disleksia,  Just My Opinion,  my little angels,  my world,  Self reminder

Sekolah Rumah untuk Anak

Tahun ini bukan pertama kalinya kami memilih sekolah rumah untuk anak, tetapi perasaan yang kami rasakan sama saja dengan saat pertama kalinya kami memutuskan pilihan ini. Mindset sekolah rumah yang sudah bertahun-tahun kami bangun, seringkali diuji dengan berbagai gugatan dari lingkungan. Saya sendiri tak bisa memungkiri bahwa tinggal di lingkungan yang cukup “academic oriented”, sedikit-sedikit membandingkan hasil belajar di sekolah A, B, dan C, agak membuat saya awalnya gamang. Belum lagi hitung-hitungan yang detail dan ujung-ujungnya saya merasa bahwa seringkali orang tua-orang tua sekarang seperti mengundi atau (maaf) berjudi mengenai memilih sekolah yang bagus untuk buah hati, sesuai kantong dan bisa menerawang masa depan anak-anak dengan sekolah yang dipilih di masa kini.

Hal ini bukan untuk menggiring semua opini bahwa sekolah formal itu tak bagus, toh anak kami pun ada yang bersekolah formal. Namun saya pikir, mindset orang tua mengantarkan anak ke sebuah lembaga sekolah harus benar-benar disetel ulang. Terutama bahwa anak hanya bisa belajar jika diantarkan ke sebuah lembaga bernama sekolah, bahwa sekolah mahal dengan fasilitas bagus dan tenaga profesional adalah tempat yang paling baik untuk anak-anak, kualitas belajar anak tergantung dari di mana dia bersekolah, kualitas adab anak tergantung seberapa kompeten guru sekolahnya mengajar, kompetensi anak adalah seberapa banyak prestasi-presatasi akademiknya, orang tua berhak menuntut guru dan sekolah tentang progres belajar anaknya, orang tua boleh melepaskan begitu saja pendidikan anak ke lembaga formal atau nonformal, dan lain sebagainya, semuanya harus diluruskan kembali.

Apalagi mengenai sekolah asrama. Belakangan ketika pandemi, banyak pula orang tua yang anaknya baru usia SD sudah mencari-cari sekolah asrama. Tetap memaksakan keinginannya pada anak karena merasa anak sudah di luar kendali. Anak harus dipaksa masuk dalam lingkungan yang dianggap aman, yaitu sekolah berasrama. Dengan begitu, orang tua merasa lega telah lepas dari tanggung jawab mengawasi dan membarengi belajar anak-anaknya. Orang tua bisa fokus mencari dana untuk membiayai seluruh keperluan anak-anaknya. Sangat disayangkan keputusan tersebut seringkali tidak mempertimbangkan kesiapan anak itu sendiri. Sebab, ada anak yang memang siap untuk menempuh pendidikan asrama dan sudah cocok jauh dari orang tua, tapi ada pula anak yang belum siap secara psikis. Memang kehidupan asrama akan melatih kemandirian, tapi apakah kemandiriannya sudah dilatih secara bertahap di rumah? Pastikan anak tersebut siap. Apalagi usia tamat SD itu, belum semua anak sudah memasuki usia akil balig. Sebelum akil balig, mereka butuh pendampingan dan kasih sayang orang tuanya secara penuh.

Pendidikan yang dengan bahasa lain dinamakan education (edukasi) artinya adalah mengeluarkan (edu), bukan menjejali anak-anak dengan hal-hal yang dianggap orang dewasa penting untuk masa depannya. Menurut saya, ruang dikusi harus dibuka selebar-lebarnya mengenai masa depan yang melibatkan anak secara langsung. Melaksanakan education sejatinya mengeluarkan segala potensi yang dimiliki anak dan mengarahkannya dengan cara yang benar. Orang tua dan guru adalah fasilitator bagi anak-anak. Tugas mereka mendampingi dan memberikan fasilitas sesuai dengan apa yang dibutuhkan anak. Apalagi sejatinya setiap anak adalah unik. Mereka membawa keunikan dan bakat mereka masing-masing.

Setelah anak yang pertama sempat bersekolah rumah juga ketika duduk di tingkat menengah, lalu yang kedua bersikukuh ingin bersekolah di sekolah formal, kini waktunya kami membuka diskusi dengan anak yang ketiga. Dia pun memang ingin juga bersekolah formal seperti teman-temannya. Jelang ujian masuk dibuka di sekolah-sekolah sekitar tempat kami tinggal, kami melakukan survei sekolah yang cocok. Memang tidak ada yang sangat membuat kami lega, tapi ada beberapa yang masih cocok dengan visi misi keluarga kami. Lalu untuk alternatif, kami berdiskusi, kalau di tempat ini tidak lulus, apakah dia mau belajar bersama saya di rumah? Dia setuju setelah kami jelaskan apa dan bagaimana nanti kami bersekolah rumah.

Saya sendiri sangat menyayangkan, prosedur dan tes-tes akademik juga harus kami lalui bersama. Sesudah disibukkan dengan registrasi dan mengunggah berkas-berkas, anak kami pun harus mengikuti serangkaian ujian tes akademik. Teman-teman sebayanya sudah digenjot di TK untuk belajar persiapan tes SD, bahkan saya tercengang, ada pula bimbel untuk membantu persiapan ujian masuk tersebut.

Usia anak kami belum genap 7 tahun, kala itu dia masih mengenal huruf dan belajar menuliskan namanya sendiri, menarik garis, berhitung sederhana yang diajarkan bukan seperti cara-cara mengajar di kelas. Kami ingin memelihara curiosity atau rasa ingin tahunya, lalu melatih kemandirian, rasa percaya diri, dan keberaniannya.

Sekiranya tes yang dilakukan untuk sekolah tersebut adalah bagaimana memasak sarapan (roti bakar, telur dadar, memanggang tortila), mandi sendiri, melipat kain dan sajadah seusai salat, makan tanpa berantakan, mencuci piring, membaca doa-doa yang sangat sederhana, berbagi, membantu bunda berbelanja di kedai, memesan menu makanan di warung atau kafe, menyapa orang yang baru ditemui, tentu anak kami itu akan lulus dengan nilai yang cukup baik. Namun sayangnya, tentu bukan itu serangkaian tes untuk masuk SD. Jadi, ketika tiba hari pengumuman, tak ada nomor ujiannya yang tiga digit itu muncul di daftar lulus. Ramainya pendaftar hingga ratusan.

Kami kembali ke rencana B untuk melaksanakan sekolah rumah dan perasaan itu dimulai kembali. Saya dan suami beserta anak-anak yang sudah lebih besar, bersiap-siap untuk lingkungan terbaik bagi siswa baru di sekolah rumah kami. Yakni anak ketiga kami. Dia lincah, suka bergerak, dan menurut tes dari ahli, dia juga menyandang disleksia ringan.*

Saya meyakini Allah telah memasang perangkat yang paling baik untuk saya sebagai ibu sekaligus guru bagi anak-anak. Maka sekolah rumah kami pun dimulai dengan kondisi saya yang juga bekerja penuh waktu di sebuah lembaga dan pekerja paruh waktu sebagai editor. Begitu juga tentunya suami sebagai pencari nafkah utama, melakoni peran sebagai kepala sekolah di sekolah rumah kami pun adalah tantangan besar baginya.

Lalu apa yang membuat kami bertahan? Tentu sebuah keyakinan atas pertolongan dari Allah. Seiring dengan keyakinan itu, kami terus berikhtiar dengan meluruskan sudut pandang tentang sekolah rumah. Salah satu tantangannya jangan pernah membandingkan apa yang sedang dijalani dengan metode homeschooling keluarga lain. Namanya juga costumize, harus benar-benar disesuaikan dengan kondisi anak dan keluarga. Jika ingin belajar dari metode-metode orang lain, tentunya tidak untuk membandingkan yang membuat kami sebagai praktisi homeschooling menjadi tidak percaya diri.

Meluruskan sudut pandang juga tentang membereskan hal yang satu ini: yaitu jangan berupaya memindahkan sekolah ke rumah. Homeschooling tidak sama dengan PJJ yang dilakukan siswa-siswa selama pandemi. Jika tetap memaksakan kurikulum sekolah formal diberlakukan dalam sekolah rumah, itu artinya orang tua harus siap-siap stres, frustrasi, dan menjadi depresi. Apalagi jika dipadukan dengan target-target pencapaian dan menyesuaikan dengan nilai-nilai KKM yang berlaku di sekolah. Homeschooling bukan juga les privat dengan cara mendatangkan guru-guru mata pelajaran ke rumah dan mengajari anak-anak tentang IPA, IPS, Matematika, dan Bahasa Indonesia.

Membahas hal ini memang terdengar lucu, tapi memang masih banyak orang tua yang menanyakan hal ini pada kami. Apakah kami sebagai orang tua sudah menguasai semua mata pelajaran sehingga berani memutuskan mengajar anak sendiri? Apakah kami punya kompetensi sebagai guru? Kalau tidak, bagaimana mungkin berani-beraninya mengajar anak sendiri? Apa tidak peduli pada pendidikan anak? Bagaimana kurikulumnya? Apakah kurikulum yang dicomot sana-sini? Ah, buat anak, kok, coba-coba?

Untuk menyelesaikan semua pertanyaan di atas, kami perlu belajar kembali. Maka ada istilah deschooling yourself bagi orang tua yang memilih jalur sekolah rumah untuk anaknya. Agar tidak dikotomi oleh hal-hal di atas. Padahal karena sangat peduli mengenai pendidikan anaklah kami memilih sekolah rumah, padahal berangkat dari rasa peduli dan sayang kami, maka kami memutuskan memilih sekolah rumah.   

Deschooling yang disebutkan di atas merupakan tantangan lain menyelenggarakan sekolah rumah. Orang tua harus sudah selesai dengan diri sendiri. Orang tua berpikiran terbuka, membuka hati seluas-luasnya, dan kembali mempraktikkan sebuah pernyataan bahwa belajar harus sepanjang hayat. Maka sebagai orang tua yang juga berperan sebagai guru, kami berupaya tetap waras dengan upaya-upaya yang paling memungkinkan. Upaya lainnya adalah berkumpul dan berdiskusi dengan orang tua lain yang juga menyelenggarakan sekolah rumah.[]

*Sudah dimuat di Jurnalisme Warga Harian Serambi Indonesia 26 Agustus 2021

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *