my world

Kompeten Berkompetisi

Harusnya kan aku menyelesaikan satu tantangan menulis lagi sebelum Syawal datang, tanda aku menyelesaikan “Ramadan Challenge” dari grup menulis Inong Literasi. Namun yang terjadi adalah, aku gugur tepat di hari terakhir. Nah!

Ingatanku pun melayang ke momen dua tahun lalu saat aku mengikuti tantangan yang kurang lebih sama di Steemit, Sndbox Writing Camp. Saat itu berbenturan dengan tantangan dari kuliah daring Bunsay yang diadakan Institut Ibu Profesional, padahal tinggal satu tantangan lagi. Ya, begitulah ending yang terjadi berulang-ulang.

Katanya, keledai yang bodoh saja tidak jatuh ke dalam lubang yang sama. Lalu sekarang apa namanya kalau tidak jatuh ke lubang yang sama, apa diriku lebih bodoh dari keledai? (nulis sambil ngakak). Nggak mau dong, ya, aku hanya asal mengetik saja, nih! Aku tak mau disamakan dengan keledai.

Guru IPS-ku pernah bilang, “Aini, kamu betul-betul jago ngeles, pintar beretorika, bisa aja cari alesan. Kamu sepertinya berbakat jadi politikus!” Katanya bungah dan agak bangga. Walau redaksinya tak persis seperti itu, tapi dari tawa dan getaran kumis yang membuat ia lucu plus sangar itu, kentara sekali kalau ia ingin marah tapi juga kagum. Berkat piawainya ia mengajar ilmu sosial, ada murid yang jadi cerdas sepertiku. (Ngakak lagi, deh).

Sekali ini aku punya alasan memang. Kareem demam jelang deadline. Beberapa premis membeludak di kepala, harus segera dieksekusi. Belum lagi jelang malam takbiran, kumpul keluarga membuatku tak mungkin menyentuh tuts kibor bahkan untuk menulis di catatan ponsel sekalipun. Aku pasrah sudah.

Ketika di sisa hari aku bisa membuka lappy dan catatan di ponsel, kuprioritaskan pekerjaan lebih dulu, lalu aku mulai menuangkan beberapa ide untuk bab tabungan naskahku yang dulu pernah dilamar penerbit indie dua tahun lalu. Kenapa tidak diselesaikan? Sebab bagiku menulis artikel atau sekadar menulis membuang penat seperti ini tak bisa disamakan dengan menulis untuk menyampaikan dan menyajikan karya buat pembaca. Aku menyayangi pembacaku, tentu saja. Cerita fiksi yang dibumbui sains memerlukan riset lebih dalam. Apalagi dia adalah fiksi, berulang kali menyiasatinya agar tetap logis adalah sebuah seni berimajinasi. Tak ada deadline untuk fiksi, itu yang membuatku mau tak mau harus mundur kala itu. “Kami bisa terbitkan e-book-nya dan untuk cetak kita buat sistem POD.” Betapa aku berterima kasih untuk penghargaan semacam itu, tapi tentu saja aku belum bisa.

Kembali ke tantangan yang tidak juga mampu aku tuntaskan. Lalu akau bertanya dalam hati, seberapa berani aku menantang diri sendiri, ya? Aku jadi teringat Akib, anak sulungku, semakin ditantang, ia semakin santai. Jarang sekali motivasi itu datang dari luar pinggangnya, keinginan untuk menyelesaikan sesuatu kerap datang dalam dirinya sendiri. Aku sering tak suka dengan tabiatnya yang membuat program-program rumah kami terasa tak punya peningkatan. Namun, dari sana aku juga bisa membaca dari mana perilaku itu diturunkan. Ternyata dari ibunya sendiri, kan? Seringkali ketika diajak berkompetisi, selera berkaryaku menguap seketika. Kalau dari tes bakatku dengan Talents Mapping tools, competition itu bagian hitam. Wah, pantas saja, kan? Ini pasti bagian ngeles yang paling keras. lntinya, sih, kurasa aku tidak kompeten untuk berkompetisi, bahkan dengan diri sendiri. Haha.[]

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

One Comment

Leave a Reply to Nurul Fajri Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *