cerita ceriti,  Just My Opinion,  my little angels,  my world,  Self reminder

Legalitas dan Tantangan Homeschooling*

31 Agustus 2021

Setelah tulisan saya tentang sekolah rumah (homeschooling) untuk anak dimuat di Jurnalisme Warga Serambi Indonesia 26 Agustus 2021 lalu, banyak yang bertanya pada kami bagaimana legalitas homeschooling? Apakah menyelenggarakan sekolah di rumah sendiri diizinkan oleh negara?

Penyelenggaraan pendidikan anak oleh keluarga sebagaimana yang dilakukan oleh keluarga homeschooling adalah sebuah kegiatan yang legal dan dijamin oleh hukum. Keluarga sebagai bagian dari masyarakat dijamin haknya oleh UU no 20/2003 untuk menyelenggarakan pendidikan bagi putra-putrinya. Sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas, setiap warga negara mendapat jaminan dan perlindungan untuk memperoleh pendidikan berkualitas. Setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan sesuai minat bakat dan kemampuan anaknya (Pasal 12). 

            Banyak yang masih salah paham mengenai homeschooling, terutama mengenai sosialisasi. Jika berpikir homeschooling sekadar memindahkan sekolah ke rumah, mungkin bisa saja berdampak buruk pada kegiatan sosialisasi anak. Anak homeschooling terbiasa bergaul dengan orang-orang lintas usia, pada dunia kerja atau realita pun tidak semua rekan kerja usianya sebaya. Riset justru menunjukkan paparan sosialisasi lintas usia (vertical sosalization) yang dilakukan anak-anak homeschooling membuat mereka lebih luwes terhadap kegiatan sosialisasi dibanding dengan sekolah formal yang hanya terekspos dengan sosialisasi sebaya (horizontal sosialization).

            Saat ini banyak praktisi homeschooling di Aceh dengan latar belakang yang berbeda-beda, alasan memilih homeschooling juga sangat bervariasi. Ada yang karena kerap berpindah-pindah tempat tinggal karena tuntutan kerja orang tua, ada yang merasa anaknya tidak nyaman di sekolah formal, ada juga karena merasa tercerahkan dengan sistem Home Education di mana orang tua terlibat langsung dengan pendidikan anak-anaknya.

            Anak-anak homeschooling biasanya bisa belajar di mana saja. Bukan hanya di rumah sendiri, kadang mereka belajar di taman, di perpustakaan, di kampus sebuah universitas, di kafe, dan di rumah keluarga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan homeschooling. Begitu juga dengan guru-gurunya. Biasanya yang mengajar anak-anak homeschooling adalah tutor-turor yang ahli di bidangnya masing-masing atau orang tua yang berbagi peran mengajarkan beberapa mata pelajaran yang diminati oleh anak. Mata pelajaran dan kurikulum anak homeschooling biasanya terkostumisasi disesuaikan dengan kebutuhan dan minat bakat anak.

            Ada tiga jalur yang umum dikenal pada homeschooling yakni, jalur profesional, jalur akademis, dan jalur entrepreneur. Pada jalur profesional yang dinginkan adalah output dan kemampuan menghasilkan karya. Maka biasanya yang memilih jalur ini akan memiliki portofolio berupa hasil karya yang bermanfaat bagi orang lain. Saat ini profesi cukup beragam, seperti fotografer, desainer, videografer, web developer, penulis, blogger, dan lain-lain. Apalagi dengan pertumbuhan marketplace di dunia freelancing, ijazah saja tidak cukup, tapi dibutuhkan kemampuan riil dalam menghasilkan output dan menyelesaikan masalah.

            Yang kedua, jalur entrepreunership. Menjadi pengusaha atau pebisnis adalah sebuah bidang profesi yang semakin populer di Era Revolusi Industri 4.0. Inilah yang dimaksud jalur entrepreneur. Apalagi saat ini peluang semakin terbuka karena modal yang dibutuhkan lebih minim dibandingkan dengan zaman dulu.

            Ketiga, jalur akademis adalah jalur yang biasa diaplikasikan di sekolah-sekolah formal. Ini merupakan jalur biasa (mainstream) yang dulu disebut sebagai jalur satu-satunya untuk menggeluti dunia profesi. Padahal tidaklah seperti itu. Namun, bagi anak homeschooling yang menginginkan ijazah, bisa mengikuti ujian kesetaraan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang dikelola swasta maupun milik negeri. Untuk mengetahui PKBM yang terdekat dan kredibel, bisa mencari di website resmi Kemendikbud.

            Menjadi orang tua homeschooling tentu berbeda dengan orang tua yang anaknya belajar di sekolah formal. Dikatakan berbeda karena orang tua homeschooling harus lebih banyak belajar agar bisa menjadi fasilitator dan tutor yang efektif bagi anak-anaknya. Orang tua homeschooling juga harus membuka diri dan bersedia belajar hal-hal baru. Kesediaan orang tua untuk belajar akan menciptakan budaya belajar yang tentu saja akan diadopsi juga oleh anak-anaknya dalam keseharian.            

Banyak tantangan homeschooling, tapi hal itu bisa diatasi dengan sebuah keyakinan atas pertolongan dari Allah. Seiring dengan keyakinan itu, kami terus berikhtiar dengan meluruskan sudut pandang tentang sekolah rumah. Salah satu tantangannya, jangan pernah membandingkan apa yang sedang dijalani dengan metode homeschooling keluarga lain. Kelebihan homescooling, orang tua bisa menyesuaikan kurikulum belajar dengan kondisi anak dan keluarga. Jika ingin belajar dari metode-metode orang lain, tentunya tidak untuk membandingkan yang membuat para praktisi homeschooling menjadi tidak percaya diri.

Meluruskan sudut pandang juga tentang membereskan hal yang satu ini: yaitu jangan berupaya memindahkan sekolah ke rumah. Homeschooling tidak sama dengan PJJ yang dilakukan siswa-siswa selama pandemi. Jika tetap memaksakan kurikulum sekolah formal diberlakukan dalam sekolah rumah, itu artinya orang tua harus siap-siap stres, frustrasi, dan menjadi depresi. Apalagi jika dipadukan dengan target-target pencapaian dan menyesuaikan dengan nilai-nilai KKM yang berlaku di sekolah. Homeschooling bukan juga les privat dengan cara mendatangkan guru-guru mata pelajaran ke rumah dan mengajari anak-anak tentang IPA, IPS, Matematika, dan Bahasa Indonesia.

Membahas hal ini memang terdengar lucu, tapi memang masih banyak orang tua yang menanyakan hal ini pada kami. Apakah kami sebagai orang tua sudah menguasai semua mata pelajaran sehingga berani memutuskan mengajar anak sendiri? Apakah kami punya kompetensi sebagai guru? Kalau tidak, bagaimana mungkin berani-beraninya mengajar anak sendiri? Apa tidak peduli pada pendidikan anak? Bagaimana kurikulumnya? Apakah kurikulum yang dicomot sana-sini? Ah, buat anak, kok, coba-coba?

Untuk menyelesaikan semua pertanyaan di atas, kami perlu belajar kembali. Maka ada istilah deschooling yourself bagi orang tua yang memilih jalur sekolah rumah untuk anaknya. Agar tidak dikotomi oleh hal-hal di atas. Padahal karena sangat peduli mengenai pendidikan anaklah kami memilih sekolah rumah, padahal berangkat dari rasa peduli dan sayang, maka beberapa orang tua memutuskan memilih sekolah rumah.  

Deschooling yang disebutkan di atas merupakan tantangan lain menyelenggarakan sekolah rumah. Orang tua harus sudah selesai dengan diri sendiri. Orang tua berpikiran terbuka, membuka hati seluas-luasnya, dan kembali mempraktikkan sebuah pernyataan bahwa belajar harus sepanjang hayat. Maka sebagai orang tua yang juga berperan sebagai guru, orang tua berupaya tetap waras dan update dengan upaya-upaya yang paling memungkinkan.

Upaya lainnya adalah berkumpul dan berdiskusi dengan orang tua lain yang juga menyelenggarakan sekolah rumah. Sharing is caring adalah sebuah jargon yang dipraktikkan dengan kesungguhan. Berbagi adalah bentuk kepedulian. Bagi orang tua yang memang ingin menyelenggarakan sekolah rumah, bukan hanya dibutuhkan kemantapan hati dan pikiran yang terbuka, tapi juga mindset yang benar serta pengetahuan yang cukup. Karena banyak yang belum tahu bahwa homeschooling itu legal dan bisa menjadi alternatif terbaik bagi pendidikan anak.[]

*Sudah dimuat di Jurnalisme Warga Serambi Indonesia tanggal 31 Agustus 2021

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *