Hari itu tanggal 6 September 2017, sedang persiapan Musywil NA XIII, event besar yang menandakan periode Bunda sudah tuntas, Akib dan adik-adik bisa melanjutkan proyek-proyek kecil yang tentu berdampak besar nantinya buat keluarga kami dan dunia, insya Allah.
Selepas Magrib biasanya kami rutin mengadakan majlis keluarga, family forum, atau apalah namanya. Kalau anak-anak bilang saatnya tausiyah Magrib. Program ini menguji konsitensi yang tinggi, apalagi saat ada pekerjaan ayah dan bunda yang belum tuntas setelah Magrib. Baik pekerjaan di luar rumah ataupun pekerjaan rumah seperti menyiapkan makan malam.
Malam itu Bunda harus mengecek beberapa berkas, menyambi ngobrol dengan anak-anak menunggu Isya.Azan isya berkumandang dan kami masih sempat salat isya berjama’ah. Tapi Akib tidak pergi ke kamar atau beranjak menonton video, atau sekedar membaca buku. Akib malah berselonjor di sebelah Bunda dengan tangan kanan menopang tubuhnya, pose favorit yang membuat lengan hingga sikunya sakit, tapi tetap saja tidak bisa menghentikan kebiasaan tersebut.
“Bunda, kalau kita belum sunat tapi sudah mimpi basah, gimana?”
‘Deg’ itu reaksi pertama bunda mendengar intro dari Akib. Bunda tetap pura-pura datar dan meninggalkan berkas-berkas yang belum selesai tadi.
“Wah, memangnya Bang Akib sudah mimpi basah, ya?” Bunda balik bertanya.
Sebelumnya kami sudah memberitahu juga kalau nanti mimpi basah, pertanda sudah baligh. Sudah mukallaf dan apa konsekuensinya. Tapi itu di meja makan dan belum terlalu detail.
“Iya, kan, Bunda lihat malam kemarin. Hm, pas Akib ninggalin celana biru Akib di kamar mandi. Paginya Bunda suruh Akib taro celana di ember kain kotor.”
“Ooh iya, itu kemarin pagi. Jadi malamnya Akib mimpi? Mimpinya gimana?”
“Mimpinya, Akib kan, sedang tidur siang, terus Akib keluar main sepeda. Akib lihat ada anak perempuan lewat. Akib pulang lagi ke rumah, Akib tidur lagi dan tiba-tiba ada yang peluk Akib dari belakang, terus Akib pipis.”
“Wah, pipis biasa atau beda? Basah lah kasurnya kalau pipis, ya? Banyak pipisnya?”
“Nggak banyak.”
“Warnanya dan bentuknya kayak mana?” Bunda masih antara percaya dan tidak. Usianya belum genap 12 tahun.
“Putih gitu, Nda dan lengket. Bukan kayak pipis Akib biasa. Kasurnya nggak basah.”
“Wah, betul itu. Mimpi basah. Tanda Akib sudah baligh. Sudah mukallaf.”
Walau sudah pernah dijelaskan, working memory anak disleksia memiliki rentang berbeda, jadi bunda kembali mebjelaskan apa itu mukallaf.
“Terus paginya Akib ada mandi besar? Karena kan, harus mandi besar atau mandi wajib namanya kalau kita mimpi basah.” Bunda mencoba mengonfirmasi.
“Akib lupa cara dan doanya,”
“Doanya seperti biasa baca Bismillaah, yang penting niatnya. Niatkan dalam hati bahwa Akib mandi besar untuk menyucikan diri dari hadats besar. Akib boleh melafazkan, sengajaku mandi untuk menyucikan diri dari hadats besar karena Allah.” Bunda jelaskan lebih detail urutan menyiram badan dan sebagainya.
“Ini kan udah salat isya kita. Eeh kek mana tu, Nda? Salat Akib sejak subuh tadi sampai isya ini nggak sah lah.” Akib baru ingat lagi bab ini dan berujar cemas.
” Waah, iya ya. Karena Akib lupa Allah ampunkan insya Allah. Istighfar dulu dan besok pagi sebelum subuh mandi dulu ya, seperti Bunda ajarkan tadi.
Sekarang Akib ke kamar dulu, nanti Bunda panggilkan Ayah, ada yang mau disampaikan Ayah ke Akib.”
Ayah yang sudah mengambil waktu istirahat malam, Bunda bangunkan kembali “Bunda mau membantu Ayah, itu pasti. Tapi nggak mengambil peran Ayah,” dilanjutkan dengan pengaduan kalau hari yang kami nanti telah datang dan inilah saatnya berbicara empat mata dengan Akib. Tidak menyiakan kesempatan, Ayah menyusul Akib ke kamar. Dengar-dengar yang disampaikan Ayah pun sama, tentang bagaimana mandi dan dosa yang sudah ditanggung sendiri. Harus lebih bertanggung jawab dan dewasa. Sudah sama tanggung jawab ibadahnya seperti ayah. Tambahan menjaga pandangan dan pergaulan. Harus banyak-banyak berbuat baik dan berusaha tidak lagi mengulang kesalahan.
Sesuai SOP saja sepertinya pemaparan Ayah. Sudah usaha kan, ya? Yang penting kita tidak abai apalagi pingsan. Lupa bahwa urusan seperti ini harus diselesaikan di dalam rumah, bukan dilimpahkan ke sekolah.
Alhamdulillaah diberi kesempatan emas ini untuk pertama kalinya. Syukur kepada Allah sebanyak-banyaknya dan terima kasih kepada Ayah yang sudah mau sinergi berkolaborasi dengan Bunda. Akib yang percaya penuh kepada Bunda. Terima kasih ya, Nak.