cerita ceriti,  Just My Opinion,  my little angels,  my world,  Resensi,  Self reminder

Mengasuh dengan Arus Kesadaran, Belajar Tanpa Batas

Alhamdulillah, aku merasa beruntung sekali bisa hadir di kelas Zoom Meeting eksklusif yang diadakan oleh penerbit Kawan Pustaka tanggal 8 Oktober lalu. Awalnya karena Laila mengajakku prapesan buku Belajar Tanpa Batas yang ditulis oleh Inge Tumiwa-Bachrens. Memang beginilah kalau kita berdiskusi (baca: curhat) dengan orang yang tepat. Setiap kali mentok dan merasa perlu teman bicara mengenai pengasuhan, aku seringkali tanpa kenal waktu mengusik Laila, atau saat playdate anak-anak berlangsung, diskusi-diskusi ‘how‘, ‘why‘, hingga ‘what if‘ itu tidak beralih ke mana-mana. Seberapa lama pun waktu yang kami punya, diskusi panjang tetap fokus di tema yang sama.

“Dan ke jangan lupa ikut kelas diskusinya, ya. Pukul 10 ini, jangan salah lihat karena itu WITA.” WA Laila hari Minggu itu.

Aku spontan terbahak. Kapan, sih, kami saling kenal? Lima atau tujuh tahun yang lalu? Oh, Tuhan! Aku sangat familier dengan peringatan semacam itu. Salah lihat jam adalah salah satu ‘penyakit gila nomor tiga’ yang aku punya, tapi biasanya adik atau kakak—sekarang suamiku—yang selalu mengingatkan hal semacam itu. Dari sana aku mulai paham, ada semacam chemistry yang telah menautkan persahabatan antara aku dan Laila, pertemuan yang sudah ditulis di Lauhul Mahfuz. Betapa aku bersyukur atas segala rencana Allah ini. Alhamdulillah.

Lalu, kembali ke topik utama: Apa sih, mindful parenting yang digadang-gadangkan dalam penyampaian Mbak Inge di Belajar Tanpa Batas? Kita sering mendengar istilah mindful parenting, pengasuhan empati, pengasuhan penuh kesadaran, dan semacamnya. Namun, saat pertama lembar-lembar buku Belajar Tanpa Batas mulai aku lahap, seperti satu per satu isi kepala dan ide-ide yang terbangun dan kualami selama ini meloncat jadi kumpulan aksara di dalam buku tersebut. Leganya lagi, bukan sekadar why and how, tapi do this and that sudah tertuang di dalamnya. Ibarat sekrup bertemu baut yang galau sepanjang 17 tahun mencari waktu yang tepat untuk saling bertaut dan menguatkan, seni pengasuhan ini sangat relevan untuk semua zaman dan bisa dijalankan oleh keluarga dengan beragam kondisi. Apakah ia orang tua tunggal, orang tua lengkap, dengan anak sambung atau anak kandung, dan dengan kondisi apa pun, kita sebagai orang tua harus melepas (atau menurutku masih punya banyak kesempatan untuk melepas) segala sesuatu yang tidak lagi benar, tidak relevan dan tidak lagi berguna. Di bab awal, Mbak Inge langsung memberikan highlight; setelah melepas, kemudian mempelajari kembali esensi belajar dan pendidikan yang sesungguhnya (mindful education) dan esensi pengasuhan anak yang membahagiakan dan menyehatkan anak secara menyeluruh mindful parenting)-Belajar Tanpa Batas, hal 22-

Kalau bisa kukatakan, sejak halaman pertama, aku ingin memberi catatan kecil ataupun menggarisbawahi setiap paragraf yang ada dalam buku tersebut, lalu memindahkannya dalam ulasan ini, tapi tentu saja itu tak mungkin, kan? Penerbit juga sudah sangat memudahkan pembaca dengan penataan letak yang apik dengan font dan warna yang membuat penyampaian isi semakin menarik.

Saat diskusi dengan Mbak Inge di kelas Zoom, pembahasan menjadi lebih detail dan meyakinkanku bahwa setiap orang tua yang mau, bisa melakukannya. Memang awalnya, me-reset mindset, terutama bahwa belajar berarti mesti dengan cara konvensional yang sudah mengurat akar dalam pemikiran-pemikiran orang kebanyakan saat ini adalah sulit. Ketidakberanian dan ketidaknyamanan berjalan di luar stigma memang awalnya membuat bingung dan cemas, tapi bukankah kegelisahan yang menemukan jawaban adalah sebuah pencapaian? Hal inilah yang kemudian membuat kita menetap dan mampu konsisten menjalankan pengasuhan keluarga kita dengan sebaik-baiknya.

Dalam buku Belajar Tanpa Batas ini dibahas dengan cukup runtut dan rinci, walau menurut pengakuan Mbak Inge, tidaklah mudah mengemukakan detail-detail hanya dengan satu seri buku. Membahas pendidikan kehidupan keluarga saja tidak mungkin tuntas di satu bagian. Membahasnya mungkin sudah lebih tebal dari buku ensiklopedia mana pun, hanya saja nanti akan dibuat terpisah agar memudahkan untuk dibaca, aku Mbak Inge.

Mindful parenting konkretnya seperti apa? Pengasuhan berempati, apakah akan selalu memanjakan anak, mengatakan iya pada setiap kemauannya?

“Mama, aku nggak mau beginii, aku maunya begituu!”

“Oh iya, Nak, baiklah, Sayaang…”

Lalu, apakah dengan cara diatur dari A sampai Z dan kalau tidak sesuai harus ada punishment dan jika menurut ada reward? Tentu saja bukan keduanya. Lalu bagaimana? Silakan lanjut membaca.

Satu lagi contoh kecil: ketika kita melihat anak sulit mengikat tali sepatu, lalu dengan epiknya kita lekas-lekas membantu. Toh, saat itu pun kita terburu-buru. Atau esoknya saat membeli sepatu, langsung kita belikan yang tidak perlu ada talinya. Sekali ‘srek’ beres.

No! Sama sekali bukan. Pengasuhan empati justru sangat fleksibel dan memudahkan tapi tetap ada aturan. Pengasuhan penuh kasih sayang dan cinta dengan tetap ada sentuhan disiplin dan batasan yang wajar.

Contoh mengenai tali sepatu tadi, orang tua yang harus mengatur ekspektasi. Biarkan dia berlatih, walau hingga satu setengah jam ia memasang tali sepatu, kita yang mesti tahu bagaimana tetap membuat anak belajar dan sukses dengan usahanya sendiri. Kalau tahukita harus berangkat pukul empat, ajak anak mempersiapkan diri beberapa jam sebelumnya.

Mindful parenting bukan berarti orang tua selalu riang, selalu berpikir positif, tidak pernah marah, serbatahu, serbabisa, sehingga tidak pernah bingung dan tidak pernah salah. Mindful parenting adalah gaya pengasuhan anak yang lebih mengarah pada cara orang tua merespons berbagai hal dalam kehidupan anak dengan pemahaman dan kesadaran, bukan sekadar perasaan. (Hal. 145).

Saat berbicara pendidikan kehidupan keluarga, atau keluar dari belajar formal, tidak mengikuti sekolah konvensional, sebagian orang tua tidak lagi mau meneruskan pembahasannya hingga selesai. Di diskusi-diskusi lepas, aku sendiri sering mendengar jawaban: “Ya, kamu sempat mengajar anak sendiri, kalau saya sulit, kami orang tua pekerja keduanya.”

Begitulah dalam pikiran banyak orang tua: belajar hanya sebagaimana yang dilakukan di sekolah. Padahal sekolah hanya mengkover satu aspek pendidikan dalam kehidupan. Lalu ketika ada orang tua yang membiarkan anaknya memutuskan keluar dari sekolah konvensional, langsung dibayangkan ibu ayahnya akan menggantikan mengajar di rumah seperti guru di sekolah konvensional mengajar murid-murid.

Sulit dibayangkan itu terjadi dan kemudian bisa dijalankan: memindahkan sekolah ke rumah. Di Bagian 4 ada dibahas mengenai pengasuhan dan pengajaran yang mesti kita bedakan. Menurut para ahli, pengajaran adalah transfer ilmu, proses belajar wawasan dan keterampilan. Sebuah proses yang bisa didelegasikan ke orang lain. Pengasuhan berkaitan dengan proses belajar anak yang lebih luas untuk menfasilitasi anak berkembang dalam berbagai aspek kehidupan. Di dalamnya termasuk pula pengajaran nilai kehidupan dan karakter, antara lain: cinta kasih, menerima, menghargai, pikiran terbuka, jujur, empati, dan lain-lain. Pengasuhan adalah tanggung jawab orang tua yang tidak dapat digantikan oleh orang lain.

Walaupun sangat membahagiakan, pengasuhan anak adalah tanggung jawab yang penuh tantangan dan menjadi semakin rumit pada saat anak mulai bersekolah. Mengapa? Karena pada saat itulah nilai-nilai dan cara pengasuhan ‘berhadapan’ dengan nilai-nilai dan cara pengajaran sekolah massal, dan keduanya sangat bertolak belakang. (Hal 140).

Bahasannya panjang dan hingga halaman terakhir, buku ini menarik dan sangat baik dibaca oleh siapa saja, terutama orang tua yang tak ingin berhenti belajar.[]

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *