Setelah nyaris seminggu berjibaku dengan dokumen-dokumen akreditasi sekolah, akhirnya aku sempat rehat dengan cara kesukaanku, yaitu menulis! Tepat empat hari lalu sempat menulis sesuatu dan menerbitkan ke publik melalui Steemit seperti biasa.
Entah apa yang harus kuceritakan lebih dulu, sebab sebenarnya semua kisah sudah pula mampet dan memadati otakku beberapa hari ini. Sempat menulis di ‘catatan monyet’ tapi tak pernah berhasil mencuri waktu untuk merapikannya, apatah lagi mempublikasikan!
Saat ini yang terpikirkan adalah rasa syukur masih diberi kekuatan dan kesehatan untuk beraktivitas. Aku yang dulu tidak suka terikat dan dibelenggu deadline, kini dengan senang hati bekerja dalam sebuah tim dan tetap menikmati tahapannya.

Kemarin aku sempat menginap di asrama untuk bisa fokus merapikan dokumen-dokumen dan berjuang bersama teman satu tim untuk meyelesaikan semua printilan-printilan kecil hingga ke dekorasi tempat. Alhamdulillah anak-anak memberiku izin menginap bersama si Bungsu Faza, seperti biasa ia cukup kooperatif dan membuatku bisa bekerja sebagaimana teman lainnya, hanya saja kalau Faza lelah dan merasa butuh perhatian, ia akan mulai merengek. Aku harus lebih cepat memahami sebelum ia benar-benar bosan.
“Kenapa kita tidur di sini? Faza mau di rumah aja…” keluhnya sebelum tidur, tapi Faza bisa dibujuk dan lebih mudah beradaptasi. Tanpa ada kendala berarti, semua aman terkendali saat kami dua kali bermalam di asrama.
Aku bahagia sudah berkesempatan mengajar secara resmi lebih dari enam tahun dan beberapa bulan ini berbulan bergelut mempelajari hal baru, terutama tentang dunia guru dan standardisasi yang dibuat oleh pemerintah tentang sekolah formal.
Aku belajar banyak hal dan ini banyak menguatkan opini-opini yang selama ini sempat terlintas di benakku. Semakin ke sini, aku semakin ingin menjadi guru atau educator dan fasilitator anak-anakku sendiri. Tanpa mengecilkan dan menyudutkan segala Perment dan sistem yang dibuat untuk sekolah-sekolah formal, aku menginsafi bahwa anakku terlalu brilian untuk diikat oleh sebuah standar-standar yang ada.
Banyak anak yang cocok dengan standar tersebut, tapi tentu saja tetap ada anak yang tidak ‘klik’ dengan hal semacam itu, alah satunya adalah anak sulungku yang disleksik. Selama dikejar persiapan untuk dikunjungi oleh tim asessor, aku masih sempat berdiskusi dengan para praktisi homeschooler dan membaca ulang buku-buku dengan tema yang sama.
Seiring dengan itu, aku kemudian dihenyakkan oleh beberapa momen ketika masih ada—mungkin banyak—orang yang berpikir bahwa indikator kecerdasan itu adalah jago Matematika, pribadi yang lemot dalam hal berhitung dipandang sebagai lelucon menggelikan. Terbalik, bagiku sendiri yang masih memandang kecerdasan adalah perihal kecepatan berhitung merupakan pribadi yang masih betah berkacamata kuda dan bagai katak dalam tempurung.
Kecerdasan itu beragam, lalu pribadi yang cerdas intrapersonal bukan berarti lebih baik dari yang cerdas interpesonal, cerdas visual spasial lebih baik daripada kecerdasan kinestetik ragawi dan seterusnya. Kalau dikatakan seorang cerdas angka (smart number) adalah yang paling unggul, lalu kenapa aku kerap menemukan pribadi cerdas angka yang empatinya di bawah rata-rata? Ini sungguh memprihatinkan.
Selama beberapa bulan ini mempelajari standar sekolah formal dan menyaksikan bulir keringat ara guru mengolah dan mengikuti agar standar tersebut tercapai, aku jadi sering berpikir sendiri, ke arah mana arus ini akan bermuara dan sampai kapan akan seperti ini. Bukan sedikit guru yang mengeluh bahwa ia bukan lagi fokus pada perilaku, karakter, dan pemahaman murid, tapi kelelahannya mengurusi materi dan dokumen-dokumen yang harus dilengkapi untuk akreditasi, atau perangkat pembelajaran yang harus sesuai standar, membuat waktunya terkuras ke sana. Belum lagi target dari atasan bagi sekolah-sekolah unggulan yang sudah dicap dengan stempel akreditasi A.
Murid-murid sendiri, dalam hal ini yang memiliki kecerdasan akademik akan sangat membantu. Ia melengkapi kekosongan-kekosongan dokumen yang terlewatkan. Bagaimana dengan murid yang tidak memiliki minat di dunia akdemik? Tidak jarang mereka termarginalkan. Seharusnya mereka mendapatkan hak kesetaraan belajar, sayangnya sekolah dengan standardisasi semacam ini belum bisa merangkul anak-anak dengan kecerdasan di luar akademik.
Tujuan dibuatkan standar dan akreditasi ini memang sangat baik untuk meningkatkan mutu internal dan ekstrenal. Diharapkan pemenuhan standar ini akan membuat mutu pendidikan semakin meningkat. Semoga. Namun aku masih memimpikan sebagaimana sistem pendidikan di Finlandia yang mampu memberikan akomodasi bagi setiap kecerdasan yang ada.
Maafkan kalau tulisan kali ini kurang terpusat. Apa pun, aku tetap semangat dan menikmati segala proses sambil membersamai anak-anak menemukan bakatnya masing-masing. Indonesia sadar bakat! Temukan renjanamu sedini mungkin!