cerita ceriti,  Just My Opinion,  my little angels,  my world,  Parenting,  Self reminder

Gawai di Tangan Anak Kita

Usai debat capres, media sosial heboh seperti biasa, walau sudah memasuki masa tenang, tapi hiruk pikuk netizen tak pernah surut. Kali ini tentang prokontra mobile gaming. Satu pihak mengatakan presiden perlu up to date mengenai ekonomi digital, lainnya mengatakan hanya satu persen orang yang sukses di bidang game online, sisanya justru rusak dan butuh terapi penyembuhan. Minggu lalu, ramai pula kasus pemberitaan siswi SMP yang menjadi korban perundungan siswi SMA, walau tidak mempelajari kronologis kasus dengan saksama karena sebagai orang tua yang memiliki anak dengan usia yang sepantaran korban, rasanya sudah tak kuat hati membaca berita semacam itu, terlalu menyesakkan dada. Dari komentar kawan-kawan di grup Whatsapp saja, sudah bisa dibayangkan betapa peristiwa tersebut memiriskan hati dan membuat mata enggan terpicing mendapati bahwa itu adalah fakta di depan mata. Sudah saatnya berhenti menutup mata untuk tidak peduli atau hanya mengutuk pelaku yang notabene juga masih berusia belia. Sekarang saatnya melakukan apa saja yang mampu kita usahakan sebagai tindakan preventif agar ke depan peritiswa ini tak lagi ada berulang. Memulai segalanya dari hal terkecil, unit terkecil dari sebuah masyarakat yaitu keluarga inti, tentunya bisa mencegah hal buruk terjadi pada anak-anak bangsa dan kita bisa memulainya dari sekarang di rumah dan lingkungan terdekat kita.

Batasi Penggunaan Gawai untuk Anak

Sekilas kemarin terbaca di berita bahwa awal kasus Audrey bermula dari saling berbalas komentar di media sosial, maka hal pertama sebagai tindakan preventif yang kita lakukan adalah membatasi penggunaan telepon pintar bagi anak. Jamak kita saksikan saat ini anak-anak usia SD sudah memiliki ponsel pintar milik pribadi, membuat akun media sosial yang bisa diaksesnya sendiri tanpa rutin diawasi oleh orang tuanya. Yang lebih mencengangkan, orang tua juga tak keberatan mengisikan paket internet super kencang untuk anaknya dengan alasan untuk hiburan setelah penat belajar di sekolah. Ada pula dalih sebagai alat komunikasi dengan orang tua menjadi alasan lainnya memberikan gawai dengan akses internet untuk anak remajanya. Membatasi penggunaan gawai ini menjadi tindakan pencegahan utama untuk kasus-kasus perundungan mulai yang kecil hingga yang fatal seperti yang marak diberitakan belakangan ini. Apalagi anak-anak dengan mudah mendapatkan role model tindak kekerasan dari gim dan tontonan-tontonan tidak mendidik dan penuh dengan konten kekerasan.

 

image source:: arwini.com

 

Memberikan Edukasi dan Pengertian Kepada Anak

Usia beranjak ke dewasa muda dengan rasa ingin tahu yang tinggi, membuat anak seringkali sangat tajam dan kritis. Selaku orang tua atau orang dewasa, adalah mutlak memberikan pengertian mengapa ada waktu tertentu untuk bisa mempunyai akun media sosial sendiri dan kapan sebaiknya mengaksesnya, apa saja yang boleh dilihat, apa yang harus dilakukan jika membaca hoaks dan menonton konten tidak baik. Jika sekadar melarang belum tentu memberikan dampak baik, mengingat mudahnya generasi digital native ini mendapatkan akses internet, mereka bisa mengkasesnya di luar rumah dengan bantuan gawai temannya. Buka dialog seluas-luasnya dengan anak saat memberikan ia pengertian mengenai waktu pemakaian gawai.

 

Mendampingi dan Membersamai Anak Tanpa Harus Marasa Dikekang oleh Orang Tua

Dirasa tak cukup sekadar memberikan pengertian dan pemahaman secara menyeluruh, kita selaku orang dewasa tidak dapat menakar sejauh mana pengertian yang mampu dipahami oleh anak, jadi membersamai dan mendampinginya dengan seni tertentu adalah cara lain untuk mencegah dampak buruk ke depan. Kita tak bisa lantas kehilangan tali kekang dan kendali atas anak-anak yang telah diamanahkan kepada kita. Baik selaku orang tua ataupun orang dewasa yang memiliki tanggung jawab atas lingkungan sekitar. Siapa pun kita, jangan pernah abai. Dalam hadis Nabi dikatakan bahwa, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Ketinggian moral berbanding lurus dengan kebermanfaatan, semakin tinggi moral seseorang, semakin berdayaguna ia di tengah-tengah masayarakat. Tetap dampingi anak bermain gawai dan menonton televisi, lakukan dialog berulang dengan penuh kasih sayang, mana gim yang boleh dimainkan mana yang tidak boleh.

Yakinlah walau tidak memiliki gawai, anak kita tidak akan ketinggalan zaman, apalagi kalau ia kita dampingi sambil memberi pengertian mana yang boleh mana yang tidak boleh. Mendampingi itu membersamai tanpa ia harus merasa kita awasi dan kita kekang. Pendekatan yang halus dan terbuka membuat hubungan dengan remaja lebih harmonis dibanding menyalah-nyalahkan mereka yang belum mampu mengendalikan dirinya. Dibutuhkan kepekaan dari orang tua, apakah anak memang paham atau sekadar takut di depan atau malas berdebat dengan orang dewasa yang sulit kalah saat adu argumen.

 

Menanamkan Adab dan Keyakinan Bahwa Tiap Manusia Diawasi Oleh Tuhan

Hal yang kerap luput dalam pengasuhan anak adalah mengajarkan adab. Padahal Imam Syafi’i dengan tegas mengatakan adab dulu baru ilmu. Namun sekolah-sekolah formal kita sudah memiliki standar keilmuan yang baku dengan target-target akademis yang tertulis rapi dalam dokumen-dokumen yang diserahkan saat akreditasi. Tenaga pendidik yang tersertifikasi dan mumpuni di bidangnya masing-masing. Bukan tak baik, tapi hal ini jangan membuat kita lupa diri, jika memang sekolah sudah memiliki standar dan ketentuan serupa itu, tugas kita dalam keluarga menanamkan adab kepada anak-anak kita sendiri. Sejatinya pula dalam literatur pengasuhan Islam, agama harus diajarkan oleh orang tua, bukan ustaz, tengku, atau guru-guru di sekolah-sekolah. Bagaimana adab menuntut ilmu, bagaimana bersuci, bagaimana bacaan shalat, wajib orang tua yang mengajarkan. Kalaupun di usia sekolah nanti anak-anak tetap mendapatkannya, itu hanyalah pengulangan saja, lancar kaji karena diulang, kata pepatah, ada pun pokok-pokok agama semacam tadi, sudah diajarkan oleh orang tua kepada anaknya di rumah. Jangan sampai orang tua tidak tahu kapan anaknya balig dan menanggung beban syariat yang sama seperti orang tuanya. Jangan lepas tangan, sebab anak adalah amanah dari Allah, setiap individu kelak dimintai pertangguang jawabannya atas amanah yang dipikulnya.

 

Setiap Individu Harus Belajar Parenting Sejak Berniat Membangun Rumah Tangga

Pada Focus Group Discussion yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UNMUHA bulan Oktober 2018 silam, di mana hadir seorang praktisi parenting, Elly Risman, S.Psi., yang konsen terhadap isu-isu parenting dengan penelitiannya bersama timnya di Yayasan Kita dan Buah Hati, memaparkan hasil penelitian yang cukup mengejutkan bahwa otak remaja adiksi pornografi mengalami penciutan di bagian lobus prefrontal sebesar 4,4%. Otak responden adiksi menunjukkan dominasi gelombang delta yang artinya hypofrontal syndrome, yaitu penurunan aktivitas otak depan yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah dan penyusutan volume otak. Dengan ini Elly Risman S.Psi., merekomendasikan beberapa hal salah satunya memasukkan pendidikan pengasuhan atau parenting dalam mata kuliah wajib di universitas terutama fakultas psikologi guna mencegah salah asuh yang menyebabkan generasi muda tak siap menghadapi zamannya. Pakar parenting yang memopulerkan istilah Narkolema atau Narkoba lewat mata ini, juga kerap mengampanyekan pendidikan parenting bagi orang tua atau calon orang tua dan kerap berkeliling nusantara untuk memberikan edukasi pentingnya menjaga generasi bangsa dimulai dari rumah sendiri. Apalagi pengasuhan turun-temurun tidak lagi relevan digunakan di era digital saat ini. Pendidikan pengasuhan anak kekinian sangat dibutuhkan, terutama bagi individu yang menyimpan masa kecil traumatis dan meninggalkan inner child yang tidak baik, yakni sosok kekanankan yang belum tuntas dalam diri seseorang yang kemudian muncul kembali saat mengasuh anak-anaknya. Dalam seminarnya Elly Risman S.Psi., mengajak setiap orang tua untuk memutuskan mata rantai kesalahan pengasuhan.

Berikan  Beragam Aktivitas Bermanfaat Daripada Memfasilitasi Anak dengan Gawai

Di usia lembab, di mana semua rasa mudah tumbuh dan tingkat rasa ingin tahu yang tinggi, perubahan hormonal, kecamuk perasaan asing yang membuat remaja labil dan gemar mencoba hal baru. Sebagai orang tua atau orang dewasa yang pernah melalui fase serupa, pastinya paham bagaimana rasa ini jika tidak tersalurkan dengan baik.

Banyak kegiatan yang bermanfaat yang bisa menyalurkan kreativitas anak-anak kita.

 

 

 

 

Tanamkan Budaya Literasi Sejak Dini

Daripada memfasilitasi TV kabel atau gawai, lebih baik berlangganan majalah dan anggaran mengisi paket internet dialihakan untuk membeli buku secara rutin. Tidak ada anak yang tidak suka membaca, ia hanya belum menemukan buku dan bacaan yang cocok. Beri contoh konkret bahwa kita orang dewasa juga gemar membaca minimal satu tema satu hari atau satu buku satu minggu. Manfaatkan fasilitas publik jika tak bisa sering-sering membelikan buku. Ada perpustakaan wilayah, perpustakaan gampong, perpustakaan sekolah, perpustakaan keliling bahkan taman baca di mana kita sekeluarga bisa menikmati fasilitas buku-buku gratis. Untuk mengubah kebiasaan memang membutuhkan sikap tegas dan konsistensi yang tinggi. Jangan lekas surut jika anak belum terbiasa berbeda dengan anak lain yang bebas bermedia sosial dan mengakses internet tanpa pendampingan orang tua. Pahami jadwal screen time untuk anak usia dini jika memiliki balita. Banyak yang abai dan menganggap enteng jadwal menonton layar untuk balita. Di ruang tunggu misalnya, kita lebih suka memberikan gawai dengan akses penuh Youtube daripada berusah-susah membawakan mainan-mainan anak, buku aktivitas atau buku bergambar untuk membuat balita lalai. Begitu juga di rumah di saat kita harus menyelesaikan seabrek pekerjaan kita. Ternyata kita sendiri yang menjauhkan anak dari budaya literasi yang saat ini kita gadang-gadangkan di usia sekolahnya. Lalu dengan enteng kita katakan program di sekolahnya tidak berdampak apa pun dalam hal peningkatan literasi anak.

 

 

Demikian sekelumit hal yang terlihat kecil tapi akan berdampak besar pada perubahan generasi ke depan, mulailah dari sekarang, mulailah dari keluarga sendiri dan lingkungan terdekat.[]

 

 

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

2 Comments

  • Kader Komentar

    Hal inilah sudah luput dari orangtua. Mereka terkadang lebih memilih memberikan mainan Gadget untuk menghibur anaknya tanpa memikirkan efek yg ditimbulkan. Alasannya simple, asal jangan nangis dan jgan rewel.
    Sedangkan penanaman nilai yg kakak utarakan di artikel kakak jarang dan bahkan tidak ada sama sekali.

    • aini

      Insyaallah masih ada orang tua yang mau terlibat langsung dan membersamai anak-anak belajar dengan memanfaatkan gawai, kita harus optimis. Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar ya. Puji…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *