cerita ceriti,  my world

Perjalanan ke Pulau Banyak (part 1)

 

Kami berniat memesan ferry hari Jumat yang kabarnya akan berangkat pukul 14.00, tapi berhubung tiket belum ada di tangan dan pembeliannya juga harus langsung ke pelabuhan tersebut, jadi kami berangkat dari rumah pukul 10.30 menuju pelabuhan Singkil. Berangkat dengan rombongan berjumlah 19 orang dengan Faza yang berusia 2,9 tahun. Biaya tiket masing-masing Rp. 27.000 termasuk Faza juga hari itu. Kalau dengan kapal nelayan Rp. 25.000. Karena kami bawa anak-anak dan juga tidak terburu-buru pulang dan perginya, mana dengan ibu-ibu juga, amannya naik ferry saja pulang pergi. Suasana liburan, kapal memang ramai tapi nggak padat seperti balik nanti. Semoga sempat kutulis sampai tuntas sekali duduk.

suasana di ferry. Faza bercengkrama dengan Uncunya.

Berangkat dengan cuaca cerah, kami duduk di kelas ekonomi dan dapat bangku seluruhnya alias tidak ada yang duduk di dek luar atau lantai kapal seperti penumpang lain yang telat naik. Berlabuh di Pulau Balai kurang lebih pukul 7 malam dan singgah di rumah kenalan Mande (adik ayah) nggak jauh dari pelabuhan. Pulau Balai ini tempat transit kalau mau menuju gugusan pulau lainnya. Kami tiba di sana langsung disambut sunset yang aduhai Masya Allaah. Seketika gurat lelah kami bertukar senyum sumringah dan tawa merekah. Aku yang kelelahan dengan tiga anak-anak tidak siaga kamera, tapi ada ponakan dan adik yang siap dititipi kamera. Tapi yang paling penting itu sudah terekam melalui lensa mata. Nnyyeeessss….

photo credit : @abetehaael hiks, nggak sempat pegang kamera, genkz!

Langsung menuju penginapan dan bersiap untuk istirahat. Sebagaimana kebiasaanku begitu sampai langsung mandi dan ganti pakaian. Eun Yud dan anak-anak juga begitu, kecuali Akib yang rada hydrophobia, hahaha. Segitunyaa, iya tapi dialah yang nggak mandi malam itu, keluarga inti lainnya mandi dan bertukar pakaian. Tiba-tiba adikku bilang kalau sebaiknya jangan mandi dulu karena baru tiba di Pulau lain dan bertukar cuaca, nanti bisa sakit dan kalau sakit di Pulau Banyak jangan pulang dulu sampai sembuh. Duh, repotnya. Makanya sebaiknya nggak mandi dulu. Itu juga petuah dari orangtua di Pulau ini. Haiiih.. sudah telanjur dan karena rasanya pengen salat dan tidur, jadi mandi dulu, begitu pikirku. Ya, sudah. Tapi alhamdulillaah qadarullaah kami sehat sampai tiba lagi ke Rimo dan Banda Aceh.

rumah yang kami sewa di Pulau Balai

Mande dan teman-temannya salat isya di masjid yang tidak jauh dari rumah yang kami sewa dua hari. Rumah 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi itu disewakan Rp. 1 juta untuk kami berdelapan belas. Hm, Sembari menyapa warga sebelah juga dan mencari info tentang warung atau penjaja nasi yang bisa kami order untuk sarapan besok. Eh tapi terdengar kabar kalau satu porsi di sini Rp. 20.000 dengan lauknya telur. Mahal bingiiiit. Sedang jalan balik pulang ada ketemu ibu lain yang memang berjualan nasi di rumahnya. Sepertinya limited dan satu porsi hanya Rp. 7000, tinggal sekitar 16 bungkus lagi lalu Mande beli semuanya, digratisin pula satu bungkus lagi, langsung deh, Mande memesan nasi buat besok pagi dengan harga yang sama per porsi.

Esok pagi yang sedang salat pada jamaah subuh ke masjid, yang laki-laki sudah pulang yang ibu-ibu belum kelihatan lagi. Balik ke rumah sekira pukul 7.30 membawa beberapa sisir pisang barangan yang konon katanya satu sisir Cuma Rp. 5000. Hahaha… emaaak langsuung boroong. Aku nggak kepikiran yang penting ini anak terurus ketiganya, terutama Faza yang aku awasi betul suhu tubuh dan asupan makanannya. Madu plus air hangat sebelum tidur malam dan bangun subuh tadi, sebab malamnya dia agak susah tidur.

Baiklah, kalau cerita si krucil nggak baakalan siap, nih. Pagi subuh udah ingat kalau 1st July is our wedding anniversary. Yihaa, alhamdulillaaah. Masih dikasih kesehatan dan kebersamaan, plus anak-anak ini. Pukul 8 kami sudah siap-siap naik ke boat yang biasa disebut di sini dengan Robin. Sebenarnya merk generator penggerak boat tersebut. Di Pulau Banyak sedang ramai pengunjung dari Medan juga, kami kebagian kapal kecil satu, satunya lagi ada atapnya dan kapasitasnya lebih banyak. Muat 10 orang dewasa dan Faza. Kami menyewa dua boat tersebut Rp 1 juta tidak dengan pelampung dan 9 alat snorkeling. Padahal cerita punya cerita, ada boat lain yang langsung menyediakan pelampung, kalau alat snorkle memang menyewa, sih. Hm kemarin satu set Rp. 50.000,.

Perjalanan ke Pulau Palambak lancar jaya, cerah dan air pun landai dan tenang. Beberapa view yang sempat terekam di Palambak.

Ada beberap cottage dan satu café di Palambak. Dua kamar mandi yang lumayan bersih. Sayang aku nggak sempat tanya sana sini mengenai tarif sewanya yang sempat kami Tanya kalau sekedar duduk dan berganti pakaian ke dalam boleh kah? Jawab penjaganya boleh saja gratis. Tapi belum sempat mandi atau snorkle tiba-tiba awan pekat sekali. Kapten kapal kecil meminta kami kembali naik dan menuju Pulau Rangik yang ada menara marcusuarnya.

“Bang, kalau memang hujan gini, kenapa kita nggak tunggu reda aja baru ke rangik?” Tanyaku saat itu dengan bahasa lokal kepada Kapten Kapal kami.

“Jangan Kak, kalau nunggu reda lama ini. Kakak juga bawa anak, sayang nggak terkejar pulang nanti.”

Demi melihat gelayutan awan gelap dan air laut yang mulai beriak aku membatin. Besok pagi pun bolehlah balik ke Pulau Balai asal jangan saat badai. Lagipula di Pulau Palambak ada orang yang tinggal, tidak seperti Pulau Rangik kecil yang sepi tadi. Tapi seperti biasa aku nggak mau lebih sok tahu dari Pak Kapten yang sudah yakin mengangkat sauhnya. Tidak mau cerewet.

Aih, sauhnya tersangkut setelah coba ditarik Eun Yud dari kapal. “Bang, Tarik kuat sikit. Tarik lagi!” kata Sang Kapten kapal. Eun Yud bilang itu terlalu keras dan kami dalam boat menatap langit yang mulai menangis. Sang Kapten membuka oblongnya dan nyebur ke dalam melihat apa yang salah dengan sauh kami. Ia kembali ke atas dengan sauh dan tangan kiri yang luka. Memasang kembali pakaiannya dan menghidupkan mesin boat. Dari Pulau Palambak terdengar panggilan menanyakan pelampung siapa yang ketinggalan, Sang Kapten bilang “Alalah, selamatkan sajo dulu.” Maksudnya ya sudah, simpankan saja dulu.

Karena terburu-buru, kami sekeluarga gak sempat foto di sini. Si ponaan yang kreatif ini sudah bolak balik ke Palambak. Namanya Fairuz, atau Ayus panggilan di rumah.

Betulan di tengah laut badai datang. Kapal kecil satunya sudah balik ke Pulau Palambak, tidak terlihat lagi ketika kami melongok ke belakang.

“Bang, boat satu lagi mana?” Kak Fitri bertanya dengan cemas.

“Nggak apa-apa, Bu. Orang tu balik lagi ke Palambak. Boatnya lebih kecil.” Dalih sang Kapten.

Aku haqul yaqin saja, melihat wajah Kapten yang masih datar saja membuatku ikut tenang. Dalam hati tetap pasrahkan semua pada Allah dan berprasangka baik. Masih optimis ini akan baik-baik saja. Kami sudah mengucap tahlil, tahmid, ada yang dalam hati ada juga yang kedengaran langsung. Biyya sudah mulai pucat ketakutan dan menangis. Faza jadi ikutan bilang, “Bunda takuut!” sambil terus memelukku. Aku berusaha tetap tersenyum dan menenangkan. “Adek bobo aja ya, Bunda peluk.” Yang lain membujuk Biyya supaya lebih tegar dan berzikir.

Biyya mulai ikut mengucapkan “Laa ilaahaillallaah” berkali-kali. Air laut menampar-nampar wajah kami. Tas dan seluruh pakaian basah, lekas kukeluarkan kain sarung dari tas dan menyelimuti Faza, walau ya sama saja kuyup pada akhirnya. Entah berapa lama kami terombang ambing dihempas badai, serasa satu harian padahal mungkin sekitar satu jam-an saja.

Menara mercusuar Pulau Rangik mulai terlihat, aku baru bisa angkat bicara “Bu, itu menara… tenang Bu, sudah dekat.” “Bang, pernah merasakan badai yang lebih dari ini, kan?” tanyaku pada Kapten masih dalam Bahasa lokal dengan wajah serius. “Iyolah.. panah! Acok!” jawabnya lugas bahwa dia sudah sering menghadapi yang lebih ganas lagi. Oke, hatiku mulai tenang lagi.

Hempasan ombak kembali ganas, aku merujuk pada wajah Sang Kapten ternyata kemudi melonggar, entah busi yang basah, entah apa.

“Omak, longgar kemudinyo!” keluhnya bersamaan dengan mematikan Robin.

Deg! Untuk pertama sekali aku panik sejak nyaris satu jam ke belakang aku yang paling tenang. Gadis-gadis belasan tahun yang di moncong perahu sudah sejak tadi menjerit memanggil ayah ibunya. Kali ini Bu Rodhiah yang level cemasnya meningkat. “Ya Allaaah, gimana ini Baaang?” kak Fitri mulai bertanya banyak hal. Situasi di perahu kian kelam dengan aura kecemasan yang kental.

“Bang, tolong ambilkan kunci?” perintah Kapten kepada Eun Yud melaui aku dan kak Fitri yang di dekat mesin. Hal-hal heroik seperti turun ke lambung perahu dan mencari kunci yang dimaksud Sang Kapten tak bisa kulakukan karena Faza dalam dekapan.

Kak Fitri setengah berteriak menjawab. “Kunci yang mana Bang? Nggak ada kuncii!” padahal yang dimaksud adalah kunci Inggris bukan kunci-kunci yang seperti ibu-ibu bayangkan. Kunci itu setengah berkarat bergelantung di paku yang ditancapkan di samping mesin. Tepat di sana. Semua kemudian memandang Eun Yud barangkali lelakilah yang lebih paham. Mulutku terkunci dikatup cemas yang naik ke kepala. Sang Kapten paham Eun Yud yang tepat di ujung moncong tidak mugkin menuju lambung perahu dengan kondisi mesin mati dan rawan digelung ombak. Bergerak pun sulit.

Sang Kapten memanjat tepian perahu dan kembali ke lambung kapal untuk meraih kunci. Berhasil menggenggam kunci dan kembali mengeratkan baut yang longgar. Ia kembali ke bangku kemudi dan menghidupkan mesin Robin. Perahu kembali stabil dan aura kecemasan terbang bersama badai. Terutama aku yang tepat di depan hidung Sang Kapten. Selama perjalanan aku menyelami matanya, membaca situasi dari sana. “Aman alah iko kak, aman!” Tanpa ditanya ia memberikan jawaban, kata-kata itu kulanjutkan ke depan. “Sudah amaan, Buu!”

Kemudi diarahkan ke Pulau Rangik, menara mercusuar kian jelas menjulang di hadapan kami, tapi terjadi sekali lagi saat nyaris berlabuh. Robin mati lagi dan kembali Kapten mengencangkan baut kemudi. Aku tak lagi secemas tadi karena tahu sebab mesin dimatikan dan kalaupun harus terbalik perahu ini, ada yang akan berenang ke Pulau Rangik menarik Faza Biyya dan siapa saja yang tidak bisa berenang. Arus yang kusaksikan berputar di tengah tadi tak lagi tampak. Tapi ternyata aura kecemasan masih bergelayut di hati ibu-ibu dan juga Mande tentunya. Asmaul husna yang mereka lantunkan kian menderas, gadis-gadis di depan masih meraungkan tangisan ketakutan. Pemilik nyawa, akankah mengambil apa yang dipinjamkan selama ini?

Ffuuiih! Agak lelah nulisnya. Kata Akib di sampingku. Lanjut episode kedua.. hahaha.

lanjutannya di sini

Tapi sebelumnya saksikan dulu sunset berikut. Hehehe…

Photo Credit: Hany

 

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

18 Comments

Leave a Reply to yelli Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *