cerita ceriti,  Cerpen,  Fiksi,  Self reminder

Natural

“Nggak, ah! Aku tuh, lebih suka yang naturalis.” tolak Ajra saat Hanim menawarkan satu warna lipstik merk tertentu.

Aku hanya melirik sekilas dan kembali menekuri layar ponselku. Terus terang, aku bukan perempuan yang terlalu paham perkara kosmetik. Mau dibilang tuntutan zaman atau kebutuhan usia, aku memang belum mahir untuk hal yang satu itu.

“Bira, kamu nggak pesan apa-apa, nih?” Ajra menowel bahuku yang masih asyik berselancar di media sosial.

“Oh iya… smoothies aja, mango smoothies kayak biasa..” jawabku sambil terus sibuk mengetik tombol virtual, mengelus layar, menyapunya dengan ujung jempolku ke arah kiri.

Aku sedang berselancar di Instagram. Unggahan Ajra baru saja lewat di feed Instagram-ku. Tampak ia sedang mengikuti sebuah tantangan merias wajah. Entah kenapa, aku tergelitik menyambangi akun teman selebgram-ku ini.

Huah! Followers-nya saja ada 426k! Nggak tanggung-tanggung. Ajra dan Hanim temanku sejak SMP, kami sudah selesai sarjana. Saat sudah memiliki pekerjaan masing-masing seperti ini, kami sering meluangkan waktu untuk nongkrong di kafe sekadar buang penat dan silaturahmi.

Hanim dan Ajra terus mengobrol mengenai kosmetik merk A dan membandingkannya dengan merk B, seterusnya… seterusnya. Tentu saja dengan referensi yang dilihat melalui layar ponsel juga.

“Nah, yang merk ini, nih, rugi banget aku endors…fee-nya kecil. Padahal menurut aku bagus, sih. Ringan dan sesuai dengan kulit sensitif aku…juga tampak natural.” Tunjuk Ajra.

Hm, aku menyesap mango smoothies dengan pelan. Beginilah adanya nongkrong ala kami, bertiga tapi yang jadi primadona tetap saja dia. Dia yang paling mulus, paling kinclong, berharga, menarik, langsing, kalau tak ingin dibilang tipis. Kerja kami hanya mengelus-elus dan berdecak kagum. Semua terpusat ke layar ponsel pintar kami. Seolah hanya ini hidup orang zaman kini.

Sejak tadi kudengar Ajra mengucapkan naturalis, natural. Membuatku terpikir. Kuamati akun yang memiliki 5000an postingan tersebut, entah kapan dia sempat mengunggah berbagai hal hingga sebegitu banyaknya. Kuperhatikan pose-posenya. Cantik, sih. Eye catching… Tapi dari 5000an postingan ini, tak satu pun aku temukan yang natural, kentara sekali semuanya artifisial. Mulai dari pose, tatapan matanya, tawanya, gaya memegang benda-benda yang ia endors, senyumnya, daaan semuanya.

“Hm, beneran kamu suka yang naturalis, Jra?” Tanyaku menyerobot di tengah diskusi mereka berdua. Aku bertanya sambil mataku tetap tertumbuk di feed Instagram Ajra. Namun antara Ajra dan Hanim pun masih terlampau sibuk dengan layar ponsel mereka masing-masing.

“Ini, aku kasih link-nya ya…kamu buka sendiri nanti..bla..bla …bla…”

“Maaf ya, Mbak-Mbak…kafe kami tutup sejenak karena akan azan Magrib.” Entah ia pramusaji atau pemilik kafe, kami pun kurang tahu, tapi yang jelas ia membuat mata kami beralih padanya dan terburu membereskan barang-barang kami untuk menyudahi silaturahmi hari ini.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *