cerita ceriti,  my world

Peluncuran dan Bedah Buku 17 Tahun Perdamaian Aceh, Refleksi dan Harapan

“Cerdas Memaknai Perdamaian, Sesibuk Apa pun Harus Tetap Menulis”

Buku 17 Tahun Perdamaian Aceh, Refleksi dan Harapan adalah buku yang diterbitkan atas prakarsa anggota grup Kru Seumangat Aceh (KSA) yang berisi oleh para ahli dan guru Aceh, para akademisi dan politisi. Menurut Muklissuddin Ilyas (CEO Bandar Publishing) buku ini adalah kerja kolaborasi di saat literasi perdamaian Aceh mulai kolaps, banyak anak muda yang tidak lagi tahu sejarah perdamaian Aceh. Banyak anak muda yang tidak tahu juga apa itu MoU Helsinki, bahkan di tingkat mahasiswa.

Dalam acara Peluncuran dan Bedah Buku yang diadakan di aula Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry (22/10/2022)ini, hadir Yarmen Dinamika (wartawan Serambi Indonesia) sebagai moderator, sementara Dr. Kamaruzzaman Bustaman Ahmad (antropolog dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry dan Adi Warsidi (Wartawan Tempo, Koordinator AJI Sumatra dan pengelola acehkini.id) sebagai pembedah buku.

Adi Warsidi sebagai pembedah pertama menyampaikan bahwa buku ini berisikan tulisan para guru, lahir dari sebuah grup yang ingin memberikan pencerahan terhadap literasi perdamaian di Aceh. Banyak anak muda zaman kini yang terputus atau tidak tahu sejarah tentang perdamaian Aceh. Hal ini juga menjadi kekeliruan kita yang tidak memberikan bacaan mengenai Aceh, tidak ada kurikulum literasi perdamaian Aceh yang disusun secara sistematis di tingkat belajar apa pun. Buku ini menjadi penting untuk mengisi kekosongan mengenai hal ini.

Isi buku ini sebagian sangat ilmiah karena merupakan hasil disertasi atau tesis. Namun, sebagian lagi juga menerka-nerka atau kurang memahami apa yang ditulis.  Ada hal penting yang terlewat dituliskan dalam buku ini, yaitu mengenai detail kekerasan yang terjadi pasca perjanjian damai Aceh atau MoU Helsinki (contohnya konflik yang terjadi saat pilkada). Kekerasan dan konflik tersebut juga merenggut nyawa. Seharusnya hal itu juga dituliskan agar generasi muda tidak meremehkan proses perdamaian Aceh.

Terkadang jika kita hanya menuliskan hal-hal baik saja, seakan-akan tidak ada kekacauan dan hambatan, maka generasi setelah kita akan terputus dari sejarah itu sendiri. Walaupun memang terdengar kontroversial, tetapi harus ada bacaan yang menerangkan hal tersebut. Contohnya sejarah Iskandar Muda yang banyak kita jumpai selalu hebat, gagah. Ada satu literasi yang menunjukkan bahwa kematian Iskandar Muda yang masih muda (sekitar 40-an tahun) juga karena pola hidup yang kurang sehat, salah satu referensi menyebutkan dia meninggal karena penyakit sifilis. Ada yang menyebutkan bahwa itu hoaks hanya karena imej Iskandar Muda selama ini baik sebagai pahlawan dan panglima Aceh yang hebat.

Sebenarnya proses perdamaian Aceh pun begitu, jika generasi tidak tahu berbagai macam sudut pandang dan prosesnya, maka tidak ada pelajaran yang bisa diambil. Bisa jadi ke depan akan ada konflik tanpa senjata, lalu kita sebagai orang yang tahu kemudian merasa bersalah karena keengganan menceritakan fakta tersebut.

Saran dari Adi, bagi anggota KSA yang belum menulis, ke depan sebaiknya tulis juga mengenai detail-detail ini. Tentunya akan banyak pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa tersebut.

Bagaimana perpecahan dalam tubuh GAM itu terjadi, hilangnya podium kampanye, refleksi ini juga semestinya dituliskan.

Dengan adanya berbagai sudut pandang seperti ini, akan menjadi terang benderang sehingga jika ada pun perlawanan yang bangkit kembali di masa yang akan datang (adanya relaps/kambuh) maka akan ada yang berpikir ulang bahwa situasi ini tidak akan menguntungkan bagi rakyat. Syukur-syukur hal itu akan memperkuat NKRI, bisa jadi.

Sesi pembedahan kedua dilakukan oleh Prof. KBA yang juga membedah buku tersebut dengan cara yang tak kalah rendah hati dari pembedah pertama, KBA mengatakan bahwa semua penulis buku ini merupakan para pakar dan guru yang sangat disegani, juga memiliki jam terbang yang tinggi.

