Aku tak ingat persis kapan, tapi itu terjadi beberapa kali: momen Abak memanggilku dan menyuruhku duduk, memintaku mengulang sebuah syair. Selain terjemahan hadis dan Al-Qur’an, Abak juga suka mengambil beberapa syair untuk menarik perhatian kami anak-anaknya, agar mau mengobrol panjang.
“Duduk siko sabanta. Mau kau mendangakan lagu?” tanya Abak padaku.
“Mau,” kataku sambil mengangguk.
Lagu atau nyanyian, Abak bertanya apakah aku ingin mendengarkan sebuah lagu. Suara Abak tak merdu. Aku tahu dia bisa bermain harmonika sedikit, Umak juga bisa meniup harmonika lebih baik dan suka bernyanyi, tapi keduanya tidak pernah melakukan itu secara khusus buat diri mereka sendiri atau kami anak-anaknya. Kesenangan itu seperti telah ditelan kesibukan mengurusi kami bersembilan beserta rumah dan usaha yang dibangun Abak, serta mengurus organisasi dan bersosialisasi, kupikir begitu.
Sampai hari ini aku tak pernah bertanya, sepertinya jawaban Abak dan Umak adalah karena musik perkara lughah atau sia-sia, tapi kami juga tidak dilarang mentah-mentah. Adik bungsuku bahkan sudah ke Italia dan Busan, Korea, karena ikut paduan suara universitas. Grup mereka diapresiasi dunia dan mendapatkan medali. Saat tahu prestasi adik bungsu kami, Abak tidak menunjukkan rasa bahagia dan bangga di wajah dan nada suaranya, mungkin karena itu adikku dengan lapang hati melepaskan mimpi-mimpinya berkeliling dunia melalui musik atau paduan suara. Selera musiknya sangat tinggi dan darah seni mengalir kental di nadinya. Namun aku tahu, dia tidak sedikit pun berkeberatan meninggalkan aktivitas itu karena Abak dan Umak terlihat jauh lebih bahagia saat akhirnya dia memilih tesis yang tak ada kaitannya dengan musik, lalu mulai konsisten mengajar sebagai dosen.
Lagu yang Abak nyanyikan sebenarnya tergolong jadul di masa itu. Kalau tidak salah, baru-baru saja lagu itu juga dinyanyikan kembali dan dipopulerkan oleh penyanyi masa kini. Namun di masaku, itu adalah lagu yang betul-betul jadul dan aku merasa biasa saja saat Abak mengajakku mendengarkan syair itu. Lain rasanya kalau momen itu terulang lagi di pikiranku. Saat aku sedang melakukan aktivitas harian di rumah dan melihat anak-anakku berlarian, mengambil air minum dan kembali lagi ke luar rumah untuk bermain. Aku sering sekali memanggilnya duduk sekadar mengingatkan waktu salat Zuhur akan tiba. Saat itulah ingatan tentang Abak melintas; saat suara rendahnya memanggil namaku dan mengajakku duduk di kursi kayu yang dipernis cokelat. Kursi itu cukup lebar dan berat. Biasanya cucu-cucu Abak–anak-anak kami–bisa duduk sampai berdua di satu bangku.
Aku mengangguk malas dengan tawaran Abak dan menebak, pasti lagu Abak tidak menarik. Syairnya tidak sebagus lagu-lagu Bryan Adams atau Celine Dion, musiknya tidak sekeren Roxette yang masa itu paling populer, tentu saja. Namun, siapa yang bisa menolak panggilan persuasif dan tatapan mata teduh itu. Hingga saat ini aku berusaha mengingat-ingat, apa yang dilakukan Abak sehingga kami tidak pernah merasa keberatan setiap kali dipanggil dan disuruh mendekat. Mungkin karena kami tahu Abak tak pernah berlama-lama memberi petuah dan dia tak pernah mempersulit anak-anaknya untuk berbakti padanya.
Abak tak suka marah-marah dan menuntut banyak hal dari kami. Padahal dengan wibawa yang dimilikinya, dengan ‘kekuasaan’ yang dipunyainya sebagai kepala rumah tangga, dia bisa memerintahkan kami jadi apa yang dia inginkan. Dia membiayai kuliah kami hingga tuntas, mau di mana dan memilih jurusan apa, sampai keinginan kuliah hingga strata berapa. Semestinya dia bisa sedikit memaksa atau menitipkan cita-citanya jika ada, tetapi cukup baginya melihat kami menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain dan beribadah sebaik-baiknya.
Setelah aku duduk dan Abak memastikan aku menyimak perkataannya, mulailah Abak bernyanyi dengan sedikit bualan bahwa dulu nenek-nenek Abak adalah penyanyi, mereka kadang bernyanyi untuk dakwah, didengar oleh orang ramai. Begini syair lagunya:
“Bila Izrail
Datang memanggil
Jasad terbujur di pembaringan…
Tak ada lagi, gunanya harta, kawan karib, sanak saudara …
Jikalau ada, iman di dada, itulah hanya penolong kita …
Jikalau ada amal di dunia, itulah hanya penolong kita …”
Ada yang membaca lirik di atas sambil bernyanyi? Bukan berarti kalian seangkatan dengan Abak, aku tahu lagu tersebut juga sudah di-cover oleh beberapa penyanyi kekinian. Namun, barulah kini aku merasakan makna mendalam dari lirik lagu itu. Syair yang menautkan ingatanku tentang momen bersama Abak.
“Cubo kau ulangi …” pinta Abak pelan dan aku yang saat itu merasa lagunya kurang keren hanya tersenyum enggan dan Abak mengulangi syair tadi seolah-olah akulah yang melakukannya: mengulang syair yang tadi dinyanyikannya. Aku rasa liriknya tidak tepat seperti itu, tapi Abak tetap saja menyampaikan padaku dengan gembira dan aku tahu bahwa yang paling penting bagi Abak adalah makna dari syair tersebut semestinya telah sampai.
Benar, semuanya sampai ke dalam hatiku dan aku bisa mengulanginya ratusan kali dan menyampaikan kembali pada anak-anakku. Aku tidak dengan sengaja menghafalnya, tetapi syair itu jadi ingatan hingga kini dan sering menjadi renungan di kala aku sendiri dan merasa waktuku semakin berkurang di dunia ini. Sesungguhnya setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Lalu ketika saat itu tiba, apa yang telah kupersiapkan sebagai bekal menghadapinya?[]

2 Comments
emi
Abak
aini
🙂 🙂