Saatnya mengambil jeda sekejap dan membangkitkan mood. Walaupun bekerja sesuai renjana (passion) kita, jujur aku orang yang sedikit ‘terganggu’ diusik deadline. Di satu sisi aku bersyukur sekali ada empat naskah editing yang harus kuselesaikan dalam medio April, di sisi lain aku sangat mudah terdistraksi alias hilang fokus kalau pekerjaan teralu menumpuk. Ada kalanya aku butuh bersenyap-senyap, tiada seorang pun yang menyapa, mengganggu, apalagi memintaku sesuatu. Namun dengan kondisiku kini, hal itu adalah yang paling mustahil. Selain tuntutan pekerjaan domestik, Sekolah Jarak Jauh (SJJ) yang diberlakukan pemerintah pun membuatku, mau tak mau harus menentukan skala prioritas dengan lebih tegas dan jelas. Terus terang, kebutuhan anak akan eksistensi bundanya tentu tak bisa disangkal, hal itu harus kudahulan.
Beberapa minggu ini pekerjaan domestik jelas menjadi prioritas, untuk naskah-naskah yang harus kusunting, aku bersyukur dipertemukan CEO penerbitan yang sangat mengerti kondisiku. Apalagi untuk pertama kalinya naskah terjemahan yang kukerjakan agak rumit, beberapa kali aku melakukan kesalahan kecil tapi fatal. Kondisi penulis yang sibuk pun menjadi kendala, jarang sekali membalas pertanyaanku dengan cepat, semua menjadikan tenggat waktu harus dilonggarkan sedemikian panjang, seminggu menjadi dua minggu. Lalu, malam ini kucoba membuka dekumen kosong dan menumpahkan isi kepalaku.
Masih seperti mimpi, saat ini aku sudah di kampung halaman. Aku lega sekaligus waswas juga tidak bisa berkumpul lengkap dengan keluarga inti saat lebaran nanti. Apa pun itu kondisinya, aku harus bersiap dengan segala hal. Senin, 27 April lalu, Abang menjemput adik bungsuku karena khawatir perbatasan akan segera ditutup, sementara Umak sangat ingin adik berlebaran di kampung. Setelah berdiskusi cepat dengan suami, lalu berkonsultasi dengan kakak yang memang memahami kondisi pandemi ini, akhirnya kami memutuskan ikut pulang bersama adik dengan mobil Abang.
Lega akhirnya sampai, tapi khawatir juga suami tidak bisa menyusul pulang ke kampung. Perjalanan ke kampung halamanku, Rimo, memakan waktu 12 jam. Abang dalam kondisi lelah karena nonstop menyetir 24 jam dan hanya tidur di dalam mobil beberapa kali di halaman pom bensin, saat kami berhenti salat dan mengisi bahan bakar.
Begitu sampai di kampung halaman, anak-anak bahagianya bukan main. Aku pun juga begitu, apalagi anakku Kareem yang kini usianya 9 bulan, belum pernah bertemu dengan kedua orang tuaku. Umak dan Abak sudah sepuh, kedua pasang binar mata yang paling kami rindukan saat ini. Dengan ikhtiar mengikuti semua protokol kesehatan, kami berdoa semua baik-baik saja, kalaupun akhirnya suamiku tidak bisa menyusul saat lebaran, mungkin kami memang harus berlapang dada.
Pekerjaan yang menguntitku sebelum pulang kampung pun harus minta dirampungkan. Aku senang beberapa awal April lalu aku meminta bergabung dalam sebuah grup literasi melalui Kak Ria, sahabatku. Di Inong Literasi, kurasa aku bisa rehat semacam ini, aku butuh tantangan untuk diri sendiri agar tidak bermalas-malasan dan merasa cukup mengerjakan proses penyuntingan saja untuk melatih progres menulisku. Nah, seperti saat ini, walau sangat random dan tak jelas juntrungnya, akhirnya aku berhasil mengeluarkan uneg-uneg yang terpancang di dalam pikiran dalam beberapa hari ini.
Menulis memang melegakan, bahkan membuatku rehat barang sejenak dari kepenatan pekerjaan yang notabene menuntutku untuk menulis juga. Aish, bingung, kan? Entahlah… bagiku cukup jelas, betapa mengasyikkannya menulis lepas dan bebas!