my world

Hikayat Abdul

Abdul bungah di keriangan pagi. Suara perenjak berkicau senang. Hari ini tepat dua minggu proyek ruko Dollah, seorang pengusaha yang beberapa bulan lalu dikenalnya, baru saja selesai. Tukangnya tidak sedikit, mereka ada selusin. Karena Dollah akan membuat outlet baru usaha kulinernya.

“Bdul, nanti kamu datang saja ke alamat ini, namanya Pak Dollah, sedang mencari tukang bangunan juga. Orangnya royal. Ini kukasih nomor teleponnya, ya.”

Dengan sedikit menyipit, Abdul mencoba memindahkan angka-angka yang disodorkan Rahiyun melalui ponselnya. Ponsel Abdul masih jadul, jadi ketika ia coba menyalin, terdengar tit..tit…tit… suara tuts ponselnya.

“Rosmi, alhamdulillah Abang dapat tawaran bagus, tapi memang harus ke kota selama dua minggu, Abang tinggalkan duit 500 ribu untuk kamu dan putri kita. Katanya ongkos ke sana akan ditanggung Pak Dollah, gajinya dua juta! Bayangkan dua minggu saja dua juta!”

Sudah dua hari Alifah, putri mereka, demam. Sudah pula dibawa ke puskesmas tapi tak kunjung sembuh. Inginnya Abdul membawa putri semata wayangnya itu ke dokter praktik, atau malah ke spesialis, tapi ia takut tak bawa uang cukup.

Hari ini ia akan ke rumah Dollah. Pekerjaan sudah rampung, Abdul tidak punya nomor rekening yang bisa diingatnya. Dia punya satu nomor, tapi memang sudah lama sekali tak terpakai, pun entah di mana sudah keberadaan buku tabungan yang isinya hanya tinggal Rp50.000 itu. Jadi, dia akan mengambil gajinya secara tunai ke rumah Dollah.

Di perjalanan ia sudah membayangkan lembaran uang berwarna merah sebanyak dua puluh lembar. Sedikit akan dibelikannya oleh-oleh, dipakai untuk ongkosnya pulang ke kampung, selebihnya bisa dibawa pulang untuk berobat Alifah ke dokter terbaik di kampungnya. Oh, kelebat bayangan wajah istri dan anaknya membuat hatinya semakin membuncah senang.

Turun dari becak, ia perlu lagi menyeberang karena salah turun. Namun tak mengapa, saat ini kalau disuruh pulang berjalan ke kampungnya pun dia merasa sanggup. Hatinya sedang senang.

Ckiiiiiiiit! Suara rem mendecit keras.

“Bapak tua bodoh!” Hardik pengemudi mobil. Ia terlalu terlambat memberhentikan laju mobilnya dan menabrak telak Abdul. Tubuh ringkih Abdul terlempar ke trotoar.

Dalam keadaan sekarat terngiang ceramah seorang ustaz di pengajian masjid kampung yang dihadiri Abdul, “Adalah salah satu jihad fi sabilillah bagi seorang suami yang menafkahi istrinya, meninggalnya juga digolongkan sebagai syuhada…”

Abdul ingin tersenyum, tapi selanjutnya muncul dua wajah orang terkasih yang sedang menunggu dalam keadaan perut yang kempis. Senyum Abdul berganti dengan kepiluan yang dalam. Hingga jasad terpisah dari raganya.

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *