cerita ceriti,  my world,  Self reminder

Kelas Kedua di Rumoh Agam (5 Cara Menaikkan Citra Diri)

Membangun mimpi dengan kata-kata dan menjadi salah satu individu yang berdiri tegak dan konsisten sebagai penggiat literasi memang berat. Mungkin untuk  memulainya akan lebih mudah, maka ketika kelas lalu kita sudah bersepakat akan langsung memulai menulis jurnal harian, lagi-lagi di pertemuan kali ini, kita harus balik mengulik beberapa dalil-dalil literasi untuk tetap termotivasi.

Kelas menulis di Rumoh Agam kali ini membahasa empat cara mendongkrak citra diri.

Pertama menjadi man/woman of idea, di mana kita harus jadi orang yang punya inisiatif dan ide-ide brilian untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Kedua, man/woman of speech, mampu mengekspresikan ide tersebut secata lisan. Ketiga, man/woman of writing, kita harus bisa pula menuangkan ide tersebut dalam sebuah tulisan. Penting sekali piawai menulis di zaman sekarang. Hampir semua pekerjaan membutuhkan report atau laporan tertulis. Dua hal lagi yakni, man/woman of action dan man/woman of image.

Kita harus berusaha memenuhi paling tidak, tiga kriteria di atas untuk menjadi seorang profesional di bidangnya. Kesemuanya itu bisa kita capai dengan ketekunan dan latihan terutama dalam bidang literasi.

Sejatinya cakupan literasi itu amat luas
Bukan sekadar aktivitas yang berkaitan dengan baca tulis, tapi mendengar, berbicara, menyimak, meresapi, dan kemudian mengamalkan, adalah bagian dari cakupan literasi!

Contoh dekatnya adalah literasi Alquran. Dari tingkat awal kita bisa mengenal huruf Hijaiyah dan kemudian mampu membacanya, kemudian membaca dengan benar sesuai dengan tajwid. Lebih ke tingkat atas lagi kita bisa mengetahui arti bacaan tersebut, memahami, meresapi, dan kemudian mampu mengamalkannya.

Diskusi berlangsung dengan seru karena anak-anak Rumoh Agam ternyata diam-diam juga punya cita-cita menjadi orang kaya raya. Bisa tidak, sih, melalui jalan ini? Sebenarnya kalau ingin dijawab, itu memang hak Allah mengetahui rezeki masing-masing hambanya, tapi saat itu aku mencoba membangun sebuah optimisme kalau kegiatan literasi, khususnya menulis ini memang menghasilkan.

Kalau tidak bisa kaya raya dari sumber tersebut, tapi yakinlah penulis yang bersungguh-sungguh tidak ada yang kelak hidupnya susah-susah amat. Lalu aku pun berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang orang-orang yang berhasil menjadikan profesi penulis atau kegiatan literasi lainnya sebagai penopang hidupnya. Anak-anak jadi berbinar.

“Tapi tentu saja kita harus berniat lurus, bukan sekadar materi. Hal yang paling penting itu mencoba terus belajar dan melakukan yang terbaik, uang akan datang belakangan…”

“Nah, dengar itu! Jangan uang saja di pikiran.” Seloroh yang satu pada teman lainnya yang disambut derai tawa.

Penghujung senja tiba, roti, kopi, dan gorengan hampir tandas. Kami berjanji untuk pertemuan berikutnya dan bertekad akan menjadi individu yang melek literasi!

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *