my world

To Be A Good Mother

“Bunda dari tadi kerja, Biyya nggak ada teman main!” Protes putriku yang berusia sepuluh tahun.

Ternyata aku ‘bekerja’ sekarang. Entah ini bisa disebut pekerjaan dan aku digelar working mom atau ini sekadar pembunuh waktu.

 Usiaku 36 tahun sekarang, aku adalah seorang dokter hewan yang membelot dari sumpah profesi. Alasan utamaku tidak terjun di bidang veteriner adalah untuk tidak menjadi egois dan kekanakan.

Dulu, ketika masih kelas lima SD, aku berpikir setelah dewasa, aku akan menjadi ‘Dokter Sayang’. Sebuah cerita fabel mengenai seekor landak yang sangat filantropis dan suka membantu mengobati hewan yang sakit di hutan. Ia berprofesi sebagai seorang dokter, tentu saja dokter hewan.

Kesukaanku menonton film-film dokumenter National Geographic Wild dan membaca majalahnya ketika itu, menambah gagah sosok dokter hewan di mataku. Betapa dunia membutuhkan banyak profesi yang pemberani seperti itu. Para relawan konservasi hutan, pelindung satwa langka, dan penyelamatan ekosistem dunia. Atau seorang praktisi yang menangani hewan-hewan domestik dan eksotik nan lucu.

Kemudian aku menikah dan menjadi ibu. Bacaanku tentu berganti, pola pikir kita sangat dipengaruhi oleh bacaan dan lingkungan sekitar kita. Aku membaca banyak buku parenting di sela-sela menyelesaikan skripsi dan penelitian, karena aku menikah di semester ketujuh saat itu. Masih dengan semangat yang sama sejak dulu, aku juga menyelesaikan koasistensi dan menjadi kandidat dokter hewan satu-satunya dengan predikat sangat memuaskan di antara 40 kandidat lainnya. 

Entah kenapa aku gemar sekali memegang teguh prinsip dan membentur-benturkannya hingga membuat polemik dalam diri sendiri. Bahasa sederhananya, aku suka nyusahin diri sendiri. Lunak terhadap orang lain tapi cukup keras untuk diri sendiri. Seorang perfeksionis.

Aku ingin menjadi seorang dokter hewan profesional, tapi mengabaikan anak yang usianya baru saja genap dua tahun adalah dilema tersendiri. Aku jelas harus menjatuhkan satu pilihan, melamar pekerjaan serta membuka praktik mandiri sesuai dengan profesiku atau fokus membesarkan buah hati. Akhirnya aku memilih fokus membesarkan buah hati lebih dahulu, untuk cita-cita masa kecil masih ada kesempatan di lain waktu, agar tak percuma pula aku menikah di usia muda, pikirku.

Aku kembali menekuri kegemaranku membaca dan menulis, semakin banyak membaca, semakin aku gatal ingin menulis. Suami melihat aku berbinar setiap kali melakukan dua aktivitas ini yang kurasa bagian dari the art of story telling. Walau sampai kini aku tak mahir mendongeng, tapi aku suka bercerita berbagai topik pada anak dan suamiku. Mencari tahu hal baru dan mempraktikkannya bersama, lalu aku menuliskannya dalam jurnal harianku di blog.

Kecintaanku menulis terus bertambah ketika ada peluang-peluang menerbitkan buku, seminar, pelatihan, dan diskusi menulis. Seorang teman mengatakan tabiatku yang sering sekali mengalami de javu itu akan memudahkan aku belajar sesuatu yang baru.

Aku kembali terlempar pada kenangan masa kecil, ketika kakak-kakakku sering sekali membelikanku buku bacaan dan buku diari. Abak dan Pak Tuo punya banyak koleksi buku yang tidak pernah habis kubaca. Aku ingat dulu aku pernah membaca The Adveture of Tom Sawyer yang ditulis Mark Twain hingga tuntas, lalu buku-buku Enid Blyton seperti Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, novel detektif Agatha Christie dan Sir Arthur Conan Doyle. Malah buku Cak Nun yang berjudul Slilit Sang Kiai kala itu kubaca saat masih duduk di bangku SD. Karya besar Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin yang belum kumengerti sama sekali, atau Tafsir Al-azhar-nya Buya Hamka. Aku berpikir, tentu karya-karya itu ditulis bukan sekadar disalin dari satu manuskrip ke dalam lembaran-lembaran kertas. Aku pun ingin menulis seperti itu.

Ketika keinginan itu hadir, aku kembali pada prinsip sepenuh jiwaku. Jangan setengah-setengah, maka aku berguru mencari maestro dalam bidang ini. Aku bergabung di sebuah komunitas menulis, menemui Kak Beby yang buku-bukunya sudah terbit di penerbit mayor Indonesia.

“Teruskan, Ain, kayaknya berbakat, nih,” begitu kata Kak Beby yang membuatku melonjak gembira. Teh Eno seorang editor buku pun menyukai satu naskahku yang disertakan di giveaway yang dibuatnya, “Pertama baca, aku langsung suka,” akunya. Tulisan yang bertemakan ibu itu menjadi buku antologi pertamaku yang ditebitkan di salah satu penerbit mayor dan membuatku semakin serius menekuni dunia menulis.

Teori pendidikan populer menyebutkan, ilmu itu akan semakin dimiliki ketika kita mengajarkannya pada orang lain. Ketika ada kesempatan untuk membagikannya, maka jarang sekali aku berpikir panjang dan menundanya. Akhirnya aku menjadi mentor menulis di sebuah sekolah swasta yang memiliki program unggulan jurnalistik. Di tahun berikutnya, sesuai dengan jam terbang, aku memberanikan diri menerima tawaran di tempat lain pula.

Di tempat aku belajar, aku berkenalan dengan seorang jurnalis senior di Aceh. Awalnya dulu ia juga produktif menulis buku, tapi belakangan banyak buku yang datang untuk disunting dan membuatnya lebih fokus menjadi editor. Belajar darinya, aku pun mencoba naik ke makam ini perlahan, hingga akhirnya aku disibukkan dengan seabrek-abrek naskah dan deadline. Akhirnya aku bekerja.

  Selama aku belajar dan mengampu kelas menulis, aku harus membereskan urusan domestik lebih dulu. Seperti prinsip yang kugenggam tadi, aku ingin menyertai anak-anak dalam tumbuh kembangnya. Selama bekerja, aku berusaha menyiasati bagaimana caranya tetap bisa membawa ‘ekor’. Sebelum anak-anakku memasuki usia sekolah, biasanya aku menemani mereka bermain.

Di tempat aku belajar, aku juga sering kali membawa anak yang paling bungsu. Tentu saja dengan memperhatikan sikon, kalau kondisinya tidak memungkinkan aku tetap memilih anak lebih dulu. Kebetulan suamiku memiliki jam kerja yang cukup fleksibel dan menungkinkan kami untuk bergantian menjaga anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, aku tak lagi sekaku dulu. Memberi pengertian kepada anak-anak mengenai jam kerja dan apa yang kulakukan selama itu, sangat membantu menyelaraskan hari-hari kami. Kami juga mencoba bersinergi berbagi tugas dengan anak-anak yang kini beranjak besar.

Mereka memang tetap butuh perhatian, apalagi di usia jelang balig, lalu pekerjaanku yang juga memiliki tuntutan tertentu seperti bolak-balik mengecek surel, membuat bahan ajar; merekap nilai; kalau ada orderan menyunting terkadang harus kejar tenggat waktu, tak peduli apakah itu weekday atau weekend, sedang bersama anak-anak atau memang sedang bersama teman kerja, seringkali aku harus fokus berkutat dengan piranti dan aksara-aksara di dalamnya.

 “Maaf Biya, Bunda harus selesaikan rekap nilai kakak-kakak dulu, Biyya kan sudah bisa membaca, jadi baca buku aja dulu sendiri, ya,” terkadang begitu bujukku untuk putri tengahku. Lain lagi dengan si bungsu yang rewel minta diperhatikan, sementara aku baru saja meluruskan badan beberapa detik yang lalu, “Akib, cobalah bujuk adiknya main Lego atau puzzle,” pintaku pada si sulung.

Barangkali si sulung pula yang protes keras tidak jadi jalan-jalan di Minggu pagi karena aku harus duduk manis menyelesaikan editan. “Masa hari Minggu pun harus di rumah?”

“Jadi, apa Akib tetap keukeh ke laut? Tapi janji tidak protes kalau Bunda nanti tidak bisa mandi atau main air dengan kalian, ya? Ikhlas ya, kalau Bunda selesaikan pekerjaan Bunda di sana?” negosiasi semacam ini seringkali harus kulakukan.

Seiring waktu aku tak lagi seperti dulu, berkelindan dalam asumsi-asumsi pribadi yang membuatku selalu dalam rasa bersalah menjadi ibu yang tidak baik bagi anak-anakku. Ibu yang tak pernah maksimal memberikan waktu dan perhatiannya untuk buah hatinya sendiri. Ibu yang bertanggung jawab dengan tugas keibuannya. Ibu yang bukan sekadar ada, tapi juga hadir dan terlibat dalam aktivitas anak-anaknya, bisa menemani dan memprioritaskan anak-anaknya setiap hari, setiap waktu. Ibu yang menyiapkan makanan sehat bergizi tiga kali sehari, menyeduh kopi suami setiap pagi.

Namun, aku merasa sebenarnya tidak ada yang disebut standar-standar untuk menjadi ibu yang baik, Segala pakem yang sesungguhnya kita sendirilah yang menciptakannya dan menganggap itu suatu keharusan yang tak boleh dilanggar. Kurasa aku, suami, dan anak-anak sudah selesai dengan hal-hal semacam itu dengan komunikasi yang tuntas.

“Bunda, sedang mengetik apa? Bunda bikin cerita, ya? Mengedit itu apa?”

“Bunda, buat cerita tentang Biyya, dong!”

“Biyya juga mau menulis kayak Bunda. Tolong ajarin Biyya, ya!”

“Bunda, kalau kerja seperti itu dapat uang juga, ya? Enak sekali, Akib juga mau!”

“Bunda mengajar di mana? Ayo, mengajar ke sekolah Akib juga.”

“Bunda sedang kerja, ya? Nanti selesai itu tolong bacakan Faza buku yang ini, ya!”

Sampai suatu ketika putriku Biyya mulai meniru apa yang kulakukan. Rutin membaca buku jelang tidurnya dan menulis jurnal harian kadang-kadang. Ia juga minta supaya tulisan-tulisannya dibaca dan meminjam laptopku saat aku senggang. Ia mulai merangkai aksara dan memintaku mengirimkan hasil karyanya ke media. Ketika dimuat, keriangannya tak mampu ia tutupi.

Begitu juga dengan prinsipku mengenai totalitas. Walau saat ini aku sudah memutuskan untuk menekuni dunia menulis, aku tak mesti harus jadi yang terdepan dan menargetkan pencapaian-pencapain besar. Menjadi penulis best seller, mendapatkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, mewakili penulis Indonesia dalam event internasional, dan segala puncak-puncak pencapaian sebagai penulis ataupun pegiat literasi. Cukup sebagai modal untuk membuat hidup jauh lebih berarti, menjadi cahaya sekaligus kehangatan dalam rumah sendiri. Sederhana saja, aku ingin jadi inspirasi bagi anak-anak dan keluarga.

Terkadang aku iseng bertanya, “Senang nggak, Bunda bisa menulis?”

“Senang, dong, kan Bunda bisa dapat uang!” jawab si sulung yang memang sudah paham kebutuhannya akan uang.

“La, kalau ternyata Bunda nggak dapat uang dari menulis tadi, bagaimana?” tanyaku lagi.

“Yah, nggak apa-apa, deh, yang penting dapat ilmunya. Kaya kan, bukan cuma banyak uang… ” jawabnya pula.

Terakhir, aku jadi ingat yang dikatakan Elder M. Russel Ballard, “There is no one perfect way to be a good mother. Each situation is uniqe. Each mother has differents challenges, different skill and abilities, and certainly different children… What matter is that a mother love her children deeply.”[]

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

2 Comments

Leave a Reply to Haya Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *