cerita ceriti

Jawara

si Pupus, ibu yang rada angkuh. Lihat saja caranya berpose.

“Sepertinya dia sudah mati ya, Sayang?” tanyaku sambil berberes rumah. Setelah lebih dua minggu kutinggalkan mudik, lapisan debu menebal dan barang awut-awutan.

“Nggak, dia masih hidup tapi kusam dan makin kurus.” Jawab suamiku.

“Iya, Bunda. Jawara masih hidup dan dia merah sekali. Badannya merah!” jelas Biyya bersemangat seperti biasanya dengan suara yang lebih mirip berteriak.

“Merah? Merah bagaimana?” tanyaku heran, tapi sebenarnya aku bisa membayangkan Jawara, kucing berusia sekitar lima bulan yang lahir di sebelah rumah kami saat minggu pertama kami pindah di kompleks ini, sedang menderita penyakit kulit.

Sarcoptes scabei  sejenis parasit  yang tinggal di jaringan bawah kulit. Pasti tungau itu sudah membuat bulu Jawara rontok dan memperlihatkan kulitnya yang iritasi dan memerah. Sebenarnya lebih mengarah ke warna merah jambu, tapi anak-anak ini mengatkan Jawara sudah merah.

“Uuh, kasihan dia ya. Nanti Bunda suntuk ivermectin saja. Sudah lebih enam bulan, sudah bisa, kok.”

Nasib Jawara yang selalu kalah saing dengan Klingkling, adiknya, memang mengibakan. Si Pupus, ibu mereka, yang berwarna hitam putih jauh lebih sayang pada Klingkling ketimbang Jawara. Ia selalu mendahulukan menyusui Klingkling atau kalau sudah diberi jatah makan, dengan kaki depannya si Ibu menampik Jawara dan membiarkan Klingkling makan sepuasnya. Setelah ia makan lebih dulu tentunya. Si Pupus memang tidak keibuan dalam hal ini, ia masih sangat egois.

Pertama sekali kami datang ke rumah ini, si Pupus sedang mengandung Klingkling dan Jawara, ada pula seekor lagi yang sewarna dengannya. Anak-anak selalu memanggilnya Anak Pupus. Kini Anak Pupus yang notabene adalah kakak Klingkling dan Jawara, ukuran tubuhnya sama besar dengan ibunya, si Pupus. Pupus juga tidak sayang pada anak pertamanya. Setiap kali datang, Pupus selalu menghalau dan menyuruhnya pergi dengan suara melengking dan menggarong.

Anak Pupus, karena kurang kasih sayang, jadi manja sekali pada kami semua.

“Aneh sekali ini induk kucing, tidak sayang anaknya sedikit pun!” kata Akib suatu ketika.

“Iya, aduh sifatnya buruk sekali. Kerjanya hanya bertengkar dengan anaknya. Apa ada yang ditirunya, Kib?” Tanyaku menggantung.

Akib memandangku tanda ia menunggu kelanjutan kalimatku.

“Apa dia mirip kita berdua, Kib?” timpalku lagi.

Air muka Akib berubah masam dan ia protes dengan keras “Ah, nggak benar itu. Bunda sama Akib nggak bertengkar. Kita nggak pernah bertengkar. Akib sayang Bunda.”

“Lo, bukannya Akib bilang Bunda ini suka marah-marah?”

“Tapi Bunda baik, nggak kejam seperti kucing itu.” sambungnya lagi.

Konon kata orang-orang, sifat kucing-kucing yang mendiami sebuah rumah itu mirip dengan penghuni rumahnya. Tapi ini semacam khurafat yang tidak layak diyakini. Sikap si Pupus yang kejam menurut Akib sangat tidak layak disandingkan dengan bundanya yang dianggapnya baik walau terkadang masih suka marah.

Faza dan si Pupus

“Yah, Bunda marah kan wajar, karena Akib dan Biyya nggak baik. Maksud Bunda mengajari  kami.” Kata Akib kalau pikirannya sedang jernih. Bisa saja saat ia kalap dan bosan terus-terusan diingatkan, Akib bisa mengucapkan kata-kata yang kurang baik untukku.

Kami berdua individu disleksik yang paling nyentrik di rumah. Suamiku sudah paham saja kalau aku dan Akib sudah mulai cekcok, ia hanya senyam-senyum. Sebab sebentar lagi saat ia mengajakku ngopi malam berdua, aku akan bercerita tentang Akib. Kesal tapi cara pikirnya yang aneh dan sering membuat tawa kami pecah. Belum lagi cara dia memperlakukan adik-adiknya tergantung sekali dengan mood.

Akib pun begitu terhadapku. Setelah misuh-misuh, sebelum tidur ia suka sekali melendot mencari bahuku. Dia juga suka sekali jempol kakiku. Entah… ajaib tiada habisnya. Ia bercerita apaa saja hingga sedetail-detailnya tentang hari-hari dan perasaannya.

Akib dan Jawara seperti memiliki hubungan spesial. Setiap kali aku dan ayahnya berencana membuang mereka ke pasar, forum keluarga akan rusuh. Tidak ada yang setuju kecuali anak angkat kami, Ida. Jadi aku, ayahnya, dan Ida versus Akib, Biyya, dan, Faza. Semuanya seimbang dan hingga akhirnya walau Jawara terjangkit scabies, si Pupus amat emosian, Anak  si Pupus gemar tidur di keranjang sajadah, Jawara dan Klingkling terkadang pup di dalam shelter Akib, kami harus dengan sabar dan telaten membereskannya.

Keluarga kucing ini sedang mencoba berbaur dengan keluarga kecil kami. Tiga hari lagi Kak Ida akan berangkat ke Bandung, suara kami yang ingin menyingkirkan kucing-kucing buduk itu tentu saja semakin mengecil dan nyaris tak terdengar lagi.

Kini ayahnya akan dengan sukacita membelikan pelet kucing kiloan di Petshop, kadang-kadang sebungkus Wiskh*s atau Pedigr*e dan aku akan sigap menyelipkan sepotong atau dua potong ikan saat memasak untuk tetangga kami tadi.

Profesi pula yang menuntutku sebulan sekali mengecek lagi apa penyakit scabies mereka kumat. Aku harus menyuntikkan ivermectin dengan cara subcutan atau bawah kulit, untuk menjauhkan mereka dari parasit  mikroskopis yang gatalnya bukan main itu. Semoga Jawara sembuh total dari buduknya setelah perawatan nanti.

Faza memang peminat hewan berbulu yang satu ini. Ke mana pun. kalau melihat kucing, pasti dikejar. ya iyalah..anak-anak.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *