Game Level 3 Tantangan Mengelola Emosi Hari#
Kemajuan yang baik untuk Akib mulai bangun tidur dan tidur lagi. Semakin terlihat kalem dan dewasanya. Uang paling kujaga yaitu cara ia bertutur kepadaku. Kubiarkan tetap luwes dan bebas bercerita apapun tentang segala peristiwa dan perasaannya. Nah, poin ini yang kadang melampaui kadarnya memang. Saking lempeng-nya, ia tak jarang lupa menjaga adab saat berbicara pada orang tua. Kalau marah ya, marah. Meledak meletup-letup. Jadi game kali ini amat sangat berguna baginya. Aku bisa merasakan ia pun akhirnya paham bahwa ia membutuhkan bantuan dalam mengelola emosinya.
Hari ini Akib masih mempertanyakan dimana kunci sepeda listrik yang sejak kemarin siang tidak lagi terlihat. Setelah ia kumpul dengan teman-teman hari minggu lalu, sambil berkeliling dengan sepeda listrik hingga bannya bocor, berbagai usaha masih ia lakukan agar bisa kembali menggunakan sepeda listrik itu. Tapi kami sekeluarga tidak tahu dimana letaknya kunci sepeda tersebut. Mungkin sekenanya ditaruh di tempat yang tak biasa. Ayahnya sempat berang perihal ini. Aku hanya berkomentar dengan kalem, “ya sudah, jadi nggak perlu ditambal ban dulu ke bengkel, nggak perlu susah payah lagi ngelarang Akib naik sepeda listrik.” Sebab sebenarnya aku dan suami agak was-was juga ketika ia berkeliling komplek dengan sepeda tersebut. Terutama kalau ia memboncengi teman lainnya bergantian. Belum lagi ia bolak-balik melobi kami supaya temannya boleh mengendarai sepeda tersebut. Kami tetap bilang tidak boleh. Terlalu beresiko dan kalau sudah mulai satu diijinkan, maka terbuka kesempatan lainnya untuk seluruh temannya. Di awal sepeda diperbaiki, temannya sudah naik dan pedal sepeda akhirnya lepas tanpa ada yang bisa bertanggung jawab. Belum lagi risiko lainnya nanti, lebih baik mawas diri dan membuat rule di awal. Sejauh ini Akib berhati-hati dan memegang amanah.
Walau partner game ini Akib, tapi Biyya ikut terlibat seperti yang kutulis di awal. Semoga bisa menempa kami sekeluarga menjadi tim yang solid.
Family Project sudah berjalan lima hari dan Biyya yang awalnya protes karena ia mendapat SP 1 di hari keempat dan sempat mengatakan “Biyya gak mau ikut game ini, ini bukan game!” Sambil meluapkan emosinya karena ketidaksukaannya akan hal lain, malah malam ini dengan riang minta dibuatkan post it tanda ia berhasil mengelola emosinya jelang magrib tadi. Ia mau mengulang ke iqra 5, dimana biasanya ia tidak suka kami memegang alquran dan ia harus mengaji iqra. Agaknya diantara kami, Biyya memiliki kadar kompetitif yang lebih tinggi. Perlu ada evaluasi untuk statemen ini dan jika benar akan kami arahkan ke surpetisi atau pengelolaan yang benar. Dicatat agar aku selaku bunda bisa ingat dan menjadi PR lanjutan bagi kami sekeluarga.
Ia dengan gembira minta dituliskan kata “Berhasil!!” dan menempelnya di dinding. Walau sebenarnya kurang memenuhi syarat sebab tadi siang dia sempat menangis dan bersuara tinggi saat kuminta salat Zuhur dulu sebelum mengayuh sepeda, tapi jangan sampai ia benar-benar tak mau terlibat dengan game ini karena terus-terusan mendapatkan SP maka kuapresiasi usahanya mulai jelang Magrib tadi.
Ada yang lebih menakjubkan malam ini. Akib yang disleksik dan rencana kami bawa ke psikolog karena rasa takutnya yang berlebihan, malam ini berangkat ke pondoknya yang berada di sebelah rumah, salat Magrib di sana (malam ini ayah anak-anak pulang terlambat jelang Isya, jadi tadi hanya aku dan Biyya yang berjamaah) dan kemudian tilawah. Ia berani tidur sendiri di shelter. Dimana sebelumnya ke kamar mandi saja banyak bayangan yang ia buat sendiri, yang mana ia akui hanya imajinasinya tapi bisa membuatnya merinding takut. Kini ia sungguh berani sendirian di shelter. Copying strategy yang dibangunkan menuai hasil, semoga tak ada lagi takut ke kamar mandi, takut gelap, dan semacamnya. Akhirnya ia berhasil mengelola emosi takut dan cemasnya.
