Dikaruniai anak istimewa adalah anugerah tersendiri. Terasa amat disayang, semakin ingin berdekatan penuh keluh kesah dan bertong-tong air mata ingin ditumpahkan, mengadu kepada-Nya. Kalau di tantangan yang lalu aku mencoba komunikasi produktif dengan putri keduaku, Biyya, di tantangan kali ini aku ingin mencatat komunikasiku dengan Sang Imajinator Adiluhung, Akib, sulung kami yang disleksik.
Mengenai disleksia dan serba serbinya, aku pernah mencoba merangkum di sini. Serba serbi disleksia,
Adalah persoalan krusial bagi seorang disleksik mengenai bahasa ekspresif. Gangguan di bahasa sosial dan kesalahpahaman adalah hal yang jadi santapan sehari-hari dalam berkomunikasi.
“Akib, kan sudah baligh, tandanya sudah dewasa.” Pernyataan dengan seribu cabang pengertian dalam kepalanya. Memang ada hal yang menyenangkan ketika Akib selalu merasa masih belum memiliki beban tanggung jawab dan suka sekali bermanja-manja denganku. Pernah dengar kan, ketika ibu dari anak usia 9 atau 10, saat mengantar anaknya ke sekolah, tidak mau lagi dicium atau dipeluk? Sebab ia sudah mulai gengsian dan malu di depan teman-temannya. Tapi hal itu tidak terjadi pada Akib hingga usianya jelang 12 tahun dan sudah baligh. Bahkan cerita ia baligh dijabarkan cukup detail kepadaku di sini Akib dan baligh
Namun hal itu tak urung membuatku serta merta bersedih. Ya, Allah, apakah ini pertanda ia sudah memasuki baligh namun belum juga sampai aqil-nya, gumamku merana. Sebab impian setiap orang tua adalah anak-anak salih/saliha penyejuk mata. Namun apa mau dikata?
Sering harus kutepis pesimis, aku harus optimis, Allah telah memberikan support team berupa suami yang mau berjuang belajar bersama membesarkan dan membersamai ananda.
Lalu inilah hari pertama Akib dengan tantangan 10 hari untuk bisa berkomunikasi secara produktif dengan pribadi disleksik yang unik.
“Apaan Bunda tulis-tulis Akib, tuh?” tanyanya saat melihat aku sibuk menyusun aksara melalui kibor virtual di Polaris Office.
“Bunda mau buat jurnal, itu kayak catatan-catatan tentang bagaimana Bunda berkomunikasi dengan Akib. Supaya Bunda juga nggak gampang marah-marah sama Akib. Kalau Bunda catat, kan ketahuan gimana cara Bunda ngobrol sama Akib sehari-hari.”
Akib diam pertanda tidak lagi ada keberatan aku menuliskan apa saja tentang dia, tentang kami yang sering berselisih paham karena ibarat dua kutub magnet serupa, kami sering tolak menolak. Ada harapan walau secercah saja melalui komunikasi produktif yang coba kuterapkan untuk Akib semoga bisa melerai kekusutan belakangan ini. Tahu sendiri, kan, bagaimana anak jelang dewasa? Sebuah anugerah juga ia sebenar-benar di sisi kami di masa-masa baligh ini. Jadi momen-momen emas masih bisa kami dapatkan sebagai salah satu hadiah kebersamaan.
