Rasanya masih seperti mimpi, tetiba aku dan anak-anak sudah berada di kampung halaman, Aceh Singkil. Awalnya kami sudah woro-woro ke Umak, sapaan sayang kami untuk ibu, kalau aku dan anak-anak minta maaf, tidak bisa pulang lebaran kali ini. Mengucapkan hal itu juga seperti mimpi saja. Terdengar lebaikah? Tidak juga kalau mengingat betapa hal yang paling berharga di dunia ini masih kumiliki, kedua orang tuaku, jadi pantas saja terasa pilu di hati memgucapkan maaf tak bisa pulang tahun ini.
Tak ayal membayangkan anak-anaknya yang jauh di rantau di saat pendemi begini, membuat sedih Umak dan Abak, usia keduanya sudah sepuh saat ini, lebran haji pun kami tak pulang, kalau sudah air mata Umak tumpah, tak banyak kata, Abang tengahku langsung menjempat kami dari kampung. Tiba pukul satu malam ke Reuloh dan langsung lanjut jalan ke kampung halaman. Kami juga mengikuti prosedur lapor ke RS setempat untuk didata dan menjaga jarak selama di kampung halaman.
Sampai di kampung halaman, semua ponakan sudah berkumpul juga. Di perantauan sejak diberlakukannya school from home dan work from home, mereka sudah pada mudik lebih dahulu. Jadi bisa dikatakan ramai juga. Selain seru, fenomena yang saat ini kusaksikan tentu saja berbeda dengan masaku dahulu. Rerata mereka memegang telepon pintar di waktu-waktu tertentu. Bahkan ada pula yang tidak punya waktu khusus, tergantung kebijakan keluarga inti masing-masing. Walau begitu, kelekatan hati tetap saja bisa terjadi. Aku ingin melihat dengan kacamata berbeda tentang ponsel pintar di tangan mereka. Untuk gim, aku masih memegang prinsip rigiditas. Kalau tak bisa mengendalikan, kembalikan ponsel pintarnya. Jadi, walau Akib meminta izin untuk memasang gim yang tidak legal di keluarga inti kami, aku tetap tak bisa mengizinkan.
Kumpul bocah jadi lebih sering kusaksikan sambil menyaksikan layar dan obrolannya bedalah sama zamanku dulu.
“Hari ini nggak buat konten, Kak Ayus?”
“Ah, nggak, malas. Emang Bang Amar yang rajin, Kakak entar aja lagi kalau ada tugas. Hahaha…”
“Wah, ada yang belum subscribe, nih. Subscribe doong!”
“Eh, nggak pakai Power Director, ding. Berat kali, Kinemaster yang pro ada? Pernah coba Filmigo. Ah, Inshot…nggak enak!”
Weleeeh…belum ngeh. Aku sesekali nimbrung juga untuk menonton hasil editan mereka. Genre video dan sekadar memberi masukan tanpa diminta. Walau membuat Akib sedikit kesal, tapi aku tetap rajin kasih masukan.
Oh, iya, karena tema ulasan kali ini tentang video-video yang anak-anak buat, ini nih, kuberikan beberapa link Channel Youtube mereka. Kabarnya mereka juga ingin merambahi dunia penyiaran Podcast. Kurasa kalau positif, ada baiknya di balig yang sudah jadi teman ngobrol kita itu dibiarkan. Aku bicara begini lebih kepada menasihati diri sendiri, lo. Soalnya aku salah seorang orang tua yang terdoktrin bahwa remaja (adolescent) sebenarnya tidak ada, ketika anak balig, ia memikul beban syari’ah yang sama dengan orang dewasa. Hm, aku pun padahal pernah seusia itu, tapi mungkin terlampau pelupa untuk memahami dan membarengi perkembangan mereka. Semoga kali ini memberikan peringatan tersendiri untukku supaya lebih bisa memahami mereka, ya.
Nah, ini dia channel Youtube Akib yang masih bertema random kalau Amar sepertinya lebih ke arah hobinya berlatih beberapa alat musik. Ayus juga bikin salut, deh, karena dia gunakan untuk setor tugas-tugas kuliahnya. Hahahaha….