my world

Tentang Mengasah Syakilah dan Memahami Konsep Nafkah

Kalau aku memulai tulisan kali ini dengan kalimat ‘sudah lama tak menulis di blog’, rasanya terlalu basi dan bisa saja terkesan sedikit jahat, itu membuatku merasa bersalah. Sebab blog ini dihadiahkan buatku bersenang-senang dan berkreasi, dibayarkan setahun penuh dan biasa kuisi dengan karya suka-suka. Aku bahkan bisa mengisinya sehari tiga kali seperti minum obat, tapi kenyataannya terkadang sebulan sekali pun, aku tidak bisa konsisten melakukannya. Aku memang menulis dan mengedit setiap hari, tetapi blog ini tidak kumaksimalkan sepenuh hati.

Memasuki 10 hari kedua bulan Ramadan tahun ini, aku sangat bersyukur karena seperti tahun lalu, kondisiku jauh lebih sehat dibandingkan dua tahun sebelumnya. Tidak ada lagi nyeri tulang, otot, dan pusing berkepanjangan yang biasa dialami oleh individu dengan gejala anemia berat, dan paling menyenangkan alhamdulillah tak ada transfusi darah tahun ini. Semoga Allah memberikanku kesehatan buat seterusnya. Amin.

Setiap tahun di bulan Ramadan, hal yang paling kusukai dari aktivitas membaca menulis adalah membaca ulang buku-buku self improvement favoritku atau menamatkan yang belum kelar, satu lagi hal yang kusuka adalah melakukan refleksi. 

Selama Ramadan yang kualami sepanjang hidup, waktu terasa begitu lambat, terutama pagi hingga siang hari. Dulu saat aktif di organisasi, bulan Ramadan saatnya membuat berbagai ajang pelatihan atau acara semacam itu, tetapi tetap saja aku merasa punya waktu untuk bersantai, mengonsep sesuatu dan membaca serta menulis lebih banyak. Di bulan ini pula banyak sumber ilmu dan kajian yang bertebaran, baik daring maupun luring. Momen refleksi terasa menjadi lebih mudah untuk dilakoni.

Di atas memang sebuah pengantar yang panjang untuk hal yang ingin kutuliskan kali ini–maafkan kalau narasi terdengar sedikit buruk. Terus terang ada hal yang membuatku tak nyaman mengedit tulisan, terkadang karena tuntutan tenggat, aku jadi tidak sempat membaca tuntas buku-buku bagus, sementara draf-draf naskah yang masuk terkadang narasinya ada yang memprihatinkan sepanjang halaman. Sebagai editor, tentunya aku harus membaca semuanya. Itu sedikit memengaruhi kualitas narasi dan tulisan para editor, menurutku. You are what you read, sering kali apa yang banyak kita baca itulah yang akan keluar lagi saat kita menuliskannya. Jadi, bagiku penting sekali tetap membaca artikel dan buku-buku yang jaminan kualitasnya sudah baik di sela-sela mengedit. Walaupun saat mengedit itu aku pasti membaca. Jika naskah yang masuk satu, berarti tuntas satu buku bahkan jika naskah itu ada empat, maka dalam bulan itu aku mesti membaca empat. Jadi editor seletih itu. Iya, betulan!

Refleksi kali ini masih hal yang berkaitan dengan tuntunan berumah tangga dalam Islam, terutama tentang nafkah bukan kewajiban istri. Sekiranya semua muslim memahami hal ini, tentu bisa menggapai sakinah mawaddah wa rahmah, tetapi memang jika kita mengatakan beriman, maka Allah tentu akan menguji kita akan keimanan itu seperti firman-Nya dalam surah Al-Ankabut ayat 2. Begitulah mungkin yang diujikan padaku, seberapa yakin aku mengenai apa yang telah aku pelajari mengenai nafkah. Meluruskan niat bahwa apa pun yang aku lakukan saat ini sebatas berkarya, mengasah kemampuan dan meningkatkan kapasitas diri untuk tetap sehat mental dalam membarengi keluarga. Diri ini sering kali harus diajak muhasabah dan meluruskan niat.

Dulu saat memiliki anak pertama, aku masih harus menyelesaikan kuliah. Seorang sahabatku dengan tulus hati menjaga buah hati kami selama seminggu karena jadwal koasistensi sedang padat. Dia teman kosku yang lebih muda, tetapi aku yakin ilmunya lebih mumpuni dariku. Berarti itu sekitar tahun 2007. Wah, betapa jauhnya sudah berlalu.

Aku pulang siang atau sore, kami sempat mengobrol. Mungkin dia melihatku kelelahan dan aku lupa kalimat apa yang saat itu memantik obrolan kami. Aku hanya ingat dengan jawabanku saat itu, “Insyaallah Kakak mau kerja, Dek. Mau membantu suami mencari tambahan. Tahu sendiri, kan, kami memulai semua dari minus. Suami bahkan belum bekerja tetap, tetapi yang penting dia tetap bekerja. Yah, harus maulah nanti sama-sama saling bantu.”

“Iya, tapi, kan, bukan kewajiban Kakak mencari nafkah,” katanya.

“Iya, bukan. Kakak cuma mau bantu-bantu.”

“Ah, Kakak. Kenapa bantu? Memang nggak yakin sama kemampuan suami?”

Lucu sekali anak ini, pikirku. Dia terlalu polos dan aku malas mengajaknya berdebat. Namun karena kami dekat, dia lalu menjelaskan tentang konsep nafkah dalam Islam. Tentunya dengan bahasa obrolan yang tidak dibumbui dengan dalil ini itu. Dia hanya menyadur apa yang disampaikan gurunya. Dia menguatkan aku, rezeki sudah ditakar dan tak akan tertukar. Aku harus meluruskan niat, kalaupun nanti bekerja bukan membantu mencari nafkah. Lama kemudian, walau aku tak suka awalnya dinasihati begitu, Allah membantu membukakan pikiranku. Semua yang disampaikan gurunya benar adanya.

Tentunya kita mencari keberkahan dalam rezeki, jadi berapa pun akan terasa cukup dan nikmat. Kalau saat aku bekerja pun ada bonus-bonus yang didapatkan, itu tak bisa diniatkan mencukupi nafkah rumah tangga. Malu sekali dengan kalimat yang aku lontarkan, apa saja asal halal aku kerjakan untuk bantu-bantu suami. Kalau aku yang menjadi suami, sepertinya aku pun tak senang saat istriku mengatakan itu. Terdengar tidak nyaman. Mungkin berbeda ketika posisiku adalah single parent, tak ada marwah ataupun perasaan seseorang yang harus kujaga.

Pernah pula aku mengatakan, kami bekerja tidak tetap, kebutuhan hidup semakin meningkat, tidak mungkin menekan pengeluaran lagi, gaji suami tak cukup. Aku jadi tersenyum sendiri membayangkan kepolosan (kalau tidak ingin dikatakan kebodohan) di masa-masa itu. Aku sendiri yang menampik berkah dalam rumah tangga kami. 

Setelah masa-masa obrolan itu, aku banyak mencari tahu dan belajar ulang. Hal-hal kecil barangkali, tetapi bisa menghilangkan keberkahan dan kenyamanan antara aku dan suami. Saat mempelajari bahwa sandang, pangan, dan papan adalah kewajibannya, aku begitu terenyuh. Bahkan ada pula ulama yang mengatakan, kalau bisa langsung disuapkan ke mulut istri. Pangan yang diberikan bukan yang mentah, namanya pangan tentu bisa dimakan langsung. Itu pun menjadi ranahnya.

Maka setiap hari aku semakin terenyuh dan memahami kelelahan suami dalam bekerja. Belum lagi risiko kerja yang dia alami setiap hari. Berkendara jauh memakan waktu 50 menit lebih ke tempat kerja. Pernah diharuskan pulang pukul 11 malam setiap hari kerja, aku menunggunya dengan membiasakan mengambil waktu tidur bakda isya satu atau dua jam saja. 

Ketika anak kedua lahir, aku pun pernah dicarikan khadimat karena suami mengizinkanku bekerja. Walau masih belum lurus niatku tadi, masih ada niat ingin mencari tambahan. Aku tidak merasa bersalah memiliki niat tersebut. Kadang kuutarakan padanya dan dia barangkali agak sedih mendengarnya, tapi aku benar-benar tak tahu. Barangkali dia senang? Aku juga kurang paham. 

Aku paham sekarang saat kukatakan bahwa sepenuhnya aku percaya padanya dan berterima kasih atas usahanya, aku merasa semuanya baik dan layak, aku tidak merasa kekurangan. Aku berseloroh dengan mengatakan, “Hidup kita ini sejak dulu pas-pasan ya, kan? Pas butuh, selaluuu ada.”

Lalu aku merunut kejadian-kejadian ajaib yang kami alami dan dia tertawa senang. Dia jauh lebih bahagia saat aku percaya dan bersyukur. Itulah yang akan dan ingin kulakukan seterusnya. Walaupun hingga kini aku bekerja, tetapi tidak pernah lagi aku berniat membantunya mencari nafkah. Aku bekerja karena aku ingin tetap menjadi diriku sendiri. Aku ingin berkarya untuk memberikan contoh pada anak-anak bagaimana orang tuanya mengasah syakilah-nya. 

Motivasi konkretku ada surat Al Isra ayat 84:

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ

“Katakanlah: ‘tiap-tiap kalian beramal/bekerja/berbuat menurut syakilah-nya masing-masing.’”

Aku meluruskan niat, bagaimana mengasah kemampuanku agar menjadi individu yang bermanfaat bagi diriku, dan bagi orang-orang di sekitarku. Jika pun Allah memberikan bonus atas semua itu, semoga tidak sampai membuatku meremehkan kemampuan orang yang menafkahiku.  Wallahu’alam.[]

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *