cerita ceriti,  Cerpen,  Fiksi

Memilih Nyeri

Ibarat memilih telur, aku ingin membeli yang terbaik. Cangkang yang bersih dari feses, tak ada jamur di permukaannya, cukup tebal, dan berwarna bagus. Kupikir telur salah satu jenis yang mudah sekali busuk, kan? Begitu juga hati.

Jadi, saat pertama sekali memilih menjalin perjanjian yang kuat atau mitsaqan ghaliza, aku ingin memastikan dua hal selain agamanya yang baik. Pertama, apakah ia benar-benar tidak berpacaran sebagaimana aku menjaga masa jomloku. Kedua, apakah ia menikahiku karena jatuh cinta.

Poin kedua terasa amat penting bagiku. Kalau dorongan datang dari luar, aku khawatir suatu saat ketika hal itu hilang, maka berhenti pula hubungan kami.

Namun, di situ pula aku diuji. Setiap manusia akan diuji pada titik lenturnya. Apa benar? Kenapa aku merasa akan patah setelah semua ini? Aku merasa pilu, hancur, pedih tak tertahankan.

“Zaa…kamu mau memikirkan apa lagi? Ghazy itu sudah cocok banget. Lihat diri kamu. Kamu masih muda, masih 27 tahun, Keizaa. Ragil juga masih tiga tahun, dia butuh sosok ayah. Kalau nanti dia sudah besar, belum tentu dia mau berayah tiri. Pikirkan yang benar. Jangan hanyut terbawa perasaan. Pikirkan masa depan kamu dan anakmu! Apalagi kamu tidak bekerja sama sekali. Mama juga akan pensiun dua tahun lagi!”

Ini desakan. Benar-benar bukan yang pertama kali. Tama, Hayyan, entah siapa lagi… Ghazy ini lelaki yang keempat yang datang tahun ini. Kenapa hidupku begitu berat? Maafkan Tuhan, aku harus bertanya begini! Aku tak ingin jadi hamba yang tak tahu diri, tapi aku merasa akan patah.

“Ma, ini belum dua tahun..” lirihku.

“Masa iddah kamu sudah jauh hari. Usia kamu bertambah terus, Za.”

“Aku…masih mau bertemu suamiku di surga. Kalau aku menerima Ghazy berarti hilang kesempatanku berkumpul lagi dengan Mas Eghi,” Isakku kesekian kalinya.

Mama hanya menatapku iba, amarah sudah lelah menggelayuti kepalanya.

“Za, Mama yang paling tahu bagaimana rasanya…”

“Kalau begitu, kenapa Mama memaksa Keiza? Mama sendiri tidak menikah lagi setelah Papa pergi.”

“Zaa, Mama sudah merasakan bagaimana pahitnya menjadi orang tua tunggal…jangan hanya pikirkan perasaan kamu. Jangan egois.”

Mama berlalu meninggalkanku di kamar sendirian. Kuambil pigura berisi foto Mas Eghi dari nakas.

Sabar ya, Keiza… Orang baik memang lebih disayang Allah. Eghi suami saleh yang terjaga. Dia sayang banget sama kamu. Kami dulu sempat jealous kalau melihat cara Eghi menatap kamu. Yang sabar, Kei, kamu pasti kuat.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

8 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *