my world

Diskusi Parenting Bersama Ustaz Aad

Salah satu kegemaranku setelah menikah–kalau tidak ingin dikatakan sebuah keterpaksaan yang kemudian menjadi sebuah kegemaran–adalah menghadiri seminar parenting.

Bulan Oktober ini kembali hadir gurunda kami, Ustaz Ardiano Rusfi yang akrab disapa dengan panggilan Ustaz Aad, ke Banda Aceh. Kesempatan yang lazimnya tidak disia-siakan oleh fakir ilmu seperti aku.

“Pendidikan Aqil Balig Sebagai Pembentuk Peradaban” adalah tema yang diusung dalam kajian parenting yang berdurasi lebih kurang dua jam itu. Dimulai pukul setengah dua siang dan berakhir sekitar pukul empat kurang ketika azan Asar mulai berkumandang.

Seperti biasa, banyak sekali pernyataan atau penyampaian Ustaz Aad yang layak untuk dicatat dan diamalkan. Hal yang pertama ingin kubahas tentu saja dalam catat mencatat: aku membuat sebuah resume secara manual di selembar kertas yang diberikan teman baikku. Awalnya aku berencana mencatat di note ponsel saja, tetapi memang rezeki punya teman yang baik dan pengertian, demi melihatku yang sibuk mengubek-ubek tas seperti mencari alat tulis, dia segera paham kebiasaan lupa yang aku miliki dan menyodorkan secarik kertas dan puplen.

Entah semestinya bergembira atau bersedih, tetapi aku ingin pembaca tidak terkecoh. Kali ini aku sama sekali tidak bermaksud membagikan resume yang kubuat saat kelas berlangsung, aku hanya menceritakan bagaimana hari itu berjalan dan apa yang aku rasakan. Notula dan resume diskusi tempo hari cukup panjang, aku dan kedua sahabatku bahkan punya hal-hal yang berbeda untuk dicatat. Kami saling berbagi catatan itu setelah diskusi selesai.

Ada satu pernyataan Ustaz Aad yang menohokku mengenai pengasuhan orang tua zaman kini. Lekasnya anak menjadi balig dan terlambat mencapai aqil banyak disebabkan oleh bunda, katanya. Bunda yang overnutrisi dan overprotektif.

Bunda suka memberikan makanan yang banyak dan menyuapi anak-anaknya dengan berbagai makanan enak kayak nutrisi. Anak terus disuapi walau sudah kenyang. Setelah itu anaknya ingin bereksplorasi justru diproteksi berlebihan. Jangan ke sana, bahaya, jangan memanjat nanti jatuh, jangan ini dan jangan itu. Padahal fitrahnya anak usia balita ataupun hingga tujuh tahun itu adalah mengeksplorasi. Energi dari nutrisi yang sudah diberikan tadi tidak terpakai. Sangat berbeda dengan masa kecil di zaman kita dulu; masa kanak-kanak kita habiskan bermain petak umpet, patok lele, dan permainan tradisional lainnya yang membutuhkan banyak energi, semua nutrisi dan kebutuhan mengeksplorasi tadi tersalurkan.

Sebagaimana ceramah-ceramah Ustaz Aad lainnya, penggagas Majelis Lukmanul Hakim ini tidak pernah lupa mengingatkan peran ayah dalam pengasuhan. Mengingatkan bahwa di dalam Al-Qur’an peran-peran pengasuhan untuk menumbuhkan keimanan anak kerap dilakukan oleh sosok ayah seperti Lukmanul Hakim, Ali Imran, Nabi Ibrahim. Namun, pada kenyataannya yang terjadi saat ini adalah pengabaian dari ayah akan peran-peran pengasuhan tersebut. Ayah hanya berfungsi sebagai mesin uang, pencari nafkah keluarga. Tok, hanya itu.

Jadi kedua hal di atas membuat anak lekas balig, tetapi lambat tiba dalam fase aqil (berakal). Karena bunda lebai, ayah abai, lahirlah generasi alai. Padahal paling telat semestinya aqil dan balig itu tiba berbarengan di usia 15-16 tahun. Itu sudah sangat terlambat. Ada banyak poin lain beserta solusi yang disampaikan Ustaz Aad dan aku hanya mencatat satu saja saat ini dan rasanya aku tertawa sendiri mengingat kelebaianku saat punya anak pertama. Lalu saat yang keempat apa aku tak lebai lagi? Pertanyaan untuk evaluasi setiap hari.

Seperti biasa, di rumah aku selalu menyampaikan kembali isi ceramah dan diskusi-diskusi parenting yang aku dapatkan. Sebagaimana aku juga sangat suka kalau suamiku menyampaikan ulang apa isi ceramah khatib Jumat yang dia dengar setiap minggunya, aku beranggapan dia pun sama gembiranya. Walau dia pernah curhat sekali padaku: “Wah, kalau dengan Ustaz Aad nanti pasti peran ayah disinggung banyak, nih. Sepertinya ayah tahu apa yang akan Bunda sampaikan.” ujarnya dengan nada sedikit menghakimi. Kami tertawa berbarengan, bukan aku namanya kalau tidak bisa mengulur sejenak sebelum kembali menarik tali. Aku mulai penyampaian Ustaz Aad seperti di atas, mengenai bunda lebai dan ya, ujung-ujungnya kami kena dua-duanya. Lagi-lagi intinya bukan masalah kena dan tidak kena, kami hanya harus lebih sering saling mengingatkan sebagai orang tua yang masih harus belajar banyak sekali mengenai pengasuhan.

Waduh, padahal aku hanya ingin ikut #RabuMenulis di #FLPTakengon sekaligus curhat. Terus terang, aku senang FLP Cabang Takengon membuat tantangan seperti ini; menulis spontan setiap hari Rabu! Aku selalu tertantang untuk menulis spontan tentang hal random yang pada akhirnya dibuatkan temanya oleh para pengurus. Kali ini temanya tentang “keluarga”. Kukira aku hanya ingin curhat satu atau dua paragraf, ternyata keterusan. Selamat mengikuti tantangan #RabuMenulis setiap minggunya. Dalam sebuah diskusi, seorang teman mengingatkan bahwa menulis adalah hal ‘praktikal’, maksudnya kalau tidak kita kerjakan dan latih setiap hari, maka kita akan selalu memulainya dari nol lagi seperti kata pelayan di Pertamina: “Mulai dari nol ya, Kak!”

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *