cerita ceriti,  my little angels,  my world

Gawai di Rumah Kita

Adalah hal yang membuatku terkejut alang kepalang ketika membaca cerita yang ditulis Akib di bukunya dan kemudian dirapikannya di laptop Eun Yud malam itu. Pagi sebelum ke sekolah, Akib sudah menunjukkan buku tulis dan isinya itu, tapi katanya nanti saja Bunda baca sampai habis, karena Akib belum selesai tulis semuanya. Hm, oke baiklah. Kurang lebih begitu saja tanggapanku.

Akib menurutku yang masih begitu ‘ketat’ aturan memakai gawainya bisa terlewat? Ini capture ceritanya

.img20160929172533

Di situ menurutku ada konten kekerasan. Game yang boleh dimainkan Akib hanya minecraft untuk saat ini. Kemudian saat online Akib menggunakan WA berkomunikasi dengan keluarga intinya di grup yang dibuatnya ‘GoldBear Family’. Akib terkadang menonton youtube tutorial minecraft dan tentu saja itu di sabtu minggu alias weekend masing-masing dua jam saja.

Suatu waktu aku dan Eun Yud menemui gurunya untuk berdiskusi dan menanyakan perkembangan Akib. Di sana akhirnya disimpulkan aku terlalu ketat sehingga Akib cenderung berontak. Walas Akib bilang jika kita mendidik anak terlalu banyak aturan, maka ia akan cenderung memberontak. Aku setuju dengan statemen beliau dan sangat berterima kasih atas masukannya. Bukan hal yang mengherankan ketika beliau berkomentar seperti itu karena aku berterus-terang sejak awal, kami tidak memasang channel televisi  setelah memiliki anak (pernah berlangganan TV kabel selama tiga bulan dan sama sekali tidak membantu, seluruh keluarga sepakat mengalihkan budget TV kabel ke buku setiap bulannya).  Mungkin cerita ini sudah berulang kali kuulas dari beberapa postingan termasuk jam main gawai untuk Akib dan game apa saja yang boleh dimainkan.

Baca:https://stanzafilantropi.com/menanam-dan-merawat-benih-milik-sendiri/

Nah, sejurus terlihat aturaaan saja yang ada, apalagi Akib juga tetiba memiliki statemen “Bunda ini banyak kali aturan!” dengan kesalnya ia bisa nyeletuk seperti itu.

Akib bercerita temannya punya telepon genggam pribadi, punya komputer pribadi, dan tablet pribadi. Temannya bisa main kapan saja tidak seperti ia yang hanya dijatah di weekend dan hanya beberapa jam. Oke, aku dan Eun Yud kemudian berdiskusi agak alot dan melonggarkan aturan 2 jam menjadi 5 jam di weekend. Ini disambut dengan amat baik dan memberi dampak buruk karena Akib berpikir ternyata aturan gawai bisa ditawar.

Wajar kalau aku dan Eun Yud dianggap banyak aturan karena dua hal di atas. Padahal Biyya tidak sebegitu keberatannya. Karena kenapa? Biyya mudah bergaul dan suka permainan outdoor, Biyya supel dan gawai bukan kebutuhannya dan teman-temannya di sekolah ataupun teman mainnya saat mengaji. Bahkan tetangga yang sering bermain dengannya tidak memiliki gawai pribadi. Ah, kelihatannya ortu temannya juga tidak begitu peduli dengan gawai. Semua sibuk mengurus sawah berpetak-petak.

Akib dan temannya berbeda. Obrolan di sekolahnya dalah game teranyar dan level tertinggi dari game tersebut. Malah ia bercerita temannya sedang seru-serunya bermain game Pokemon Go. Iyap, tak ada salahnya sih, bagi anak-anak Gen-Z seperti sekarang, aku tak kaget. Tapi prinsip keluarga adalah prinsip. Ia tak boleh dilanggar untuk tetap menjadi anggota keluarga ada aturan baku dan tidak baku tentunya. Walau tak tertulis, kami di rumah memahaminya. Termasuk bagaimana berjuang bersama Eun Yud, ayah mereka sedang mencoba sesuatu yang baru dan membutuhkan seluruh dukungan yang sesuai dengan kapasitas pikir anak tentunya. Akib selama ini dengan kelugasannya adalah Akib yang jujur dan tentu saja tidak dalam kondisi tertekan seperti yang barangkali orang pikirkan.

Aku berdiskusi dengan Kak Wina Risman yang mumpuni dalam hal parenting. Melihat bentuk tulisan Akib memang ia seperti darurat gawai. Gawainya harus dihentikan sebelum dia kecanduan. Eun Yud dan aku siap-siap dan serta merta menginspeksi (tanpa sepengetahuan Akib tentunya) mengenai game yang ia mainkan apakah mengandung konten kekerasan. Buku-buku Insya Allah aman, hampir 100 % buku-buku yang dibaca Akib sudah kubaca. Jadi ada satu buku horor komedi yang judulnya ada ‘nightmare’-nya gitu, aku lupa. Itu  isinya juga bukannya menakutkan malah lucu sekali. Ada sempat ia euforia sekali tentang Night at Freedy, segala istilah yang ia temukan di sana ia tanyakan padaku. Diskusi berlanjut dan aku melihat ada dampak kurang baik dan kami sepakat menghentikan video-video night at freedy tadi.

Tanpa menunggu lama, aku mengajak Akib ngobrol lagi sambil jalan-jalan di akhir pekan, apa sebenarnya yang memantik idenya untuk menuliskan cerita di atas. Ada kata-kata menembak, membunuh di sana. Akhirnya aku tahu bahwa itu semua dari obrolan dan rasa penasarnnya memvisualisasikan cerita teman-temannya. Ia bersemangat menceritakan obrolannya (yang sebenarnya sehari-hari pulang sekolah pun ia ceritakan padaku) kemudain kali ini diulang dan lebih detail. Sampai ia juga nyeletuk menirukan gaya temannya memperagakan salah satu iklan rokok. Ia sangat terkesan dan penasaran. Akib tidak pernah menontonnya tapi temannya yang ekspresif menunjukkannya ke Akib dengan aktingnya yang mengesankan. “Dj*rum Cokl*t ” katanya dengan intonasi iklan. “Apa sih itu, Nda?”

“Oh, dimana Akib lihat atau baca?” tanyaku datar.

“Si A sering tiba-tiba bilang itu.”

“Oooh, itu ya iklan rokok di televisi barangkali,” jawabku sekenanya.

Tiba-tiba Akib terbahak dan katanya dia tidak menyangka itu ditirukan Si A dari iklan rokok. Lalu ia geli sambil membayangkan temannya Si A memperagakn jargon iklan itu.

Setelah meningat-ingat cara Akib bergaul dan dunianya saat ini, aku menemukan titik temu. Cara berbicara yang agak kasar sesama anak-anak tersebut dan wallaahu’alam faktor apakah penyebabnya, itu sangat mempengaruhi tulisan-ulisan Akib. Gawai dan penggunaannya kembali kami setting dengan pengaturan awal seperti yang disarakan Kak Wina Risman. Malah dikurangi lagi. Cukup satu jam satu hari di weekend. Akib juga awalnya protes tapi aku sampaikan sejelas-jelasnya dan sepahaman yang mampu dijangkaunya.

Lalu mengenai aturan, kata Kak Hanna yang juga expert di bidang psikologi bilang, hidup akan ada aturannyan itu perlu. Jadi ada … memang ada hal-hal yang harus diatur dan ada yang harus dionggarkan. Kalau membahayakan  dan berdampak tidak baik ke depan, ya dipakai aturan, beda kalau mau pakai baju warna apa, sendal yang mana dan kemudian kita selaku orangtua yang anaknya belia menjelang remaja tetap bersikeras pada pilihan ortu mengenai hal yang remeh-temeh, baru namanya sok mengatur, banyak aturan dan lain sebagainya sesama jenis yang aku sebutkan tadi. Jadi apakah ketiadaan televisi dan penggunaan jam gawai juga dikatakan banyak aturan?

Kembali membicarakan konten tulisan Akib di atas, apakah itu hanya ungkapan verbal yang sering ia dengar dari teman-teman atau dari game dan totonan? Soalnya apa yang didengar itu juga sangat berpengaruh pada tulisan dan obrolan Akib selama ini. Aku coba berdiskusi dengan para Mahmud di Nasyiatul Aisyiyah yang notabene juga memiliki anak yang seusia dengan Akib. Dari diskusi tadi aku tangkap hanya Akib yang agaknya bermasalah dengan gawai dengan bukti tulisan yang dia buat penuh dengan kode game seperti di atas. Entah, aku tidak ingin meperpanjang lagi dan karena ingin dengan sungguh hati mencari solusi akan permasalahan ini, aku beralih dari ketidakefektifan diskusi di atas dan mulai lagi bergerilya mencari referensi. Referensi utamaku tentu saja Akib sendiri. Bagaimana perasaannya dan menyelami segala cerita-cerita dan harus kupastikan bagaimana ide-ide memantik dari pikiran dan imajinasinya. Bagaimana ia melihat anak-anak seusianya, terutama teman dekatnya bisa mengakses lebih banyak daripada yang ia dapatkan. Memastikan bahwa aku percaya padanya dan ia juga harus percaya pada kami orangtuanya, lalu saling menjaga kepercayaan tersebut. Tidak bebas mengakses game online atau berlama-lama di layar bukanlah akhir segalanya, Kib. Lalu solusi lainnya pun kami tawarkan. Jangan sampai setelah kita di depan deal masih ada rasa yang mengganjal di hati Akib yang kemudian membuatnya harus mencari akses dengan cara backstreet. Jelas ini masalah baru yang harus diantisipasi.

Solusi pertama yang sangat disambut baik oleh Akib adalah buku. Buku sebagai sarana hiburan terutama cergam-cergam yang kemudian aku lebih tingkatkan bobot komiknya dari yang awalnya berkonten sains (komik Why berbagai edisi) menjadi konten sejarah (Komik Muhammad Al-Fatih). Lalu yang sekarang teranyar itu Korel alias Komik Religi walau konten religinya menurutku amat sedikit dan lebih banyak komedinya, tapi insya Allah lebih aman. Kemarin Akib membaca komik si Juki di rumah Tia dan meminjamnya, ada yang bilang itu komik dewasa. Iya, guyonan politiknya juga ada, tapi setelah aku baca juga jauh lebih aman daripada Akib harus bermain gawai.

Solusi kedua yang bisa bersinergi dengan yang pertama adalah, mengobrol lebih banyak dengan Bunda. Bunda janji jadi pendengar yang baik dan budiman. Menjadi orang antusias dengan cerita yang Akib lontarkan, apapun itu. Akib senang dan kita deal.

Solusi ketiga adalah memfasilitasi Akib dengan kertas, pensil dan pulpen. Akses bebas untuk menulis, menggambar dan berapa lembar kertas yang Akib butuhkan, berapa jumlah buku, pena, dan pensil. Mari berkarya nyata.

Sekali lagi, bukan konten gawai yang aku takutkan karena hari ini sudah ada fitur-fitur yang menyaring konten-konten dewasa, tapi efek addict dan cetusan dopamin yang dihasilkan saat berlama-lama dengan gawai itulah yang aku dan Eun Yud khawatirkan.

Ooh, ini anak kami walau pakai gawai kencang tapi pelajaran di sekolahnya diprioritaskan dan hafalan qurannya juga sudah mau khatam 30 juz. Di gawainya semua aplikasi yang mendukung belajar dan buat dia semakin pintar Bahasa Inggris. Ini sebagai hadiah untuk kesuksesan yang dia raih karena pintar dalam segala bidang. Oke, silakan kalau ada orangtua yang berprinsip demikian.

Tapi, Kib… Akib adalah anak Ayah dan Bunda. Pernahkah Bunda menuntut Akib menjadi jawara kelas? Hebat di bidang ini dan itu? Bintang panggung bintang lapangan, bintang sekolah? Berapa kali sudah Bunda tegaskan Akib adalah gemintang yang menyemarakkan hati Ayah dan Bunda. Penerang dan teladan adik-adik, Bunda hanya meminta Akib menjaga salat 5 waktu, lainnya Akib lah dengan diri Akib sendiri. Akib anak Ayah dan Bunda yang tidak akan mungkin kami hadiahi jam pemakaian gawai setiap hari.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *