Seperti biasa, semalam kami salat Isya dan Tarawih di masjid Jakfar Hanafiah, tetapi aku tidak membuat resume seperti sebelumnya, tausiyah kali ini singkat dengan materi yang cukup kekinian, tidak seperti ceramah pada umumnya, tausiyah semalam lebih seperti diskusi atau obrolan singkat saat duduk bareng dengan teman dekat. Imam salatnya bikin terenyuh dan haru seperti malam sebelumnya, apalagi malam pertama Ramadan itu imamnya melantunkan surat Ar-Rahman. Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzdzibaan?
Karena saat itu Minggu, Faza tetap latihan memanah. Aku bangun sekitar pukul 3.30 dan sudah mulai menyiapkan makan sahur. Masih ada waktu bersantai sekitar 10 menit sebelum si ayah menyalakan mobil sebagai tanda kami harus lekas bersiap. Akib dan Suhel—teman sekelas Akib dari Juli, Bireun yang menginap selama liburan di shelter—subuh di masjid lain mengendarai motor kami.
Jemaah Subuh di masjid Jakfar Hanafiah Kampus UNMUHA tidak terlalu ramai di hari kedua, mungkin karena tidak ada jadwal kajian atau ceramah subuh di sana. Latihan memanah dijadwalkan pukul 06.30 sampai selesai, jadi kami masih ada waktu untuk tilawah sekitar 10 menit. Biyya tidak tilawah, tetapi dia kusuruh tetap membaca terjemahan Al-Qur’an surat Ali-Imran 1-5.
Kami keluarga yang pertama hadir di tempat latihan dan kemudian disusul oleh Bunda Habli. Aku sangat menyukai keluarga tersebut, tampak sangat luwes bergaul dan senang membantu. Katanya mereka sudah setahun latihan di klub memanah ini. Kulihat Habli langsung membuka gembok rantai yang dibuat mengitari bantalan panahan lengkap dengan stand-nya. Kupikir itu cukup berat, tetapi badan Habli yang besar terlihat mampu mengimbangi bobot tiga set bantalan yang tingginya sama dengan badannya itu.
Habli dan ibunya berbicara bahasa ibu (mother tongue), itu membuat anak 14 tahun itu tampak begitu dekat dengan ibunya. Dulu aku punya keinginan menggunakan bahasa ibu untuk percakapan sehari-hari di dalam rumah kami, tetapi karena penundaan, nanti dan nanti, lalu kulihat si ayah masih sangat kaku melafazkan kata-kata dalam bahasa pertamaku, aku jadi merasa sungkan tak beralasan, jadilah ketika menyaksikan Habli dan ibunya mengobrol, aku bisa merasakan bonding yang luar biasa dari keduanya. Terus terang itu membuatku cukup iri, bagaimanapun dekat dan asyiknya obrolanku dengan Akib, masih kalah hangat dengan mereka berdua, pikirku.
Tema #Ramadan2ndDay kali ini sedikit tidak mengerucut, ya? Sudah lari ke sana kemari. Bolehlah hari ini kita bicara melantur saja supaya isinya jangan resume tausiyah bakda Isya melulu. Toh, blog ini sudah punya branding lanturan dan curhatan. Hahahaha.
Di sela-sela menemani anak-anak latihan memanah, kami ibu-ibunya duduk menemani anak-anak usia preschool bermain. Kecuali Mama Alya yang anak bungsunya sudah menjelang dewasa muda. Dimulai sejak Mama Alya bertanya berapa jarak usia anak-anakku, percakapan kami masuk ke tema Ibu Cekatan Anak Bahagia—ini hanya tema yang kukarang secara spontan saja, haha— setelah itu, kami jadi lebih banyak menyimak Mama Alya bercerita tentang masa kecil anak-anaknya yang usianya terpaut tidak begitu jauh. Ada tiga balita yang harus diurusnya saat dia masih muda dulu. Bagaimana dia bisa mengurus ketiganya dengan salah seorang anak yang lebih lincah dari anak lainnya.
“Subuh saya harus membuat sarapan untuk semuanya, saya boncengin ketiganya dan diikat dengan kain panjang. ‘Sudah siap, Sayang?’ kalau mereka semua sudah jawab, saya mulai jalan, antar ke sekolah pertama, ‘geser ya, Sayang…’ tinggal dua lagi. Lega. Antar satu lagi dan sampai selesai. Saya pulang ke rumah. Rumah dinas yang saya tempati besar, jadi kadang perlu tiga jam untuk saya selesai menyapu saja. Menjelang siang sudah selesai masak dan saya masukkan ke dalam kotak bekal, anak-anak pulang sekolah biasanya les dan mengaji TPA. Jadi saya bawa baju ganti juga. Sampai di sana saya suapi satu per satu, bersihkan badannya pakai tisu basah, pakai bedak dan minyak kayu putih. Pakai baju ganti dan saya antar yang les, yang mengaji di TPA juga. Ada yang lesnya selesai salat Magrib, jadi saya jemput malam. Sudah menjemput malam, saya bisa istirahat sebentar, tapi setelah itu saya bertugas memasukkan buku-buku ke dalam tas anak-anak. Roster belajarnya sudah ada di dinding dan saya cek semua pensil dan yang tumpul saya raut semua, supaya bisa langsung dipakai paginya. Kalau semuanya sudah selesai, baru saya tidur dan besok seperti itu lagi rutunitas saya. Kalau saya ingat hari ini, seperti mustahil bisa saya lakukan, tapi ya kenyataannya semua sudah saya jalani.” tutur Mama Alya panjang lebar dan sangat ekspresif.
Kami ibu-ibu (muda) menyimak dan memberikan tanggapan, kalau aku sendiri menyimak sembari memberikan alternatif diksi yang bisa dipakai Mama Alya bercerita, agar lebih lancar. Hahahah. Misalnya begini: “Rasanya gimana, ya, kalau saya ingat sekarang …”
“Rasanya mustahil ya, Ma?”
“Iya, rasanya nggak mungkin saya bisa mengerjakan itu, tapi .. ya …”
“Sudah Mama lewati …jalani…”
“Iya, betul. Semua sudah saya jalani… “
Aku ikut berempati dan mencoba merasakan lelahnya rutinitas Mama Alya, walau dari ceritanya, hanya satu hal yang aku lakukan dan mungkin tidak terlalu rutin, yaitu memasak. Hal lainnya sudah kubagi dengan si ayah dan anak-anak yang mulai sekolah, aku coba biasakan agar mereka menyiapkan keperluan sendiri. Walau anak-anakku menjadi tampak tidak maksimal di sekolah, tetapi hal semacam itu menjadi risiko dan plus minus dalam pengasuhan di rumah kami.
Matahari mulai naik, karena kami semua berpuasa, latihan memanah hari itu sudah selesai sebelum matahari beranjak terik. Faza satu-satunya anggota keluarga kami yang ikut latihan, dia tidak tampak lelah atau haus saat di lapangan. Sebelum tiba di rumah, Biyya membeli pewarna makanan di sebuah kedai simpang jalan. Faza melihat makanan ringan dan mainan, dia merayuku agar sudi membelikan keinginannya, begitu juga Kareem, tetapi aku tidak mengabulkan. “Kita tidak berencana jajan di sini, cuma membeli pewarna,” kataku.
Ternyata singgah sebentar membeli pewarna tadi menjadi pemantik kerewelan Faza. Dia mulai kesal dan mengatakan tidak mau lagi berpuasa karena lelah latihan memanah, saat itu masih pukul 10 pagi dan aku tidak terlalu peduli dengan keluhannya. Aku malah lupa mengatakan padanya agar berbuka tengah hari saja, dia sudah terlanjur rewel dan sulit dibujuk, jadi kuputuskan mengerjakan hal lain seperti beres-beres rumah dan salat Duha. Saat aku akan melipat mukena, kulihat Faza sudah mulai makan roti tawar sambil sesenggukan. Tangisan dan rengekannya mulai berhenti dan sisa air mata masih membentuk garis di kedua pipinya. Aku dan si ayah hanya saling pandang. Berarti hari kedua ini pun dia gagal berpuasa setelah kemarin juga mokel karena alasan teman lainnya belum berpuasa.
Selebihnya, agar blog post hari ini tidak terlalu panjang, aku akan masuk langsung ke cerita berbuka puasa. Hanya masakan sederhana berupa tumisan brokoli, labu, dan wortel, lalu sambal lado ikan asin dan kentang, juga gulai asam padeh ikan bandeng. Alhamdulillah untuk rezeki hari ini dan kebahagiaan yang tiada tara. Sampai jumpa di cerita hari ketiga esok, ya. Disimak terus, siapa tahu ada yang seru dan tiba-tiba ada post berhadiah pula! Eh!

#Ramadan2ndDay
2 Comments
Azhar Ilyas
Suasana hari-hari pertama lebaran saat masa kanak-kanak selalu penuh kesan ya. Semoga lancar semua puasanya, dan proses pembelajarannya…
aini
Amin. Terima kasih ya, Az …