Ada beberapa catatan penting untuk buku 17 Tahun Perdamaian Aceh, Refleksi dan Harapan; pertama: tidak ada pengenalan (introduction) narasi awal yang semestinya dibuat oleh editor buku. Jika ingin mendalami konteks isu yang ada dalam buku ini, seharusnya editor memberikan komentar mengenai isi buku. Apalagi dalam buku ini ada sekitar 3-4 major issue (isu utama) yang kemudian diformulasikan menjadi sebuah narasi awal dari buku, sehingga para pembaca tahu apa yang dibahas oleh buku tersebut. Karena tidak ada narasi tersebut, akhirnya tiap bab dari buku ini berdiri sendiri. Bahkan di ujung tulisan dalam tiap babnya tak ada kait kelindan antara satu dengan lainnya.

Narasi isi dan kaitannya dengan isu yang dibahas dalam sebuah buku seharusnya di-upgrade oleh editor, sebab itu juga menjadi salah satu main job dari seorang editor. Bisa juga ditambahkan data yang lebih fresh. Ini umumnya ada dalam sebuah buku genre ini walaupun Prof. KBA mengatakan bahwa buku-buku yang kita buat belum memuat hal semacam itu karena belum terbiasa.

Setiap bab (each chapter) dari buku ini menawarkan data baru yang semestinya saling berkaitan. Dalam buku ini ada yang menulis mengenai Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), isu perempuan dan politik. Dinamika parpol, inside story mengenai sejarah penandatanganan MoU Helsinki, dan beberapa isu lainnya.

Lesson learn juga akan lebih mudah diambil jika buku memiliki epilog–apa agenda dari buku ini, jika buku ini diterbitkan ulang, epilog akan sangat membantu para pembaca. Buku ini perlu dibaca banyak orang, sehingga layak diterjemahkan dalam bahasa asing.

Ada poin penting yang terdapat di dalam editorial book ini:

1. The great contribution of this book: untuk menambah literasi perdamaian.

2. Ada konteks sejarah (historical context) yang bisa menambah kontribusi dalam literasi perdamaian.

3. Directive violence atau kekerasan terarah adalah sesuatu yang diidamkan tetapi seringkali tidak diinginkan. Nah, Aceh ini sebenarnya memiliki potensi directive violence. Directive violence ini seterusnya nanti bisa menjadi komoditi, seperti yang kita ketahui di beberapa negara Asia lainnya directive violence kemudian menjadi industrial violence seperti yang terjadi di Thailand.

4. Cultural Memories. Dalam antropologi, cultural memories ini sangat besar pengaruhnya dengan masa. Jika orang Aceh punya addictive violence, maka ke depannya kekerasan semacam itu akan terulang lagi dengan versi yang berbeda. Bisa jadi kekerasan dalam cyberspace.

Dalam sesi diskusi dan tanya jawab juga ada beberapa peserta yang memberikan tanggapan mengenai isi buku serta saran dan masukan. Salah satunya disampaikan oleh Munawar Liza Zainal yang juga salah seorang kontributor dalam buku. Zainal mengatakan bahwa dalam buku tersebut juga banyak eksistensi pribadi yang ditonjolkan, ada penulis yang merasa paling berjasa dalam perdamaian Aceh. Friksi dalam GAM yang bukan berdasarkan fakta dan adanya imajinasi mengenai terorisme di Aceh, dan memberikan saran memang sebaiknya ada tulisan mengenai peristiwa kekerasan saat pilkada, tetapi biasanya di seluruh dunia, peristiwa tersebut memang terjadi.

Prof. Hasbi yang turut hadir dalam acara bedah buku tersebut juga berkesempatan menyampaikan mengenai semangat perlawanan di daerah-daerah ikut muncul karena awalnya terjadi perlakuan tidak adil, terutama kesenjangan ekonomi. Ketika sumber daya alam Aceh dieksploitasi dan pemegang kontrak besarnya justru orang luar Aceh, sementara orang Aceh sendiri tidak diberikan kesempatan. Prof Hasbi juga merupakan saksi mata perseteruan orang di bawah dan betapa kontrasnya hidup mereka dengan kekayaan yang dimiliki oleh Aceh sendiri.

Salah seorang peserta bernama Ihan juga memberikan masukan mengenai literasi perdamaian Aceh dan kaitannya dengan minat baca. Perlu adanya survei minat baca dan apakah akses bacaan tersebut mudah didapat. Anak-anak muda juga berpendapat bahwa MoU Helsinki dikaitkan dengan politik sehingga mereka merasa tidak dekat dengan isu tersebut. Padahal perdamaian bukan bicara politik, tetapi hak dasar setiap warga negara. Berarti perjanjian damai tersebut belum inklusif, butir-butir MoU Helsinki belum tersosialisasi dengan baik.[]

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *