cerita ceriti,  Self reminder

Sebuah Monolog (yang Melibatkanmu)

Terakhir kali aku mengambil sebuah keputusan besar, berani mengambil risiko, dan melakukan akselarasi dalam hidup adalah, ketika memutuskan menikah denganmu.

Entah kapan lagi aku ‘segila’ dan bisa ‘kerasukan’ seperti itu. Aku rindu merasakan sensasi ‘kejayaan’ ini. Ketika pikiran out of the box yang kumiliki bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata. Ketika melompat dari comfort zone dan aku tetap bisa menjadi diriku sendiri. Bahkan mungkin itulah aku yang sesungguhnya. Sang Pemberani.

Lalu kini, ketika akan mengambil keputusan yang sama berat di peristiwa yang lain pula, aku justru maju mundur dalam melangkah. Aku mulai lagi jadi peragu. Sebenarnya aku benci keadaan ini. Aku merasa lemah tak punya daya.

Loading complete, seharusnya itu adalah tahapan yang kualami saat menimbang sulungku belajar secara mandiri atau formal.

Semua modal ilmu sudah berusaha aku kumpulkan, hanya tinggal sejumput keberanian yang menguap entah ke mana. Sementara di sebelahku sudah ada yang menguatkan. Maukah sekali lagi kau bantu aku mencari apa yang tidak hilang? Apa yang seharusnya masih di tempatnya. Sebuah langkah besar bernama keberanian. Namun kenapa pula harus dicari jika ia tak hilang, sesungguhnya ada di sana. Masih berdiri kokoh.

Entah kenapa aku selalu merasa hidupku tak lama, walau 70 tahun pun nanti rasanya tak cukup untuk menuntaskan segala mimpi yang ada. Aku butuh akselerasi dalam banyak hal, aku harus punya pemantik walau hidupku sedari dulu datar dan begitu lempang. Aku individu yang tak menyimpan competitif spirit, tapi ada waktu di mana legenda pribadi terus memanggil, menggaung tanpa henti. Namun kuterlalu kecil hati untuk saat ini.

Kamu tahu? Kepalaku sering penuh seakan ingin meledak. Aku membayangkan berapa banyak bongkahan-bongkahan ide yang mengendap, mengeras sekian tahun, menggelayuti tubuhku, membuatku sulit melangkah. Mati… Matilah wahai pijar keberanian! teriakku.

Namun guntur kesungguhan menggelegar, meneriakiku sebagai pengecut. Bukannya jadi pelecut, bahkan hati ini serta-merta menciut.

Kau tahu… yang kuinginkan saat ini adalah sederhana. Diam. Mendengar titah alam.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *