Tantangan Hari#2
Kembali menarikan jempol di tuts virtual menjelang tidur. Memanggil kembali semua ingatan hari ini atau mengulik ‘catatan monyet’ yang kubuat siang hari mengenai komunikasi dengan sulungku, Akib.
Pagi ini ia tidak sempat sarapan, padahal masih pukul 7 pagi, biasanya ia berangkat ke sekolah paling cepat pukul 07.15 atau bahkan menjelang pukul 8 juga pernah. Jangan menanyakan hal-hal sensitif semacam itu, “kenapa lelet? Kok bisa telat?” owh kind of that bagi Sang Disleksik adalah latihan sepanjang usia, untuk berusaha tepat waktu dan disiplin. Mengasumsikan waktu saat melakukan gerakan ini atau itu adalah hal yang cukup membingungkan. That’s why ia sering terlambat.
Oke, lanjut lagi setelah Akib membawa bekal sarapan telur ceplok dan nasinya, memasukkannya ke dalam tas, segera mengayuh sepeda biru kesayangannya bersama Akram ke sekolah. Sebelum berangkat ia sempat menyalamiku dengan ceria.
Aku belum sempat menulis untuk menceritakan mengenai kepindahan kami ke rumah komplek Bumi Asri yang membuat Akib kian berbinar. Seperti ungakapan Santiago dalam The Alchemist yang ditulis Paulo Coelho “And when you want something, all the universe conspires in helping you to achive it” Ketika kau menginginkan sesuatu, maka seluruh semesta akan membantu mewujudkanya.
Belum terbayang sebelumnya akan pindah ke komplek di mana teman Akib banyak yang tinggal. Bisa mewujudkan keinginan Akib untuk berangkat ke sekolah naik sepeda. Maka bersyukurlah dan ungkapkan doa-doa yang baik.
Lalu hal yang mengecewakan hari ini adalah ketika aku dan suami harus ke luar sore hari untuk membeli karpet. Saat azan magrib kami tiba dan Akib masih bersepeda di luar dengan temannya.
“Akib, ke sini ya. Bunda mau bicara sebentar,” pintaku sembari menyuruh ia pulang. Ia memang hanya bermain di seputaran komplek. “Akib salah apa, Nda? Kan, Akib nggak ada berbuat salah.” itu ucapannya pertama sekali aku dudukkan di kursi makan.
“Bunda tanya, dulu saat Akib pergi tanpa izin dengan Rafif ke Setui, apakah Akib tahu itu tidak baik?”
“Iya, tapi kan itu Akib nggak bawa HP makanya nggak bisa minta ijin sama Bunda dan Ayah.”
“Akib tahu Akib nggak bawa HP berarti tidak bisa minta ijin sama kami, sebaiknya Akib nggak pergi kemana-mana. Karena itu membuat kami khawatir.”
“Itulah dia! Itulah yang Akib nggak suka. Bunda itu cemas berlebihan. selalu khawatir! Takut!” Nada suaranya meninggi.
“Itu tanda Bunda peduli dan sayang sama Akib,” jawabku sekenanya.
“Nggak perlu kayak gitu!” jawabnya lagi masih dengan nada tinggi.
“Itu tanda kami sayang sama Akib Kalau kami nggak sayang, kami biarkan Akib main sampai larut, kemana aja ”
Secara detail aku berhasil mematahkan argumen Akib yang terkadang tidak bisa dipertahankan. Ia sempat mengamuk dan protes, tapi aku tetap tenang dan datar. Aku minta ia mandi dan wudhu, salat isya dan tidur.
Akib masih juga menolak. Esok sabtu dan aku juga tidak mungkin mengizinkan Akib memakai tab untuk keperluan desain, kalau Akib tetap tidak mau mandi dan tidak tertib berpamitan sebelum ia pergi ke manapun. “Karena Akib bagian dari keluarga ini. sebab lepas magrib, kita sekeluarga ada di dalam rumah. Tidak lagi berkeliaran apalagi sekedar bermain mengayuh sepeda.”
Akib setuju dan mengikuti saranku. Tanpa ada keributan yang berarti dan aku tidak perlu terpancing emosi amukan amarahnya saat aku ingatkan. Entah mungkin karena aku tahu harus menulis seperti ini jadi lebih bisa menahan diri dan tidak terpancing dengan Akib yang mencak-mencak.
.Akib membawa Ziyad ke hunian baru kami. Mereka menonton FiMe (film meme)