cerita ceriti,  disleksia,  Just My Opinion,  my world,  Self reminder

Mengapa Aku Menulis?

Ini adalah foto yang diambil hari Rabu, 26 Oktober 2022 di lobi hotel Ayani, Peunayong, Banda Aceh. Ada Mas Billy Antoro dan Kak Cut Januarita yang merupakan Badan Pengurus Pusat (BPP) Forum Lingkar Pena (FLP) divisi Rumah Cahaya Hasilkan Karya atau yang lebih familier disebut dengan rumcay. Aku hadir menemui kakak-kakak ideologis—bisa dikatakan seperti itu—sebagai adik yang diamanahkan mengembangkan organisasi di wilayah Aceh.

Jadi, kalau bicara kenapa aku harus menulis, dirunut dari saat ini mungkin juga karena amanah di FLP. Ada sebuah keharusan untuk para pengurus ataupun anggotanya agar terus mengasah pena, memutakhirkan ilmu yang berkaitan dengan kepenulisan, terlebih lagi jika amanahnya sebagai garda depan yang semestinya memberikan contoh konkret dalam hal kepenulisan.

Namun, bagaimana dulu atau bagaimana pula nanti ketika amanah ini sudah selesai, apakah aku akan tetap menulis? Tentu saja. Jauh sebelum hari ini, menulis seperti menjadi sebuah kebiasaan bahkan kebutuhan bagiku. Ada dua sebab orang gemar menulis: pertama karena memang sangat senang bicara, kedua karena sebenarnya enggan berbicara banyak-banyak. Kalau aku sepertinya karena dua hal tersebut, aku tak bisa memilih salah satunya.

Aku menulis karena gemar bicara sekaligus malas berkata terlalu banyak, terutama di depan publik. Walaupun tuntutan hari ini akan sangat bereda, seorang penulis hari ini adalah seorang pembicara, itu adalah dua hal yang punya kait kelindan erat seperti dua sisi koin.

Namun, paling tidak aku sudah pernah memilih lebih banyak menulis karena memang sangat enggan berbicara banyak dan pernah juga banyak menulis ketika dalam kepala banyak sekali yang ingin diungkapkan, ada banyak rangkaian alfabet (sangat mengherankan, ini ajaib, padahal hanya ada 26 huruf, tetapi bisa dirangkai jadi beragam kata, melambangkan bunyi dan bisa menuliskan bahasa hingga memenuhi isi dunia).

Terkadang ide-ide atau hal yang ingin kubicarakan itu mulai merangkai kalimat atau dialog-dialog sendiri dalam kepala. Dia seperti hidup sendiri, jika menjadi cerita, maka akan muncul tokoh-tokoh yang berbicara saling bersahutan. Lahir beberapa karakter yang sifat dan sikapnya sangat berbeda dengan kepribadianku, muncul lagi adegan-adegan yang biasa bahkan muskil untuk aku saksikan langsung, tetapi itu seperti benar-benar ada. Hal-hal demikian seringkali memaksaku menulis untuk sekadar menjaga kewarasan. Sebab kalau sudah menumpuk terlalu banyak, bisa mengganggu pekerjaanku yang lain. Aku seperti tersedot dan ikut dalam pusaran konflik atau petualangan yang dirasakan makhluk-makhluk yang hidup dalam kepalaku.

Lalu terkadang ada opini yang sulit diungkapkan dengan lisan atau tidak pula ada tempat dan waktu untuk menjabarkan itu semua. Sebuah pendapat yang aku rasa penting untuk disuarakan, perlu didengarkan orang lain, bahkan mungkin gaungnya perlu lebih luas di tempat-tempat yang mungkin suaraku tidak akan mampu menjangkaunya, tempat di mana aku tak mungkin berbicara di depan banyak orang kecuali melalui tulisan; untuk itulah aku mulai menulis.

Alasan lainnya kenapa aku harus menulis adalah sebagai hiburan. Setiap orang punya cara untuk membuang penat dan bersenang-senang, bagiku menulis adalah hal yang menyenangkan.

Aku ingat saat sekolah dasar dulu, aku senang menulis macam-macam walau tak ada yang menyuruhku. Aku angkut mesin ketik tua milik Abak ke kamarku dan mulai bekerja dengan suara-suara bising itu, setiap kali tuts mesin tik itu ditekan, ada semacam tungkai bawahnya yang bergerak naik turun dan mencetak angka dan huruf di kertas putih yang diapit di tengah mesin, pita karbon menciptakan jejak hitam dan suara drrrrrt saat ditekan spasi, kemudian bunyi ting terdengar sangat menyenangkan.

Mungkin aku memang tidak lagi mengalaminya di tahun-tahun berikutnya saat aku menulis, tetapi sensasi menyenangkan itu jadi ingatan yang indah dan terus membuatku nyaman mengingatnya.

Pak Tuo (kakak lelaki Abak) punya banyak buku dan menjual majalah-majalah di tokonya. Abak juga pembeli buku dan majalah yang rajin, walau tidak rajin menyimpannya karena aku perhatikan Abak seperti seorang penganut gaya hidup minimalis masa kini, sesuatu yang sudah selesai digunakan sebaiknya disingkirkan atau bisa diberikan untuk orang yang lebih memerlukan.

Kalau membicarakan Abak, terkadang aku lupa bahwa beliau sudah tidak ada di dunia, kupikir esok balik ke rumah di kampungku, aku masih bisa menemui Abak dan meraih tangan sebelah kanannya yang sudah 21 tahun lumpuh karena strok, lalu memijatnya pelan sambil bercerita atau bertanya, selanjutnya mendengarkan apa jawaban Abak. Aku selalu berpikir akan menuliskannya suatu hari nanti. Allahumma firlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu.

Aku masih punya seribu satu alasan kenapa harus tetap menulis selain merasa itulah yang bisa aku lakukan dengan lebih mudah dibandingkan dengan hal lain. Sekitar tahun 2016 aku sedang menemani anak pertamaku belajar tentang disleksia. Kami hidup di dalamnya dan menjalani hari-hari sebagaimana individu disleksia lainnya. Ketidaktelitian, banyak hal yang luput karena lupa, lompatan ingatan, bingung arah, dan banyak melewatkan sekuens dalam membilang sesuatu. Beberapa bulan setelah itu atau setahun sesudahnya, dokter mengatakan bahwa disleksia yang semestinya diturunkan secara genetik itu barasal dari aku, ibunya.

Kami senang menjadi individu disleksia, semacam dihadiahi peranti canggih dalam diri kami yang tidak dipasang pada individu lainnya. Walau kami harus berjuang empat kali lebih keras dalam berbahasa ekspresif atau membilang angka, belajar manajemen diri dan ketelitian.

Poin ketelitian ini kemudian menjadi titik fokus yang sangat menantang bagiku. Apalagi aku merasa sudah terbiasa harus mengecek tanda baca dan tata bahasa sejak tahun 2013 dengan belajar mengedit. Aku tertarik menerapi diriku dengan hal yang mungkin paling sulit kulakukan; berkelindan dengan tenggat dan mengerjakan sesuatu yang membutuhkan ketelitian tinggi. Jadi, bagiku menulis juga jadi terapi.

Aku hanya ingin bercerita mengenai alasanku memulai menulis. Aku berharap itu menjadi sebuah alasan yang kuat dan bisa membuatku bertahan melakukan aktivitas ini. Apalagi saat jam terbang menulis diasah dan membuat aktivitas ini menjadi mudah dikerjakan (bahkan di saat kita sangat sibuk sekalipun, aku hanya membutuhkan setengah jam sebelum azan Subuh berkumandang untuk menulis seribu kata di Microsoft Word dan kemudian kembali bekerja dan melakukan rutinitas lainnya), aktivitas menulis ternyata bisa menjadi sebuah profesi yang menghasilkan.

Setiap orang memiliki motivasi berbeda-beda yang membuat mereka terus bertahan dan menikmati proses menulis. Inspirasi dan kreativitas sangat baik untuk melejitkan potensi diri dan meningkatkan kualitias hidup. Bagiku menulis seperti itu; ia merupakan salah satu aktivitas pengembangan diri yang mampu meningkatkan daya pikir, analisis, pembaharuan sel-sel otak, kesehatan mental, menghadirkan banyak kebahagiaan, dan membuka pintu-pintu positif lainnya yang membuat kita melangkah ke arah yang lebih baik.

Ragam potensi apa pun yang kita miliki, menulis bisa membantu kita dalam mengeksplorasi diri, menulis membuat kita mengenali diri sendiri,  menulis dan membaca bagiku adalah usaha menasihati diri sendiri, motivasi memutakhirkan diri sendiri dan mencapai versi terbaik dari diri kita.

Selamat menulis dan menemukan jati diri![]          

Seorang ibu disleksik yang senang membacakan buku untuk anak-anaknya: Akib, Biyya, Faza, dan Kareem. Pencinta bahasa Indonesia. Bisa dihubungi melalui surel medicus_84@yahoo.com.

One Comment

Leave a Reply to Dian H Gayoe Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *