cerita ceriti,  my little angels,  my world,  Self reminder

Menghidupkan Tradisi Diskusi Subuh

Hari ini ternyata sudah Ramadan kelima belas. Setengah bulan berlalu memang tanpa terasa. Jujur saja kukatakan, bahwa Ramadan tahun ini memang tak maksimal, tapi bagiku dengan kondisi seperti ini harus tetap optimis kalau ke depan tim kami (baca: keluarga inti) akan lebih solid menyusun program-program Ramadan, terutama menghidupkan diskusi subuh yang dari tahun ke tahun menjadi wacana pribadiku saja.

Kurasa subuh Ramadan terasa berat di mata. Kantuk bergayut hebat saat salat Subuh sudah tunai. Tilawah tidak pernah sanggup lebih dari lima halaman saja. Memang kalau kita menghidupkan malam Ramadan, siapa pula yang tak digelayuti kantuk di waktu subuh? Apalagi tubuh kita tidak terbiasa sebelas bulan sebelumnya.  Namun kalau lepas salat Subuh tidur kembali hingga pukul 8 atau 9, rasanya tidak lagi produktif. Bukankah waktu-waktu produktif itu justru pagi? Kemudian memilih tidur siang menjelang atau sesudah waktu duha sekitar pukul 11 hingga azan Zuhur berkumandang, rasanya lebih bijak.

Dulu saat masih kost, aku sudah bisa berbeda dengan penghuni kost lainnya dengan tidak memelihara kebiasaan tidur subuh. Kecuali kondisi tubuhku tidak fit atau malam harus begadang lama membuat tugas laporan dan sebagainya. Kost itu senyap selepas salat Subuh, biasanya aku menulis atau mengulang pelajaran sampai pukul 7.00 atau 7.30 kemudian beranjak dan bersiap beraktivitas. Apakah berangkat kuliah atau membuat janji dengan teman kalau tidak ada jadwal kuliah, terkadang pergi ke perpustakaan, dan mengunjungi laboratorium, di sana pasti ada laboran atau asisten lab yang sedang bergiat.

Saat berkeluarga, kebiasaan itu sangat mendukung performa sebagai ibu yang produktif, lo. Walau ada saat-saat di mana aku sangat ingin bermalas-malasan, tapi aku berusaha agar itu bukan pagi. Aku senang pada akhirnya suamiku juga setuju tidak merawat kebiasaan tidur paginya saat setelah menikah denganku. Walau ia begadang karena tuntutan kerja atau nongkrong dengan teman-temannya ketika malam, jarang juga kusaksiakn ia menyambung tidur lepas salat Subuh.

Namun Ramadan membuat kebiasaan itu bangkit kembali, bahkan aku bisa juga terseret ikut tidur barang setengah atau satu jam. Hal yang kukhawatirkan adalah jika kebiasaan ini ditiru oleh anak-anak dan seolah kami membudayakan pola seperti itu, subuh menjadi waktu leyeh-leyeh. Padahal jelas waktu berkah itu saat pagi, waktu-waktu produktif itu justru selepas kita menunaikan salat Subuh, terlebih lagi bulan Ramadan yang istimewa, kan?

Walau kami mencoba menjadikan pagi waktu berkemas dan produktif, bergiat menyongsong hari, anak sulung kami yang balig masih kesulitan meniru, apatah lagi kalau kita lebih sering lalai dari memberikan contoh untuk anak-anak. Sebenarnya yang sedikit berat menjadi orang tua ini adalah memberikan contoh teladan yang konkret. Bukan sekadar kata seperti yang sering aku lakukan. Teori-teori berhamburan secara verbal tapi sedikit sekali tindakan nyata yang dapat kita lakukan.

Pagi hari sulung kami mulai sulit dibangunkan. Biarlah sulit dan berjuang sekarang, daripada kelak setelah dia dewasa kebiasaan tidur selepas Subuh mendarah daging dan menjadi kebiasaannya. Aku belum pernah bertemu orang sukses yang rutin tidur subuh. Beberapa yang berbagi pengalamannya, biasanya mengambil waktu produktif ini sebagai permulaan kesuksesannya. Ada yang start sejak pukul 03.00, ada yang 15 menit menjelang azan Subuh. Apalagi menulis, kata Prof. Irwan Abdullah, ia sedekahkan waktunya di pagi hari untuk menulis, ketika pikiran maih segar dan belum ada beban pikiran harian. Membangun kebiasaan baik memang sulit, tapi bukan tidak bisa kalau kita berusaha.

Ada pula yang terbiasa bekerja malam, tapi pagi tetap menjadi ibu produktif dan karena malam tidak tidur, ia bukan mengambil waktu subuh untuk tidur, melainkan pukul 8.00 atau 9.00 ketika standar-standar pagi sudah selesai dan seluruh anggota keluarga menjalankan aktivitas rutin mereka keluar rumah. Mulailah ia tidur hingga menjelang waktu zuhur.

Memang sebagai wiraswasta yang tak terikat jam kantoran, mudah sekali membuat pola tidur pagi menjadi kebiasaan. Beda dengan tuntutan orang kantoran yang harus absen pukul delapan pagi. Sebenarnya faktor eksternal tidaklah bisa jadi patokan membiasakan yang baik, harus dari dalam diri sendiri bertekad bulat. Menjadi produktif di pagi hari dan membiasakan hal ini dari keluarga sendiri.[]

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *