cerita ceriti,  disleksia,  Just My Opinion,  my little angels,  my world,  Parenting,  Resensi,  Self reminder

Tetap Terhubung dengan Remaja

Biasanya selepas salat Subuh, Akib langsung pulang ke rumah dan lebih sering minta izin tidur sebentar dan minta dibangunkan pukul tujuh. Hari ini sudah pukul setengah delapan, Akib belum ada kabar setelah tadi pamit. Dia ke masjid bareng teman dekatnya, Ayuki. Mereka sudah bersahabat sejak kelas satu SD hingga sekarang di sekolah yang sama kelas satu SMK. Hanya saat Akib unschooling, mereka pisah kelas. Jadi, Ayuki sudah seperti anak kami sendiri juga, sudah tahu bagaimana karakter dan kebiasaannya.

Aku dan Akib terbiasa mendiskusikan hal-hal kecil yang terlihat sepele, apalagi sejak dia tinggal di asrama, aku merasa banyak perubahan yang terjadi, salah satunya usahanya untuk menjemput hidayah dan aku berusaha mencatat hal itu baik-baik sebagai progres yang menakjubkan. Walau dalam prosesnya kami tetap saja tarik ulur dan coba saling memahami. Mungkin hanya perasaanku saja, selama ini aku banyak mengulur untuk dunianya yang cukup berbeda dengan masa aku dulu, tentu saja aku tidak boleh terlalu keras menariknya dari pergaulan. Jadi, aku memang masih memberikan izin dia untuk mabar di waktu-waktu tertentu. Akib sudah meminta izin untuk hal itu. Atau terkadang ada beberapa gim yang dulu tidak kusukai kalau dimainkan Akib, terkadang, kuberikan izin juga. Karena pernah suatu kali saat kami saling cerita dan terbuka, Akib mengatakan dia tetap main gim ketika ada kesempatan, bahkan saat aku tidak menyetujui hal tersebut. Aku juga coba bertanya bagaimana perasaannya saat bermain dan setelahnya. Dalam batas-batas seperti apa yang dibolehkan. Ternyata memang lebih asyik bagi kami untuk saling terbuka dan berterus terang.

Pagi ini, aku mencoba meneleponnya karena tidak seperti biasa, dia belum kembali ke shelter-nya. Namun, tidak ada jawaban dari seberang, jadi aku mengirimkan pesan WA mengenai kekhawatiranku tentang apa yang dikerjakannya setelah salat Subuh. Bukan buruk sangka, tapi aku dan Akib belum pernah membicarakan tentang balap liar dan keinginan anak-anak seusianya untuk melakukan hal itu. Semacam terlewatkan karena aku juga tidak berpikir kalau dia suka mencoba tantangan tak baik itu.

Akib tertawa saat aku tanyakan apa dia ingin ikut-ikutan mencoba balap liar. Dia menjawab tidak mungkin dia ikut-ikutan untuk hal seperti itu. Aku katakan juga “siapa tahu pengen” dengan balas tertawa.

Tentu saja Akib tahu aku tidak sepermisif itu saat mengatakan siapa tahu dia juga ingin dan aku juga yakin dia tidak suka. Hanya saja kemarin saat menemani Faza latihan memanah, aku kembali melihat anak-anak remaja itu ramai di jalan Malikussaleh Lhong Raya. Dengan berbagai merk sepeda motor dan membawa bendera-bendera tak jelas, apa itu bendera komunitas mereka atau apa, aku juga tidak sempat memperhatikan. Mereka mulai lagi ngebut di jalanan yang termasuk sepi saat pagi. Bahkan ada salah satu yang terjatuh saat mencoba beratraksi. Kemarin aku lihat ada mobil patroli polisi yang mengamankan, beberapa polisi juga mengejar dengan motor, mungkin itu justru membuat mereka merasa semakin gagah.

Jadi, setiap pagi, ada saja kelompok atau beberapa orang anak muda yang melakukan aksi balap liar di sana.Bagaimanapun aku sedang menikmati masa-masa indah kami sebagai sahabat saat ini. Dulu, ketika melihat anak remaja yang ringan tangan membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah, aku selalu terenyuh, acap kali takjub dalam hati, apa aku kelak bisa mendidik anak menjadi rendah hati dan penyayang serta punya inisiatif membantu orang tuanya?

Aku ingat saat Akib jelang pre balig, aku tetap berusaha semangat belajar mengenai pengasuhan remaja. Aku ingin tetap menjaga semangat itu hingga hari ini, sebab pekerjaan ini akan aku lakoni seumur hidup; pekerjaan menjadi orang tua.

Sahabatku, Bu Ulfa, waktu itu mengajakku membeli buku Bu Diah Ningrum, M. Ed. Penulis yang juga seorang praktisi Brainspotting Practitioner (psikoterapi dengan pendekatan neurobiologis). Agak ragu apa aku bisa mengamalkan teori-teori yang dipaparkan Bu Diah dalam buku tersebut, karena hidup sebagai ibu memang seperti sedang naik korsel, kadang di atas, kadang di bawah, naik turun dan terus berputar bergerak. Banyak hal yang tidak terduga, di luar ekspektasi kita dan tak jarang membuat kita terkejut. Namun, aku masih meyakini bahwa buku bisa jadi teman baik, bisa menjadi referensi yang tepat untuk berbagai situasi. Dalam hal ini, buku bukan sekadar jadi hiburan, tapi juga menjadi teman berpikir dan belajar.

Akib kembali ke rumah tak lama setelah pesanku terkirim. Dia muncul dari balik pintu setelah mengucapkan salam, tersenyum geli dengan pertanyaanku di WA tadi. Aku juga balas tertawa sambil mengelus rambutnya. Dia mengulang pernyataan “Mana mungkin Akib ikut begituan, Bunda. Tadi agak lama, Akib hunting foto.”

“Iya, maafkan Bunda, ya.”

Perjalanan pengasuhanku tentu belum usai, tetapi sejauh ini Allah membantuku dengan memberikan banyak kemudahan. Untuk membarengi remaja, kita butuh komunikasi yang efektif. Cara kita berkomunikasi sangat besar pengaruhnya untuk kelekatan hubungan dengan anak.

Dalam bab kedua buku Bu Diah Ningrum, Always Online, nyambung Terus Hubungan Orang Tua dan Remaja, ada membahas prinsip dalam hubungan orang tua dan remaja agar dapat selalu TERHUBUNG-TERBUKA-TERARAH.

Saat membarengi masa remaja anak kita, hubungan dengan pasangan pun juga harus kompak. Aku juga banyak menurunkan ekspektasi dan menggantikannya dengan doa-doa kebaikan yang lebih intens. Belajar menerima dan lapang dada. Setiap kali ada keinginan untuk ‘nge-gas’ aku mencoba mengendalikannya dengan arus kesadaran dan kembali ikut mendengarkan.

Memang terkadang ada masanya khilaf. Saat kesepakatan yang sudah kami setujui dilanggar, aku pernah juga menyampaikan kekesalanku dengan cara marah-marah, lalu Akib juga membalas dengan nada tinggi. Saat itu lekas-lekas aku sadar dan sebelum terlambat mencoba diam dan pergi menenangkan diri. Kalau kejadian sudah seperti itu, biasanya kami berlomba meminta maaf.

Antara menerima (acceptance) dan menolak (rejection) ini kurasa sangat memengaruhi perkembangan emosi anak dan juga perilakunya. Jika kuperhatikan, semakin banyak penerimaan, semakin mudah untuk menjalin komunikasi dan kesepakatan di antara kami.

Untuk tantangan perubahan sikap, saat ini aku sedang berurusan dengan Biyya, gadis kecilku yang beranjak remaja. Dia juga mengaku bingung dengan perasaannya sendiri. Ada beberapa perbedaan di masa-masa jelang akil balig ini antar Biyya dan Akib, jadi membarengi remaja memang butuh banyak amunisi. Tidak ada orang yang suka diceramahi, terlebih lagi remaja, jadi peran seni berkomunikasi juga sangat dibutuhkan di sini agar prinsip terbuka, terhubung, dan terarah bisa ditanamkan dalam hubungan orang tua dengan remaja.[]

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *