cerita ceriti,  Cerpen,  Fiksi

Sewindu Menunggumu

Jadi, apa yang kau tunggu selepas hujan? Apakah aroma pethichor yang sengau atau larik pelangi jika pun muncul. Aroma rumput basah yang menggelitik lobus olfaktorimu pada setiap ingatan yang sama sekali tak ingin kaukenang.

“Jangan mencoba menghubungiku, jangan mencariku, saat sudah aman, aku akan segera menghubungimu lebih dulu. Tenang saja…”

Ini Juni kedelapan, tepat sewindu kau penyap. Sudah jutaan kali lazuardi berganti lembayung.

“Ibu, aku sudah membersihkan kamar Ayah, tapi sepreinya belum rapi betul. Tolong tarikkan di ujung sana…” Rausan malaikat kecil kita berusia sudah 9 tahun, saat kau pergi, ia baru belajar berjalan dan sedang senang-senangnya menghirup aroma tubuhmu sepulang kerja, menggapai-gapaikan tangan saat melihatmu hadir dari balik pintu.

“Tunggu, Rausan Sayang.. Ayah ganti baju dulu, ya…” Selalu itu kalimat sapa pertamamu saat pulang.

“Ibu. Ayah pulang hari ini, kan? Aku sudah membersihkan kamarnya. Iya, kan, Bu? Ayah pulang hari ini…”

Telingaku berdengung, mataku mengabur, akan ada tetes embun menghambur dari pelupuk mata saat itu juga.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

4 Comments

  • baren aidar

    Sedih aku tuh jadi ingat sesesiswa yang ditinggal ayahnya dari usia tujuh tahun. Ayahnya bilang hanya pergi tujuh hari, tiada kabar berita pada ibu dan dirinya selama sang ayah pergi.
    Tujuh tahun kemudian ayahnya dikabari dipulangkan karena telah menjadi almarhum. Tujuh hari yang dijanjikan ternyata tujuh tahun lamanya, begitu kakek si siswa bertutur ketika kami takziah kerumahnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *