my world

Ibadah dan Kepiawaian Spiritual

Pada malam ketujuh Ramadan, aku bertemu dengan anak angkatku, ia seorang hafizah Qur’an. Dia bercerita bahwa saat ini sedang murajaah hafalan secara daring. Setiap hari seorang temannya di pulau lain menyimak dan memperbaiki ayat per ayat jika ada yang silap dan terlewat. “Ida memilih Mbak Zain karena dia salah seorang teman yang salatnya sangat terjaga, Bun. Tepat waktu, salat sunah seperti sudah wajib bagi dirinya. Malah, saking terbiasanya dia bangun untuk qiyamullail, saat cuti salat, dia juga bangun dan menyalakan muratal Qur’an, lalu kemudian tidur lagi. Konsisten sekali, Bun. Jadi, setiap bertemu dia, hati Ida rasanya tenteram sekali, wajahnya teduh, dan tanpa sengaja, kita termotivasi juga memperbaiki ibadah mahda kita.”

Aku tercenung sejenak. Benar, aku juga pernah memiliki guru yang seperti itu dulu. Setiap kali bertemu, perasaanku seperti tawanan yang tali kekangnya dilepas satu per satu. Aku terlepas dari tumpukan beban pekerjaan yang sudah tenggat, tuntutan duniawi, bebas dari buruk sangka, bahkan rasa sesal dan kesal jika seminggu itu ada persoalan yang membebani hari-hariku. Jadi, saat bertemu seminggu sekali dengannya, aku tak pernah merasa itu jadi kewajiban, melainkan kebutuhanku untuk duduk, saling sapa, dan berujung pada mengkaji ilmu untuk diamalkan sehari-hari.

Kajiannya padahal sederhana; hanya mengenai muamalah, bagaimana berinteraksi dengan tetangga, fiqih bersuci, manajemen diri, tadabbur satu ayat Qur’an, dan seringkali temanya itu ke itu dan diulang-ulang. Kadang dalam diskusi kami bertanya pada guru tentang bagaimana tips agar bisa bangun untuk qiyamullail tanpa harus keteteran salat Subuh, bagaimana konsisten membaca terjemahan Qur’an, dan hal-hal kecil lainnya yang terkait dengan diri sendiri dan keluarga.

Memang pengalaman spiritual yang paling mengesankan bagiku adalah ketika menjadi seorang ibu, tetapi entah mengapa ketika aku sadar sudah menganggap diri ini begitu mudah mendulang pahala hanya dengan melahirkan, menyusui, mengurus anak-anak, lalu aku selalu membatin dalam hati, ah, salat nggak tepat waktu juga pasti Allah Mahatahu, nggak sempat melakukan ibadah-ibadah sunah lainnya juga nggak apa-apalah, wong kondisiku memang berkejar-kejaran waktu begini, asal aku menghindari perbuatan dosa, rasanya yang lainnya itu sudah cukup saja.

Aku seperti menyaksikan cahaya hatiku meredup. Bahkan permakluman tadi seperti kabut yang mengaburkan antara kebenaran dan kebatilan. Karena aku menganggap diriku sudah cukup baik, lalu aku bisa menuduh orang lain tidak sebaik diriku.

Mudah saja bagiku menyoroti perangai buruk orang lain dan kadang-kadang kalau waktunya tepat, aku mulai mengomentari sambil lalu hal-hal yang kuanggap kurang baik. Aku juga mengkritisi beberapa hal yang kuanggap salah, walau sadar betul bahwa itu hal yang subjektif.

Tiba-tiba menghakimi orang lain menjadi begitu mudah bagiku.Aku jadi teringat sosok seperti guruku dan teman anak angkatku tadi. Orang yang ibadah mahdanya disiplin, akan sangat jarang menghabiskan waktu untuk hal tidak berfaedah seperti yang disebutkan di atas: mencari kekurangan dan menghakimi orang lain.

Aku melihat langsung bagaimana individu yang konsisten dengan ibadah dirinya sendiri menjadi begitu piawai mengatur waktunya. Ini mungkin pembiasaan yang tidak disadari banyak orang, bahkan diriku sendiri yang sudah mengamati langsung bagaimana guruku sering bisa melakukan banyak hal bermanfaat dalam jatah waktu sama 24 jam untuk setiap manusia.

Ibadah mahda, seperti salat, tentunya memiliki persyaratan dan rukun tersendiri yang sudah diatur. Berapa banyak jumlah rakaatnya, kapan waktunya, bagaimana gerakannya, bahkan sebelum mendirikan salat itu sendiri, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Hal-hal remeh ini tanpa sengaja menjadi sebuah latihan kedisiplinan yang mumpuni. Bahkan lafaz-lafaz tertentu harus kita hafalkan dan melatih memori sehingga memaksa sel-sel otak kita untuk terus beregenerasi.

Obrolan ketujuh Ramadan dengan anak angkatku tadi menyentak batinku. Sampai di rumah aku masih terngiang nada bicaranya, raut wajahnya saat bercerita tentang temannya itu. Sudah berapa lama aku menganggap asalkan tak berbuat dosa, aku sudah jadi orang yang cukup baik? Entah berapa lama aku sudah lalai menimbang-nimbang diri, berkaca, melihat bopeng dari pantulan cermin tempat aku mematut diri. Ibadah adalah urusan kita dengan Tuhan, itu memang benar. Namun, saat ini kita sering tersinggung ketika orang lain mengomentari betapa kurang khusyuknya ibadah kita, atau mulai mengembangkan pola pikir bahwa orang yang rajin beribadah itu belum tentu baik. Padahal bagi yang salat–tentu saja yang menjaga salatnya dengan sungguh-sungguh–ada jaminan akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.

Lalu sudah berapa banyak orang salat dan mampu menjamin dirinya terhindar dari perilaku keji dan munkar? Wallau’alam.

Kembali lagi pada keteduhan yang aku temukan pada individu-individu yang menjaga salatnya. Setiap kali berinteraksi dengan mereka, ada semacam keinginan untuk terus memperbaiki diri. Ini adalah pengalaman spiritual yang paling ajaib melebihi ketika aku menjadi ibu. Dulu, kukira kesempatan menjadi seorang ibu ini adalah pengalaman istimewa jika aku lakukan dengan kesungguhan, tak ada yang melebihi dari pengalaman seperti itu, tapi setelah obrolan malam ketujuh Ramadan itu, aku mulai berpikir ulang tentang perasaan niskala atau abstrak, tetapi tidak absurd ini.

Betapa menyenangkannya jika aura kebaikan memancar dari setiap orang yang salat. Islam yang berasal dari kata salam; selamat; damai ini akan benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin. Sebab semua penganutnya memiliki kepiawaian spiritual yang ia dapatkan dari kesungguhan ibadahnya.[]

Photo credit: Naufal Raedy

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *