cerita ceriti,  Kuliah Bundsay IIP,  my little angels,  my world,  Parenting,  Self reminder

Mencari Permata dalam Binar Mata (Hari V)

Hari 5 (21 Mei 2018)

Tantangan Game level ke-7 Kelas Bunda Sayang

Perasaan berat memasuki sekolah baru dengan teman-teman yang belum dikenal juga menggelayuti Akib. Kurasa sebuah awal amatlah penting, maka aku mencoba tidak memaksa Akib ikut pesantren Ramadan di sekolahnya, tapi aku akan membujuknya dengan hati-hati.

Berkomunikasi dengan Akib adalah metode menggulir bola dari bawah. Apalagi saat ia sudah menyiapkan tembok kokoh dan tinggi. Sebuah kepastian penolakan akan seuatu hal. Maka aku coba membujuknya dengan hati-hati. Melemparkan bola komunikasi padanya sama dengan melempar muka ataupun kepalaku sendiri.

Aku mengajarkan sebuah makna konsekuensi sebuah pilihan. Bahwa apa yang sudah coba kita sepakati adalah sesuatu yang harus kita coba jalani dengan senang hati. Kemarin kita sudah menjatuhkan pilihan untuk bersekolah di HC, sekarang lah saatnya masa orientasi dan penyesuaian. Rasa gamang dan kekhawatiran akan sebuah lingkungan baru, itu wajar karena setiap kita butuh beradaptasi.

Kemampuan Akib berdebat kurasa didapatnya dari bundanya sendiri. Aku masih ingat bagaimana guru IPS-ku yang bernama Pak Daud Sunni pernah berkata, “Kamu memang pintar sekali mendebat orang.” Saat itu aku lupa ada persoalan apa di antara kami, aku bukan seorang siswa yang tidak taat aturan dan bandel, justru aku siswa kesayangan banyak guru, termasuk Pak Daud Sunni yang seringkali membangga-banggakanku sebagai muridnya.

Aku melihat ada potensi semacam ini dari Akib. Di mana dulu aku sering tak habis pikir dan menyangka ia anak yang bandel dan tidak santun. Ia bisa mencari celah dan alibi saat aku membuat aturan-aturan main gawai atau tawar menawar jam gawai ketika ia masih berusia delapan tahun. Dari latihan bertahun-tahun dan menyadari ada bakat negosiasi yang tersimpan dalam diri Akib, aku pun segera mengganti strategi menjadi komunikasi menggulir bola.

Tak ada kata, “yang penting Bunda ingin seperti ini. Titik!” Akib pun akhirnya berpikir mencari alasan yang tepat ia tak mau mencoba datang ke sekolah barunya. Di balik penolakan tersebut, aku mencoba memahami isi hatinya, membaca pikirannya, dan mencoba berempati sedalam mungkin. Sedikit keberatan Akib tetap ingin mencoba hadir dan terlibat di masa orientasi sekolahnya. Di hari pertama katanya ia cukup bosan tapi ia bisa mengendalikan emosi.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *