Aliran Rasa (Game Level 1#Komunikasi Produktif)
Sepuluh hari mencatat bagaimana aku berkomunikasi dengan Sang Imajinator Adiluhung kami. Kemudian hari berikutnya mencoba mengikuti pola berdasarkan sepuluh hari tercatat. Cukup? Tentu saja tidak. Banyak tambal sulam yang mesti aku dan suami lakukan, tapi sedemikian bahagia rasa hati sudah bisa menjalani hal ini. Artinya satu tantangan yang lebih rumit levelnya dibanding batch sebelumnya dimana aku memilih Biyya yang Rumeh dan memiliki celah untuk menjadi penurut sebagai game partner level 1.
Di kelas remedial kali ini aku meminta ijin agar dibolehkan mengulang Game Level 1 yang sebelumnya sudah dinyatakan lulus oleh Ibu Fasilitator kelas Bunsay. Kitalah yang paling paham apa merasa puas atau waswas. Aku waswas saat kelas yang lalu memilih Biyya sebagai partner. Sebab kunci komunikasiku dengan anak adalah dengan si sulung, Akib. Dimana banyak keterlinggalan yang harus kubenahi, bolong di sana sini, komunikasi kami berdua yang kerap DC alias disconnect disebabkan karena faktor kutub yang sama. Sesama kutub positif atau negatif tentu saling tolak. Kami berdua tidak lagi denying bahwa kami adalah pribadi dyslexic. Kami memiliki cara pemrosesan pesan yang berbeda di otak. Ketika dr. Muna menjelaskan hal tersebut, maka aku kembali me-review dengan menjelaskan kembali ke Akib. Oke, kami sama-sama paham there is something (not always) wrong about us.
Bukan sebentar waktu yang harus kulumatkan untuk akhirnya tegar dalam penerimaan. Ya, Akib tidak sama, ia istimewa dengan segala keunikannya. Tidak mengapa ketika melihat kami berdua atau repitition mengenai adab terhadap orang tua yang mungkin membuat heran orang lain. Dimana Akib akan terus menerus menguji ayah dan bundanya dalam sebuah komitmen dan konsistensi yang tinggi. Mengunyah segala macam teori parenting untuk menemukan bagaimana sebenarnya kemampuan yang di-install Allah kepada aku dan suami. Sebab keteladanan yang tentu saja belum sempurna dari kami diperparah oleh sikap cueknya. Jadi tak lah heran pertanyaan “Apa orang tuanya tidak pernah mencontohkan, ya?”
Ini aku saksikan sendiri ketika Akib sedang asik makan es lilin di depanku. Persis di depanku hanya saja ia sedang memerhatikan temannya mengobrol dan tak menyadari aku duduk di belakangnya sejak beberapa menit yang lalu. Aku menjemput Akib kali ini karena ayahnya tak bisa. Akib membuang sampah plastiknya begitu saja. Padahal pembiasaan sudah sejak dini kami lakukan, mungkin terlewat lagi.
Saat tantrum dan tak bisa mengendalikan diri di usianya kini. “Waduh, kenapa bisa? Harusnya kalian sebagai orang tua tidak lunak seperti itu? Keterlaluan dia.” intinya begitulah salah satu komentar sayang keluarga untuk aku dan suami. Menelan ludah karena getir oleh sikap Akib yang sering salah paham bukan sekali dua kali, namun salah seorang sahabat mengingatkan kembali betapa do’a ibu tanpa hijab. Selalu tegarkan hati untuk doa kebaikan walau sering tanpa diminta hatiku merasa luka. Jangan! Sekali-kali jangan. Berusahalah untuk selalu ridha padanya.
Ya, banyak yang sebelumnya itu terlewat dan membuat ruwet, berhasil diurai dalam sebulan belakangan ini. Sejak awal bulan November dimana kita sama-sama memulai komunikasi yang produktif. Seolah baru terlahir kembali sebagai pribadi yang lebih memantapkan hati untuk bicara, menyentuh, membelai, mengendalikan nervus-nervus fasialis saat menatap dan membersamai Akib.
Diskusi-diskusi berisi di kelas Bunda Sayang, materi-materi dari Fasilitator yang seringkali memberikan pencerahan dan cercahan optimisme dalam hati, “Insya Allah aku bisa, aku mampu kembali duduk di hati Akib. Sebagai ibu, sahabat, coach, fasilitator, guru, mentor, dan apapun yang ia butuhkan saat ini di usia baligh-nya. Semoga Allah selalu membimbing kami berdua selaku orangtuanya.”
Kembali memulai dari komunikasi yang benar, komunikasi yang positif dengan Akib dan seterusnya dengan seluruh keluarga.
Ah, intinya adalah sebuah kelegaan ketika sesuatu yang semrawut terurai kembali. Semoga bisa memintal benang emas komunikasi lebih apik lagi ke depannya.
Terima kasih buat Bu Septi yang sudah menyusun kurikululum kelas Bunda Sayang sedemikian indah. Terima kasih Mbak Amma Sang Fasilitator, ketua kelas dan pendamping, Mbak Unna dan Mbak Ney yang sudah memenej kelas sedemikian kondusif agar kami semua bisa menyerap ilmu yang bermanfaat ini.
Teman-teman yang bertanya dan membantu menghidupkan diskusi kelas kita. Jazakumullaahu khairaan jazaa… (ingin peluk semuanya). Maafkan tidak banyak berkontribusi. Semoga kelak kita kembali dikumpulkan dalam kebaikan. Aamiin.
