my world

Karakter Istimewa Anak

Ini adalah beberapa slide yang berhasil aku abadikan di akhir Februari dan awal Maret. Foto-foto ini memantikku untuk membuat beberapa catatan panjang, terutama catatan tentang proses belajar dan sikap Faza, perihal sosialisasinya yang selama ini banyak mitos mengatakan anak yang memilih jalur mandiri dalam pendidikan akan sulit bersosialisasi, bagi kami, Faza justru sebaliknya; dia seperti sudah expert memahami bahasa sosial, berinteraksi, mencairkan suasana dengan guyonnya yang sering mengejutkan aku dan ayahnya, dan betapa mudahnya dia menemukan kenalan baru di tempat-tempat yang baru kami kunjungi beberapa jam saja.

Faza selalu mendapatkan teman di tempat baru

Setiap anak memang membawa karakter uniknya masing-masing. Dulu, aku ingat sekali bagaimana sosialisasi Akib dengan teman-temannya di sekolah, dia termasuk anak yang disukai, tetapi sulit bergaul. Setiap kembali dari sekolah atau tempat yang baru, dia jarang bisa mengingat nama dan menandai wajah temannya. Dia juga sulit memulai obrolan dan lebih suka sibuk sendiri. Aku sering tercenung ketika menyaksikan kecanggungannya bergaul. Padahal, aku sengaja mencarikan sekolah yang seru, banyak ekskul, membawanya dari satu komunitas ke komunitas lainnya.

Semua proses itu memberikan aku banyak pelajaran, terutama petualangan pertama menjadi orang tua; sejatinya tak ada cara lain untuk menjadi sesuatu kecuali dengan belajar terus menerus hingga jatah hidup di dunia ini habis, termasuk mengasuh anak-anak.

Mengunjungi Akib di asramanya.

Sekarang aku lihat Akib sudah punya banyak teman, tapi dia masih sulit memahami karakter temannya dan lebih memilih menyendiri dan mencoba menyeleksi ketat sekali untuk orang-orang yang bisa dekat dengannya. Dia cenderung berhati-hati dan sebagaimana aku melihat ayahnya, Akib mewarisi sifat “menikmati” sunyi dan kesibukan yang diciptakannya sendiri.

Sebenarnya ada keuntungan besar dalam pengasuhan memiliki anak dengan karakter seperti itu. Aku jadi mudah memasukkan ide-ide dan membentuk kebiasaan-kebiasaan, serta menanamkan prinsip-prinsip yang kami anut dalam rumah. Karena dia cenderung tidak terpengaruh terhadap teman dalam pergaulannya yang terbatas itu. Dia banyak ‘setuju’ dan percaya pada ayah dan ibunya.

Aku sendiri yang dulu suka berkumpul dan tidak bisa sepi barang sehari, mulai tertarik dengan kebiasaan-kebiasaan semacam itu. Dari percobaan semacam itu–menciptakan kesibukan sendiri–aku jadi memahami sifat Akib dan ayahnya dan tidak lagi pernah bertanya-tanya apa enaknya sendiri dan bersunyi-sunyi.

Namun, jika aku perhatikan, memang semua ada masanya. Seperti saat ini, Biyya yang berusia 12 tahun sangat suka bergaul dan berkumpul dengan teman-temannya. Masa di mana dia merasa dengan teman lebih asyik, dia mengikuti apa yang teman-temannya sukai, mencoba-coba aplikasi ponsel yang tidak kami setujui di rumah, dan memajang poster dan gambar-gambar salah satu kelompok band yang sedang digandrungi anak-anak seusianya.

Aku memberikan tempat untuknya mencoba, tetapi ada kalanya aku tidak bisa menyembunyikan ketidaksenanganku pada sikapnya tersebut. Apalagi kalau bagi kami hal itu mulai berlebihan, kadang datang sifat tergesaku mengarahkan, buru-buru meluruskan, dan sering aku menyesal setelahnya. Aku dikalahkan oleh egoku sendiri dan tidak bisa menahan diri untuk meluruskan dan masuk dalam lingkaran yang dia buat khusus untuk dirinya saat ini. Ada semacam keterkejutan (shock) dengan keadaan ketika aku mengamati betapa berbedanya Akib dan Biyya.

Biyya beda lagi.

Dua anak tengahku memang berbeda cara bergaul dan menyikapi tren di sekitarnya. Belajar dari Biyya, aku tidak lagi canggung saat menghadapi Faza yang juga sangat suka berteman. Kami sebagai orang tua hanya perlu memberikan ruang yang agak lebar untuk keduanya agar lebih lega dalam mengekspresikan cara bergaul dan pembawaannya yang lebih supel.

Pernah suatu kali, kami sekeluarga ingin ke pantai di akhir pekan, tapi Biyya menolak ikut dengan alasan sudah terlanjur berjanji main dengan temannya. Padahal seminggu yang lalu, dia misuh-misuh karena temannya yang berjanji main bersama harus ikut acara keluarga, dan dia baru diberi tahu di hari H.

Aku mencoba memberikan pengertian, bahwa bagaimanapun orang-orang pasti memprioritaskan keluarganya dan dia tidak boleh marah saat hal itu terjadi. Ketika dia meminta untuk diizinkan tidak ikut ke pantai, aku mengulang lagi tentang skala prioritas, tetapi dia tetap bersikeras bahwa hari itu dia harus bermain dengan teman. Aku memberikan ruang untuknya sekali lagi. Walau ada lintasan pikiran, bahwa pilihannya tidak terasa adil bagi kami, bukankah tempo hari temannya bisa menjadikan keluarga sebagai prioritasnya, lalu kenapa dia lebih memilih bermain bersama teman dibandingkan berkumpul bareng keluarga sendiri?

Itu hanya pikiran sempitku, padahal kenyataannya dia hanya butuh diberikan ruang dan untuk anak seusia dia dengan karakter yang suka bergaul seperti itu, bukanlah hal yang harus aku pikirkan terlalu dalam dan terlalu dini kalau menyimpulkan bahwa dia tidak sayang keluarganya.

Kareem

Mengenai Kareem, sejauh ini aku belum begitu tahu bagaimana kelak cara dia bersosialisasi dengan teman-temannya, tapi yang tampak hari ini, dia bukan tipe anak yang betah berlama-lama di luar rumah. Berbeda dengan ketiga kakaknya, setelah beberapa jam di luar, dia sering minta pulang ke rumah. Pernah aku ajak menginap di tempat lain, Kareem agak sulit tidur dan menyesuaikan diri di tempat baru.

Catatan ini kusimpan untuk nanti kubaca kembali, pasti aku butuh banyak-banyak melihat kembali bagaimana karakter anak-anak ini dan sifat-sifat bawaannya sejak kecil, agar aku bisa belajar lebih banyak: raising children, raising ourselves.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *