cerita ceriti,  disleksia,  KelasBunsay#1,  Kuliah Bundsay IIP,  my little angels,  my world,  Parenting,  Self reminder

Tantangan hari#3 Komunikasi Produktif

Tantangan Hari#3

Tidak banyak yang bisa kutuliskan hari ini. Sabtu pagi yang dibuka dengan kehebohan anak tengah kami, Biyya. Entah sampai hari keberapa untuk semua kembali normal dan terkendali. Aku tahu pindahan bukan sepenuhnya menyusahkan, toh inilah salah satu cara memotivasi hari-hari ke depan. Memupuk optimisme dan segala macam impian kerap dibangun pada setiap sesuatu yang baru. Semangat!

Jadi hari ini jilbab coklat Biyya terbawa ke binatu. Jilbab pramuka lainnya kekecilan dan tidak pernah dipakai lagi, biasanya pakaian yang afkir sudah kukeluarkan dari lemari dan rumah. Walau belum berbenah sepenuhnya, aku mencoba keras mempraktikkan metode Konmarie sebisaku. Hanya menyimpan benda-benda yang mendatangkan kebahagiaan.

Akib kuminta membantu di dapur setelah ia salat subuh. Sabtu jatahnya mengakses aplikasi di gawainya tanpa jaringan internet. Bahkan saat-saat inilah ia bermain game. Yah, aku biarkan dengan catatan baru, membantuku berberes pagi.

Akib sedikit menggerutu saat aku ingatkan tentang waktu salat dan berberes diri. Ia menolongku lebih dulu sebelum kuberikan gawai. Temannya datang menjemput untuk bersepeda, ia belum sarapan tapi sudah mandi pagi. Sebuah kemajuan dalam catatanku.

Pukul 7. 15 Akib mulai mengayuh sepedanya dan kembali lagi dengan kaki penuh lumpur.

“Akib mau mau mandi lagi, Bunda.” ucapnya di depan pintu setelah mengucapkan salam. Ia masuk ke dalam dan menunggu ayahnya keluar dari kamar mandi kemudian mencuci kaki. Ada sebungkus lontong untuk sarapan yang langsung dilahap habis.

“Ada Ziyad di luar. Kenapa nggak disuruh masuk dulu?” tanyaku memancing empatinya. Bagi Akib agak sedikit bias membaca bahasa sosial. Aku sedang berusaha keras memilih diksi yang paling tepat untuk membangkitkan sensitivitas dan rasa empatinya. Seringkali perkataan Akib terhadap teman sekelas sama dengan terhadap guru. Dengan adiknya dan Bundanya juga tidak bisa dibedakan. Pergulatan batin pernah menderaku berbulan-bulan sebelum Akib sah didiagnosa disleksia. Malam sering dihabiskan dengan berpak tissue sebelum tidur. Curhat dengan suami, apa yang salah dari caraku berbahasa. Adakah aku ibu yang buruk bagi Akib? Sehingga untuk berucap sedikit santun pun agak sulit. Mungkin standar santunku terlalu tinggi? Atau aku yang selalu berpikir bahwa Akib tidak peka sama sekali. Saat akhirnya ibu Sang Disleksik ini diedukasi oleh dokter dan terapis Akib, betapa rasanya cahaya tercurah dari Allah. Semakin besar tantanganku, rasanya aku semakin disayang. Tentu aku ibu yang harusnya hebat tak sekadar bisa berkata lembut dan baik, tapi kalimatku pun mesti benar dan tepat untuk disampaikan kepada sulungku.

Ingatanku melayang pada saat pertama aku mengandung dan menantikan kelahiran Akib, betapa Allah seakan membina kami berdua selaku orangtua mengambil keputusan bagus, mencopot antena teve dan lebih sering melakukan read a loud sejak ia di dalam kandungan. Aku juga mulai mengoleksi buku-buku anak sejak awal menikah. Jadi kondisi Akin dengan bawaan genetik disleksia tidak diperparah dengan kecanduan teve.

Sejak ia dikenalkan gawai memang menjadi sulit untuk tidak tertarik. Ternyata audio visual itu adalah hal yang sangat diminati olehnya dibanding mungkin tertariknya anak normal terhadap gawai. Itu sebabnya ia terlihat sangat antusias di gadget hours. Belakangan kemampuan Akib di desain grafis dan membuat video lebih cepat maju dibandingkan saat disuguhkan pengetahuan lainnya. Menyiasati ia tidak terpaku gawai tingkat kesulitannya lebih tinggi, kurasa. Penting sekali memilih diksi saat jam gawainya sudah habis, bahkan aku terkadang harus jauh lebih tega dalam hal ambil paksa dan sabar saat ia akhirnya tantrum walau usianya 11 tahun.

Di awal rasanya aneh, namun akhirnya aku tahu kelengketannya akan gawai tersebut akarnya adalah karena kondisinya yang berbeda seperti yang pernah disebutkan dr. Tian bahwa anak disleksia nyaman sekali dengan sajian audio visual, padahal itu memperparah kesulitannya fokus pada saat belajar dengan metode biasa yang ada di sekolah, tentu akademiknya semakin buruk.

Bersepeda bersama teman-teman di komplek.

 

 

 

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *