Perjalanan pulang selalu membawa haru dalam jiwaku. Aku akan tiba di tempat di mana aku tumbuh besar dengan didikan seorang lelaki yang mampu membuat sebuah rumah gedong, tetapi dia justru mendirikan sebuah pondok di lingkungan yang dirasanya baik buat anak cucunya agar mereka bisa terus bertumbuh dan memiliki wasilah untuk beramal. Dia membuat sebuah rumah mungil yang isinya jauh lebih sederhana daripada penampilannya.
Mobil minibus menderum seperti dengkuran kucing paling jinak yang pernah kumiliki. Belakangan moda transportasi ini menjadi pilihan utama kalau ingin pulang kampung. Aku menyukainya karena lebih lapang, joknya lebih tebal, dan dilengkapi pendingin, walau pulang kali ini aku mendapatkan seat paling belakang; punggung kursiku bersebelahan langsung dengan tumpukan barang-barang penumpang. Sopir cadangan sudah selesai menata barang-barang dan melapisinya dengan selimut bulu dan bantal mungil seukuran kertas A4.
Aku tidak menyukai musik yang diputar oleh sopir, biasanya itu sangat memengaruhi suasana hati dan perjalanan terasa lebih panjang bagiku, tapi aku juga tidak mau merepotkan diri sendiri dengan berdialog, memulai percakapan basa-basi dan meminta ini itu pada orang yang belum kukenal, lagi pula tujuan utama aku melakukan perjalanan ini juga agar bisa tiba di kampung halaman, ada misi birrul walidain yang harus kupenuhi.
Dua anak lelakiku duduk tepat di sebelah kanan, satu lagi putriku yang tingginya sudah menyaingi ibunya, duduk di bangku terpisah di sisi seberang bangkuku. Kami tiba lebih lambat dari biasanya, sekitar pukul 10.30 WIB. Mungkin karena peraturan dari dishub untuk pengemudi dengan jarak tertentu, untuk keselamatan perjalanan, pengemudi harus memiliki waktu operasional dan istirahat yang cukup; tidak ada lagi istilah mengebut dan mesti lekas sampai di tempat tujuan dengan mengabaikan keselamatan diri sendiri dan orang banyak.

Kursi rotan yang dialas bantal kapuk dengan sarung bermotif bunga yang sudah pudar dan kekuningan masih menjadi pemandangan pertama yang kusaksikan saat pertama kali memasuki pintu rumah Umak. Kursi rotan itu ‘singgasana’ Abak. Di dua sisi dinding ruang depan terdapat bilah-bilah kayu yang disusun secara vertikal yang lebih sering disebut ‘pedati’ oleh Umak. Bilah kayu itu kini sudah disatukan membentuk empat daun jendela dan baru sekitar tiga tahun yang lalu dicat warna lilac.
Dulu saat Abak masih ada, bilah-bilah kayu itu kerap jadi objek latihan otot tangan dan ketangkasan buat Abak setiap pagi dan sore. Ketika fajar mulai menyingsing, Abak berjalan terseok menyeret kaki kanannya yang lumpuh sejak tahun 2001, sementara tangan kanannya menggantung lemah. Abak memilih tidak menggunakan bantuan kursi roda atau tongkat untuk berjalan keliling atau keluar rumah untuk sekadar menikmati matahari pukul sembilan. Bilah-bilah kayu itu diangkat satu per satu, kalau pagi tentunya agar terbuka lebar–karena fungsinya memang untuk jendela rumah–dan kalau sore jelang pukul enam, Abak sudah mencicil perlahan, satu per satu bilah kayu diloloskan dari celah berukuran sama dengan tebal kayu. Aku kurang pintar memperkirakan ukuran dan berat benda, tapi bilah kayu itu berukuran kira-kira setinggi pinggang orang dewasa dan lebarnya sejengkal setengah, aku bingung menaksir beratnya, tapi aku sendiri perlu dua belah tangan untuk mengangkat dan mengatur agar kayu pedati itu tersusun dengan tepat. Kalau kami, anak-anaknya, buru-buru membantu, Abak selalu bilang bahwa itu adalah usaha untuk membuat tangan kirinya terlatih. Dengan setengah tegas dan memohon, dia akan membuat kami membiarkannya melakukan hal itu setiap hari.
Memang Abak sosok yang optimis, setelah beberapa tahun terserang strok, Abak bisa menulis, makan, berwudu, membaca, membersihkan mejanya sendiri, menyikat gigi dengan tangan kirinya. Abak tidak patah semangat melakukan kebaikan walau kondisinya yang jauh berbeda dibanding dirinya ketika sehat dulu. Salah seorang sahabat Abak berkata, “Pak Tangah memang duduk di bangkunya sendiri, di dalam rumahnya, tetapi pemikiran dan ide-idenya telah melanglangbuana ke penjuru negeri, menggerakkan dan memberikan manfaat dan kebaikan untuk orang banyak. Biasanya orang strok kemampuan otaknya melemah, tetapi enggak dengan Pak Tangah”.
Sahabat Abak itu adalah seorang dokter yang sudah mengabdi puluhan tahun di desa kami, dia juga yang selalu merawat Abak jika sewaktu-waktu Abak memiliki keluhan fisik. Bisa kukatakan dokter itu juga terinspirasi dari ide dan sosok Abak. Beliau sudah meninggal menyusul Abak beberapa tahun lalu dengan meninggalkan tanah wakaf perkuburan untuk masyarakat di sana. Abak sendiri merasa tak pernah memberikan apa-apa, karena kalau padaku, Abak selalu bercerita mengenai sahabat baiknya di masa kecil, ada yang mewakafkan 20 hektare tanahnya untuk umat, atau orang yang diketahuinya mewakafkan tanah yang jauh lebih luas dan mengagumkan dari yang Abak lakukan. Abak yang selalu merasa sedekah dan amalan-amalannya sangat sedikit.
Mungkin kami kakak beradik tak ada yang membantah pendapatnya selain berpikir bahwa itu sebuah pertanda bahwa kami pun harus melanjutkan perjuangan Abak; sudah semestinya kami meneladani apa yang Abak lakukan dan aku yakin Abak ingin agar kami melampaui apa yang telah diberikannya untuk masyarakat dan orang-orang di sekitar kami, untuk desa kami, untuk negeri ini, untuk dunia jika memungkinkan.
Abak sering berkisah tentang Buya Hamka padaku, termasuk mengenai semangat pencerahan yang diberikannya melalui tulisan-tulisan. Saat itu aku masih duduk di bangku aliyah. Mungkin tahun terakhir kalau aku tak salah ingat. Abak baru saja memarut ubi tanah untuk pakan bebek. Abak belum lama pindah dari rumah losmen ke pondok Gunung Lagan. Saat itu lahan yang baru dibuka dan ditanami sawit itu belum banyak dihuni orang, rumah hunian masih jarang-jarang sekali. Abak berkata kalau sebenarnya dia ingin sekali menulis, terutama mengenai tema kikir dan bakhil. Sayangnya aku sendiri tidak merasakan itu sebuah tanda-tanda kuat agar aku segera menampung ide Abak dan merealisasikannya dalam sebuah tulisan, akhirnya semua sekadar obrolan.
Abak bilang, Allah akan memberikan rezeki kepada hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya mengelola rezeki tersebut. Lalu saat pertama sekali kita datang di suatu tempat, kita butuh membangun sebuah masjid. Untuk itulah cikal bakal masjid Taqwa Gunung Lagan berdiri. Aku di sebelah Abak saat dia bolak-balik menepatkan kompas untuk arah kiblat dari rumah pondok kami.
Aku sebenarnya memiliki pengalaman yang jauh lebih sedikit bersama Abak dibandingkan dengan Uda Akhyar dan Kak Emi, kakak lelaki tengahku dan kakak pertamaku. Namun, aku punya banyak stok memori masa kecil hingga aliyah bersama Abak, terutama saat pertama Abak terkena strok. Dari kami bersembilan, masing-masing kami memiliki pengalaman yang mewah dan berlimpah bersama Abak; Abak adalah sosok ayah yang memang turut mendampingi Umak mengasuh dan mendidik kami karena ruang kerjanya adalah meja kasir dari kayu. Meja dan kursi itu ada di kedai minyak yang selalu berdiri di sebelah rumah tinggal kami. Entah kenapa, mudah sekali bagiku membangkitkan memori tentang Abak dan bahkan setiap gerakan tawa dan guyonannya, cara dia membesarkan hati kami adalah hal yang tak mungkin kulupa hingga kini.
Di rumah pondok ini, seperti banyak sekali jejak Abak. Di setiap sudut ada senyum ramah Abak ataupun tatapan layunya jika melihat ibadah kami anak-anaknya tampak lesu. Cuma Allah Yang Maha Kuasa membolak-balikkan hati manusia, suara azan dari masjid paling dekat pun, kalau hati kita jauh, pasti ndak merasa terpanggil, kata Abak.[]
