Judul di atas hanya sekadar judul, tak perlu sering-sering diamalkan. Sebenarnya ini bermula ketika saya harus ikut menulis spontan minimal 300 kata bersama murid-murid saya di Kelas Menulis Baitul Arqam. Kami mencoba memulainya dengan sebuah kalimat, “Saya hampir tak bisa melupakan hal yang membuat hati saya senang.” Jadi begini hasil melantur saya hari ini:
Saya hampir tak bisa melupakan hal yang membuat hati saya senang. Hari itu suami saya mengatakan akan membuang kantong penuh sampah ke kontainer besar di jalan menuju kota. Sudah hampir dua tahun kami tinggal di sebuah kompleks panti asuhan yang bisa dikatakan terpisah dari kehidupan masyarakat sekitar. Walaupun kami tetap bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat di kampung itu, tapi kompleks ini mempunyai aktivitas dan program-program khusus setiap harinya. Berkutat dengan hal-hal yang sama dan rutinitas di dalam asrama, terkadang membuat pikiran jenuh dan lelah. Walau tak lelah secara fisik, pikiran yang penat membuat kreativitas terhambat dan saya sulit bahagia, tentu saja kalian tahu apa yang saya maksud.
Kembali ke momen ketika mengiyakan ajakan untuk membuang sampah, saya yang belum mandi pagi ketika menggendong putri bungsu dan menggandeng tangan sulung saya, mereka masih berusia satu setengah tahun dan empat tahun waktu itu. Dengan cekatan, saya membersihkan wajah mereka dan memakaikan pakaian lengkap. Saya lupa apa saya mengoles krim bayi atau bedak seperti kebiasaan yang bisa saya ingat hingga kini.
“Cepat, kita akan pergi jalan-jalan!” ajak saya sambil membereskan sisa makan pagi dengan terburu.
“Kita akan ke mana, Bunda?” tanya anak sulung saya yang sangat suka bicara dan bertanya apa saja.
“Membuang sampah,” jawab saya pendek sambil mengenakan kerudung dan meloloskan kedua lengan ke kardigan longgar berwarna ungu.
Lelaki empat tahun itu mengernyitkan dahinya, mungkin dia berpikir untuk apa harus sebahagia itu kalau hanya sekeadar buang sampah. Saya tak menggubris wajah herannya karena harus sibuk dengan bayi kami yang sedikit rumit memakaikan sepatunya. Ia baru saja mahir berjalan, karena itu dia sering tak bisa diam.
Hari itu mobil kijang jantan tua yang dipinjam pakaikan untuk suami saya melaju pelan membelah jalanan. Kompleks panti asuhan yang kami tinggali berada di pinggir kota dan butuh sekitar lima belas menit kalau dia melaju dengan kecepatan 60 km/ jam. Saya merasa senang sendiri karena sebelumnya saya belum pernah berkeliling kota dengan keadaan yang belum mandi atau setidaknya memandikan anak-anak saya, mendandani mereka dengan pakaian terbaik, dan membedaki tubuh mereka agar tercium segar.
“Mau minum kopi?” tanya suami saya.
Saya lalu tertawa dan bertanya: “Dengan kondisi seperti ini?”
“Ya, apa salahnya? Kan tak ada yang tahu kita sudah mandi apa belum. Kita sudah berpakaian yang sopan.”
Saya menatap wajah saya di kaca spion dan benar yang dikatakan suami saya; bahwa tak seorang pun tahu saya dan anak-anak belum mandi. Suami saya memarkirkan mobil di sebuah warung kopi dan kami turun, mencari posisi duduk yang nyaman, memesan dua cangkir kopi dan beberapa camilan. Saya biarkan anak-anak memilih minuman cokelat hangat dan kami mulai menikmati jalan-jalan tanpa mandi pagi.
Ya, siapa, sih, yang peduli?
