cerita ceriti,  Cerpen,  Fiksi,  Self reminder

Nilakandi

“Nilakandi,” sebutnya sambil menyambut uluran tanganku. Aku sudah membaca biodatanya dua hari lalu, masih belia, untuk anak lelaki usia 14 tahun ia termasuk jangkung. Entah bagaimana para orang tua zaman milenial memberikan nama pada anak-anaknya. Aku mencerna sejenak, bagaimana harus menyapanya.

“Biasanya kawan-kawan panggil saya Kandi, Pak,” katanya menambahkan.

“Oh, oke..oke, Kandi. Silakan duduk dulu di sini. Mau lihat-lihat dulu atau mau langsung ke tempat Bang Aznir juga boleh. Kamu tanyakan saja apa yang bisa dibantu.” Kataku menghindari ramah tamah yang berlebihan.

Aku heran, seberapa kesulitan pun orang tua, tak seharusnya anak belia seperti dia berhenti sekolah. Mau jadi apa nantinya kalau ia tak mendapat pendidikan yang layak. Mau bersaing bagaimana ia di masa depan tanpa ijazah! Aku saja yang sarjana pertanian, setelah selesai kuliah dulu sempat stres juga mencari kerja. Syukurlah aku masih punya keluarga yang bisa dibilang berada dan akhirnya aku dimodali untuk membuat percetakan ini sesuai dengan hobi desainku saat SMA dulu. Duh, tidak sekolah, mau jadi apa dia? Pertanyaan semacam itu jadi mengusikku saat pertama sekali sahabatku, Gandhi, meminta izin padaku agar anak 14 tahun tersebut dibiarkan magang di percetakan milikku.

Kulihat anak itu mulai menyapa Aznir dan bertanya-tanya. Aznir mengizinkan dia mengoperasikan salah satu PC di ruang admin. Aku melirik dari meja kasir yang hanya disekat oleh jendela lebar berkaca datar. Semoga dia tak jadi urusan di sini, gerutuku dalam hati. Aku masih ingat keponakan-keponakanku yang usia seperti itu disibukkan oleh gim daring. Main game streaming di telepon pintar, itu saja kerja mereka seharian kalau tidak berangkat ke sekolah. Tak ada faedah!

Excuse me…

Seorang pelanggan datang ke tokoku, tapi kali ini berbeda dari pelanggan biasa. Seorang dengan tubuh super jangkung, berhidung bengkok, berkulit kemerahan, kentara sekali ia belum biasa dengan udara bulan Juni di daerah tropis. Aku agak canggung. Ah, aku memang paling benci mata pelajaran Bahasa Inggris saat sekolah dulu. Bahasa munafik, itu cuma caraku berdalih saking tak bisanya pelajaran itu lengket di otakku.

Si Jangkung tadi pun mulai bicara sesuatu yang tentu saja sulit kupahami walau dia berusaha bicara sangat pelan sambil memperkuat dengan isyarat.

Oh, what can I do for you?”

Kandi sudah keluar dari ruang admin dan kini tepat berhadapan dengan si Jangkung. Kehadiran Kandi membuat rona semringah di wajah si Jangkung tadi, lalu dia berbiacara lebih cepat.

“Pak, bule ini bilang dia mau dibuatkan desain pintoe atjeh dan bisa diaplikasikan di beberapa benda yang dia bawa ini, Pak.”

“Oh…” hanya kata ‘oh’ yang bisa keluar dari mulutku karena fragmen yang baru saja lalu di depanku seperti tontonan yang mencengangkan. Walau secepat apa pun si Jangkung berbicara, Kandi dengan mudah memahami dan menyahuti. Belum lagi gelak tawa basa-basi yang terlihat begitu hangat.

Do you know Haji Abdul Ghaffar?” si Jangkung bertanya.

Snouck Hurgronje, his surename is Cristiaan Snouck Hurgronje…” Kandi menjawab sambil menjelaskan beberapa hal yang tentu saja tak bisa kumengerti. Aku tahu ia sedang menyebutkan salah satu nama mata-mata penasihat kolonial zaman dulu. Apa yang dia tahu tentang orang itu, aku jadi penasaran sendiri.

Si Jangkung keluar dan permisi setelah kami menyetujui orderannya. Entah apa yang kupikirkan saat itu, otakku seperti penyap seketika saat mendengar Kandi berbicara banyak dan aku hanya setuju seperti orang bodoh.

“Dia peneliti budaya, sedang mempelajari budaya Aceh dan sangat tertarik dengan pintoe atjeh, Pak. Katanya, ada nilai-nilai budaya pada tiap ornamennya. Lalu selama ini yang dia lihat di toko sovenir, ada yang kurang. Dia mau kita membuat sesuai dengan sketsa yang dia bawa tadi. Itu juga miniatur, dulu ornamen-ornamen tua yang dipajang di rumah Haji Abdul Ghaffar atau Snouck Hurgronje. Bagaimana pun kita membenci apa yang telah dilakukan Snouck, ada ilmu yang harus kita ambil, katanya, Pak. Aku sepertinya setuju, sampai saat ini belum ada penelitian sedetail yang dilakukan Snouck itu. Dia juga mengarsipkannya secara lengkap dalam tulisan…”

“Oh iya..iya…kerjakan saja,” itu saja yang bisa kujawab. Kulihat Kandi ke ruang kerja dan menyalakan PC, tapi dia membuka tas usangnya dan mengelurkan laptop miliknya sendiri. Tampak kokoh dan sering digunakan. Beberapa stiker komunitas tertempel di permukaan laptopnya. Dia mengambil master-master desain dari laptop dan memindahkannya dengan piawai ke PC. Aku sedikit takjub saat semua dia lakukan dengan cekatan. Dia bisa menggunakan aplikasi Corel Draw terbaru dengan cepat. Sketsa-sketsa si Jangkung dia ubah menjadi digital dengan kilat dan kemudian dia mulai memakai semua tools dalam aplikasi itu untuk memperhalus sketsa.

Aku yang malas membaca ini segera memeriksa laci bawah, tempat aku melempar map yang diberikan Ghandi tempo hari. Map yang berisi data tentang Kandi. Aku buka perlahan dengan rasa penasaran. Anak putus sekolah itu sepertinya bukan anak biasa.

Nilakandi, lahir siang hari ketika langit sewarna nama, 12 Juli 2006. Punya ketertarikan dengan sejarah, bahasa, sastra, dan IT. Tidak bersekolah formal, karena baginya belajar tak mesti di sekolah. Karena Kandi, sapaan akrabnya, tidak diatur secara rigiditas, Kandi punya banyak waktu membaca buku dan mengasah kemampuannya dalam bidang bahasa, desain, dan belajar sejarah secara mandiri. Alamat blog Kandi…

                Lekas kubuka pranala yang ada di biodata narasi tersebut. Sebuah blog yang dikelola secara profesional dengan domain pribadi. Di sana Kandi mengulas buku-buku yang sudah dibacanya. Luar biasa buku The History of Sumatra yang ditulis William Marsden, buku-buku Pramoedya Ananta Toer, Leo Tolstoy, Joestein Gaarder, Karen Armstrong, dan beberapa buku bab dalam Tafsir Zhilail Qur’an karya Sayd Qutb, dan  Intisari Ihya Ulumuddin.  

                Di sana ada juga galeri karya daring, banyak hasil-hasil desain Kandi yang dipakai. Rasa dan selera memetakan paduan warna, jenis font terlihat apik sekali. Di sana semua ada, foto-foto kegiatannya. Portofolio online. Aku berdecak, sekarang kutatap punggung Kandi yang sedang fokus di depan layar dengan terkagum-kagum. Nilakandi, ternyata dia penuh misteri.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

10 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *