinya yang memang punya income berlebih. Kemungkinan lainnya harta warisan orang tua barangkali. Sebab sebagai rekan kerja Andy, aku tahu berapa pemasukan rutin di perusahaan tempat kami bekerja. Memang akan ada proyek-proyek di luar itu kalau kita sedang beruntung.
Kami pulang ke rumah dengan sepeda motor seperti biasa. Adam tidur dengan pulas karena tertiup semilir angin di perjalanan tadi. Karin tidak masak hari ini, tentu saja, kami kan ada acara syukuran di rumah teman kaya. Hm, ya kaya lah kalau begitu. Aku jadi agak grogi mengingat baru ini yang bisa kuberikan untuk Karin. Sebuah rumah KPR syariah bertipe empat lima yang cicilannya masih lima tahun lagi. Perabot juga seadanya, malah dari rumah kontrakan lama dulu masih di bawa ke sini.
Mesin cuci sudah seusia pernikahan kami, namanya juga kado dari tantenya Karin. Duh! Minder juga sedikit sebagai lelaki, syukurlah Karin itu zuhud, setahuku itulah namanya orang yang nrimo begitu ya. Karin memintaku untuk rutin mengaji dan mendatangi sebuah pertemuan rutin. Walau tidak rajin, tapi atas permintaannya aku mengaji juga. Lumayan sekali untuk menjaga kestabilan hati, ya begitu-begitulah. Selama dia sangat menghargaiku dan penuh pengabdian, aku senang-senang saja. Sebenarnya nyaman, itu yang aku rasakan.
Sekarang aku jadi banyak diam dan mereka-reka apa yang ada di kepala Karin.
“Andy itu istrinya pegawai negri, Bah.”
Nah, kan. Apa aku bilang. Karin pasti sedang berpikir tentang istri Andy yang tak seberuntung dirinya. Aku pun lalu merutuk dalam hati, dulu siapa yang bicara ingin berhenti bekerja, siapa yang bilang tidak boleh berutang untuk hal yang bukan kebutuhan. Yah, mengambil pinjaman pun pertimbangannya bertahun-tahun seperti rumah ini. Nyaris saja saat itu tak jadi mengambilnya, itu artinya akan ngontrak hingga hari ini.
“Oh ya?” entah kenapa aku sedikit tersinggung, sebabnya apa aku tak tahu. Tepatnya aku tiba-tiba saja sensitif.
Andy beruntung sekali, entah dirasuki jin apa, aku jadi agak iri padanya. Tapi dia tetap baik dan aku pun tetap bisa mengendalikan diri. Hanya saja aku jarang nongkrong dengan teman-teman lagi, kalau pekerjaan sudah selesai, aku ingin segera pulang ke rumah. Walau di rumah aku melamun lagi, sibuk dengan pikiranku tentang apakah Karin kecewa padaku?
Aku juga sedang tidak ingin mendengar cerita Andy yang memancing decak kagum teman-teman lain. Tentang merk mobil X, Y, Z, dan spesifikasinya. Ketidakpuasannya dengan mobilnya kini yang katanya transmisi kecepatannya hanya 6-speed, kalau Pajero Sport transmisi otomatis sudah 8-speed. Begitulah.
Aku sedikit kesal memang dan kukerahkan seluruh energiku dengan hal positif. Bekerja lebih tekun lagi dan lebih rutin datang mengaji. Aku masih tetap sensitif kalau Karin bercerita tentang Andy. Aku rada kesal juga. Tapi aku perhatikan terkadang Karin sendiri bingung melihat aku uring-uringan, saat ditanya kenapa, aku tak tahu menjelaskan apa.
Apa mungkin kuadukan semua buah prasangkaku pada Karin. Bahwa dia menganggapku tak becus jadi suami. Kapan ya, Karin bilang begitu? Entahlah.
Bekerja sebagai seorang marketing di perusahaan yang tidak terlalu besar memang butuh kerja keras. Di sela-sela membuat laporan, transaksi jual beli, dan menerima keluhan-keluhan pelanggan, aku juga sempat terlibat proyek pembuatan website di sebuah perusahaan lain. Aku jadi sangat sibuk, sibuk maksimal.
“Abah, kenapa ya belakangan ini?”
“Ya? Maksudnya?”
“Entah, Umah cuma merasa lain aja.”
Aku enggan menjawab.
“Apa kepikiran cicilan rumah kita? Kok kayaknya belakangan ini kerjanya ekstra? Wajah Abah juga kayak kecapean. Kalau kepikiran, lebih baik pakai saja simpanan kita yang sepuluh juta itu.”
Aku masih fokus berkutat di depan layar. Karena memang sedang keasyikan kerja, aku kurang suka diganggu. Tiba-tiba masuk panggilang di ponselku, aku juga enggan mengangkatnya. Karin juga diam saja memandangi layar ponsel. Sepertinya dia paham aku sedang tidak mau diganggu. Kemudian masuk pesan dari Andy.
“Maaf, Bang, mengganggu malam-malam. Aku boleh pinjam uang 10 juta? Tiga hari saja Bang, sampai uangku dikembalikan teman besok. Paling telat lusa sudah ada.”
Sepuluh juta? Kalau aku punya lebih baik kubayarkan ke cicilan rumah sajalah, batinku. Karin di sebelahku ikut membaca pesan Andy.
“Abah percaya?” Tanya Karin
“Maksdunya?”
“Percaya akan dikembalikan lusa?”
Andy kembali menelpon dan tidak kutanggapi. Satu pesan lagi masuk barangkali karena centang hijau di pesan Whatsapp menandakan aku sudah membaca pesannya.
“Entahlah. Tapi Abah heran Andy meminjam uang kok pada kita yang seperti ini.”
“Mungkin karena ia tahu Abah punya simpanan. Besok saja Abah jawab, bukan kita tidak percaya pada Andy tapi bagaimana dengan temannya yang belum kita kenal. Apa benar ia akan mengembalikan uang Andy tepat waktu.”
“Iya. Kita tidur saja sekarang.” Ajakku.
Esoknya aku berangkat kerja seperti biasa, aku tidak melihat Andy. Karena sibuk aku juga tidak sempat bertanya pada teman lainnya atau mencoba menghubunginya hingga istirahat siang datang dan kami duduk di kantin seperti biasa.
“Si Mulut Besar katanya sakit.”
Aku tertegun mendengar Iwa memulai obrolan yang kudengar dari meja etalase kue basah. Aku sedang memilih beberapa camilan favoritku sebelum duduk bergabung dengan rekan kerja lainnya. Siapa yang mereka bicarakan, kenapa Iwa seburuk itu memberikan gelar, batinku.
“Halah! Alasan saja sakit. Paling juga mau ngeles dari debt collector atau sedang melanglang buana mencari mangsa lain buat diutangi.” Kali ini Bai angkat bicara.
“Maksud kalian Andy?” tembakku langsung sambil menggeser kursi untuk duduk bergabung.
“Iya. Hati-hati kamu, Di. Kami sudah pada kena. Minjam dengan nominal jauh di atas gaji kita, nggak pernah dikembalikan. Kalau ditagih jawabnya uangnya ada tapi dipakai orang lain. Ada sama si A, si Z, banyak alasan. Tidak pernah terus terang kalau emang dasar tak punya uang. Jadi orang kok belagu banget. Gaya hidup selangit, semua dari ngutang sana sini!”
Kuseruput kopiku yang tiba-tiba saja terasa getir.
Ah…dunia.